Thursday, 4 July 2019

Inovasi Untuk Income-isasi



Kita selalu ingin menjadi sosok pemrakarsa, pembaharu, inovator, pencetus, orang yang pertama kali. Ketika label tersebut jadi tujuan, esensi dari ide atau gagasan yang sejatinya adalah jawaban dari permasalahan zaman, tereduksi bahkan menjadi tidak penting lagi. Akibatnya, banyak hal-hal yang sekiranya akan lebih baik dan semakin menjadi baik ketika hal tersebut berlanjut menjadi mangkrak dan sia-sia.

Salah satu akibat dari kecenderungan ini nampak jelas pada kebijakan setiap pergantian rezim. Selalu saja rezim baru yang berkuasa alergi dan jijik dengan apa yang sudah dimulai oleh rezim sebelumnya. Semua harus diganti, diperbarui tanpa mempedulikan perhitungan anggaran yang telah terbuang untuk sesuatu yang mangkrak lalu menggantinya dengan sesuatu yang kemungkinan besar juga mangkrak di pergantian rezim berikutnya. Belum kerugian korup di setiap program baru.

Penyesuaian zaman, memang harus terus dilakukan, tetapi tidak serta merta dengan cara harus memenggal yang lama lalu mengganti dengan hal yang akan menjadikan pencetus idenya sebagai pembaharu. Ini seperti orang yang bercita-cita ingin disebut pahlawan.

Kecenderungan ini juga nampak di dunia kekaryaan seni. Banyak sekali kita akan berjumpa karya-karya; inovasi sebagai tujuan, bukannya inovasi yang lahir karena menanggapi permasalahan zaman.

Sehingga tumpah ruahlah karya inovasi untuk inovasi, kontemporer untuk kontemporer, pembaharuan untuk pembaharuan.

Sehingga tumpah ruahlah ide untuk ide, gagasan untuk gagasan, simbol untuk simbol, eksperimental untuk eksperimental.

Lalu masyarakat pun menjadi semakin jauh dan jauh dengan karya-karya yang oleh para kreator itu sebut sebagai kesenian. Masyarakat yang tidak sanggup mengerti dengan karya mereka, mereka sebut bodoh. Mereka yang tidak sanggup membuat karya yang dipahami masyarakatnya, mereka sebut sebagai karya yang mendahului  zaman.

Masyarakat dan seniman pun akhirnya bercerai dan hubungan esensial itu kandas di tengah jalan. Masyarakat lari kepada entertainer dan akhirnya menyebut entertaimen sebagai representasi kesenian, sehingga yang mereka sebut artist adalah raffi ahmad dan pemahat mereka sebut sebagai pengrajin.

Setelah masyarakat yang notabene kekasihnya itu lari pada tivi, seniman lari pada dana-dana hibah yang memang ndilalah membiayai karya-karya inovasi (kenapa begitu? Ah mbuh pokok’e kesenian kuwi butuh dana nggo mlaku!). Akibatnya kiblat-kiblat kekaryaan mengarah pada kelompok-kelompok pelanggan hibah. Di lingkaran sempit (yang seakan-akan satu-satunya jalan berkesenian itu) strata kesenian terbagi menjadi dua, kelompok hibah, yakni penerima hibah dan kelompok ghibah, yakni kelompok yang baru bisa ngrasani, sembari ngimpi untuk berada di posisi yang dirasani.

Akibatnya, penciptaan seni tidak lagi berangkat dari masyarakat untuk menuju masyarakat. Karya berangkat dari proposal menuju pasar data dunia global. Tokoh Minke yang pada akhirnya menulis dengan bahasa Melayu karena ingin berbicara pada bangsanya sendiri sama sekali tidak menginspirasi.

Semua bermimpi pentas ke luar negeri!

Jika kecenderungan ini terus menerus diteruskan tidak ada masalah apa-apa, amin. Tetapi tidak akan lahir warisan-warisan berkelas peradaban, seperti gamelan, borobudur, dan primbon. Tiga hal tersebut adalah contoh karya hasil dari penggarapan yang berlanjut lintas generasi. Mengalami penyempurnaan lintas usia satu seniman. Siapa yang memulai, siapa yang melanjutkan, siapa yang memperbarui, siapa yang mengadaptasi, menambahi, mengoreksi. Semua berdiri di posnya masing-masing sesuai di zamannya. Tidak ada yang berebut untuk disebut pemrakarsa. Selama itu hal baik, kenapa tidak dilanjutkan? Hanya karena ingin nampak sebagai seorang inovator,  hal yang sejatinya masih berfungsi kamu sebut atau anggap sudah kadaluarsa.

Warisan itupun mangkrak lalu hilang dan kelak anak-anak kita akan menemuinya di Leiden, Berkeley, Cambridge, dan di buku-buku terjemahan.

Soal zonasi pendidikan adalah salah satu kopi hangat obrolan, yang kelak akan habis dan diganti dengan cangkir-cangkir yang baru, hidangan-hidangan baru. Akibat dari kecenderungan kita semua. Kecenderungan ini telah mengakar dan kita akan selalu mengobrolkan apa yang dihidangkan. Apa obrolan-obrolan kita selama ini karena kegelisahan? Tidak, semua karena nikmat berkata-kata semata.

Catatan Gumam, 5 Juli 2019
Idnas Aral