Tiga hari lagi acara menabuh Gamelan Sekaten
Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari di halaman Masjid Agung Karaton Kasunanan
Surakarta dimulai. Dua perangkat gamelan pusaka selama sepekan akan dibunyikan
secara bergantian, bau bunga dan asap kemenyan menyatu, aroma khas yang selalu
akan terasa disekitar bangsal tempat Gamelan Sekaten ditabuh. Gending wajib
Rambu dan Rangkung akan ditabuh bergantian oleh dua perangkat gamelan tersebut
setiap awal gamelan dibunyikan sesi pagi dan malam, juga Ladrang Barang Miring
gending wajib sesudah waktu Asar untuk mengawali sesi sore.
Saya tidak akan
menulis tentang sejarah tradisi tersebut, tidak juga mengomentari debat
pendapat antar pemuka agama tentang perayaan sekaten yang bertujuan untuk memperingati kelahiran Nabi
Besar Muhammad SAW, atau mencoba meluruskan pemahaman beberapa orang termasuk
kawan-kawan mahasiswa, baik yang saya kenal maupun teman dari kenalan saya
tentang sekaten yang ada dalam pemahaman mereka adalah pasar malam bukan nabuh
gamelan dan hubungannya dengan syiar Islam pada jaman kerajaan Demak. Ya, saya
pikir pemahaman setiap orang tergantung kebutuhan juga, maksudnya seseorang
akan menemukan sendiri apa yang ingin mereka ketahui, terlebih lagi untuk
urusan ini banyak artikel dan buku sebagai sumber bacaan yang dengan detail
menerangkan tentang sekaten secara lengkap.
Sebagian orang
akan berkata, gamelan sebagai sarana dakwah itu jaman dulu, sekarang sudah
tidak relevan, sebab mayoritas masyarakat sudah memeluk agama islam, sekaten
tidak perlu didatangi, disaksikan, didengar, dan dilestarikan dengan
serangkaian tata caranya, itu musyrik dan sebagainya, ke masjid ya ibadah atau
dengar ceramah bukan menonton gamelan. Sebagian lagi bersikap masa bodoh, tidak
peduli sekaten itu upacara tradisi atau pasar malam, yang penting senang,
hura-hura dan merasa bangga hidup sebagai manusia moderen yang tidak perlu lagi
memikirkan hal-hal yang tidak memiliki manfaat praktis untuknya.
Pemahaman
rata-rata masyarakat memang demikian, menganggap Sekaten adalah pasar malam
atau maleman yang diadakan di
alun-alun utara yang terletak di sebelah timur Masjid Agung. Bahkan orang-orang
kampung sekitar tempat saya tinggal di kota Surakarta ini juga kurang lebih
sama. Pernah suatu ketika saya bertanya kepada tetangga, “mau pergi kemana?” ia
menjawab ke Sekaten, setelah ia pulang dan kebetulan saya masih nongkrong di
depan rumah saya bertanya lagi, “mampir ke Masjid Agung atau hanya ke pasar
malamnya?” ke Sekaten!! Jawab dia, “sekaten apa pasar malam?”, kemudian ia
pergi dan berlalu begitu saja. Di lain hari, dulu sewaktu masih SMP saya diajak
beberapa kawan ke Sekaten, saya segera mengiyakan ajakan tersebut, lumayan
mumpung ada teman, tidak sendirian bisa duduk dan mendengar gamelan ditabuh,
pikirku waktu itu, sebab riwayat tentang gamelan sekaten baru saja saya ketahui
dari buku kesenian daerah.
Begitu sampai di
sebelah timur Masjid Agung, rombongan teman-teman saya tersebut kompak mengajak
masuk ke area pasar malam, berkeliling mencari tempat remang di tengah
alun-alun mendatangi lapak judi dadu, sebagian yang lain membeli tiket masuk
wahana rumah hantu, saya hanya jongkok di belakang lapak judi dadu sambil
merokok, kebetulan waktu itu baru belajar merokok, memanfaatkan tempat dan
situasi aman dari jangkauan orang dewasa yang saya kenal dan mungkin datang ke
pasar malam juga. Waktu terus berjalan suara gamelan terdengar melalui pengeras
suara, batin saya kapan kawan-kawan selesai dan mampir sebentar saja untuk
mendengar dan melihat dari dekat gamelan sekaten sebelum pulang. Hingga tiba
waktunya pulang, sama sekali tidak menyaksikan acara nabuh gamelan. Besoknya
saya pergi sendiri untuk datang ke bangsal pagongan tempat gamelan ditabuh.
Sementara kawan-kawan saya tadi berkata kepada orang lain baik itu tetangga
maupun teman sekolah bahwa mereka sudah ke Sekaten.
Usaha Pencarian Jati Diri Untuk
Kembali Kepada Tuhan
Sekaten merupakan
warisan budaya para leluhur tanah Jawa yang masih berlangsung hingga jaman
sekarang, rasanya bukan sebatas napak tilas jejak sejarah, sebagaimana pikiran
praktis beberapa golongan yang memandang suatu produk kebudayaan secara
fungsional, bagaimana ia memiliki peran dulu dan sekarang, menimbang relevansi
berdasarkan hal-hal yang sifatnya kebutuhan lahiriah, jika menguntungkan ya
dianggap penting, jika dirasa ada hal lain yang dianggap lebih bisa memenuhi
kebutuhan maka yang lama dilupakan begitu saja, tidak perlu dimaknai ulang atau
digali kembali dan dikembangkan sesuai irama jaman tanpa meninggalkan
nilai-nilai yang terkandung didalamnya bilamana memungkinkan.
Barangkali memang
tidak perlu diperdebatkan soal lebih penting mana, atau pemahaman mana yang paling
benar soal Sekaten, apakah gamelan atau pasar malam, biar saja setiap individu
di dalam masyarakat hidup dengan alam pikir dan dunia pemahaman mereka
masing-masing. Pergeseran makna dan gejolak yang timbul anggap saja sebagai hal
yang alami dan wajar terjadi dan tentunya berpengaruh pada nilai-nilai serta
tata sosial masyarakat manapun. Tetapi, sebagai manusia yang lahir dan ikut
tumbuh seiring perkembangan jaman dengan berbagai macam konsekuensinya
pernahkah sedikit saja kita berpikir, merenung, dan mencari tahu sebab-akibat
keberadaan atau adanya suatu produk kebudayaan serta keterkaitannya dengan
kehidupan kita saat ini. Perbedaan kepentingan, pandangan, kebutuhan, wawasan,
pengalaman, tingkat pendidikan, asupan informasi, dan lingkungan pergaulan
inilah yang terkadang menimbulkan gesekan beda pendapat. Ya, saya yakin setiap
orang akan merasa apa yang ia ketahui, yakini dan jalani sebagai kebenaran,
rasanya tidak ada orang yang sadar tentang kesalahan atau sesuatu yang secara
umum dianggap salah tetapi tetap dijalani dan dilakukan dengan senang, kecuali
orang yang tidak waras dan bermental pelacur.
Tiga hari yang
lalu, saya berbincang ringan dengan KRT. Hastonagoro, abdi dalem senior niyaga
Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, beliau bercerita tentang analogi
Sekaten dan Pasar Malam atau maleman
yang diselenggarakan ketika acara Sekaten berlangsung dengan proses mencari
jalan pulang kembali kepada Tuhan. Orang awam yang ingin tahu atau melihat
Sekaten sering kali terjebak dan salah pengertian tetapi tidak sadar atas
kekeliruannya tersebut, sederhana saja yaitu dengan menganggap bahwa pasar
malam adalah Sekaten itu sendiri bukan merupakan bagian dari perayaan Sekaten
yang sudah berlangsung hingga lintas generasi. Menurut beliau hal semacam ini
ibarat orang mencari surga dan menempuh jalan menuju Tuhan, bagaimana ia
berkemungkinan tersesat atau tergoda untuk berpaling dari jalan yang lurus, hal
ini terjadi akibat kurangnya pengetahuan, dangkalnya pikiran, rendahnya
pemahaman, dan faktor-faktor lain dari luar diri yang lebih kuat memengaruhi
niatan seseorang untuk mencapai suatu tujuan.
KRT. Hastonagoro menabuh Bonang Gamelan Sekaten Kyai Guntur Madu pada perayaan sekaten tahun 2018.
Foto : Rizal Item
|
Bicara soal
kemungkinan seseorang tersesat ketika mencapai tujuan menurut beliau sama
seperti orang yang terjebak keramaian Pasar Malam Sekaten, dari rumah ingin
menyaksikan gamelan, ketika sampai di sana malah tergoda untuk menghampiri
gemerlap Pasar Malam bukannya menuju ke Masjid Agung. Memang segala sesuatu
yang menawarkan kesenangan dan bersifat duniawi seringkali lebih menarik dari
pada hal-hal yang sifatnya perenungan, perlu diurai, dimaknai, dipikirkan dan
dirasakan, tidak semua orang paham, rata-rata dari mereka enggan repot-repot
mencerna apalagi menerima pemahaman yang dirasa abstrak. Sama halnya dengan
gamelan, rata-rata orang menganggapnya sebagai barang kuno, hanya akan didekati
jika itu berurusan dengan tugas mata kuliah, proyek komersil, atau sebagai
latar ketika berfoto guna diunggah di media sosial.
Bagaimana orang
akan sampai pada sebuah nilai esensi jika ia cukup puas berkubang pada hal-hal
yang bersifat meteri, yang tampak mata dan yang akhirnya mereka sangka sebagai
tujuan itu sendiri. Tipu daya keindahan dunia sering membuat kita terlena,
salah arah dan melupakan niatan awal untuk dapat menjumpai-Nya. Sementara itu
jalan menuju kesejatian, mengenali diri dan Tuhan melalui perenungan seakan
menjadi kegiatan yang tidak menyenanglan, mengalami berbagai macam godaan dan
rintangan dalam menempuhnya. Begitulah kondisi kita saat ini, sering salah
terka sebab enggan belajar, tidak memiliki ketahanan sikap dalam mencari,
maunya langsung jadi, memangkas waktu proses dan menelan kesimpulan mentah,
tidak tahan banting dan benturan dalam melangkah, senang dengan sesuatu yang
serba instan, dan tentunya pendangkalan tersebut ikut berkembang-biak seiring
lahirnya generasi baru turunan generasi sebelumnya yang krisis identitas
sebagai umat beragama dan pastinya sebagai orang Jawa itu sendiri.
Budaya Kita Hari Ini Memang
Budaya Pasar Malam
Tradisi Sekaten
dengan dua pemahaman yang umum dibenak masyarakat Surakarta dan sekitarnya tadi
kiranya adalah warna tersendiri kalau bukannya permasalahan kebudayaan kita
hari ini. Bolehlah ini tidak dianggap penting sebagaimana jalan pikiran
orang-orang yang sempit wawasan serta cara pandangannya, rata-rata manusia
jenis ini adalah mereka yang hidupnya penuh ancaman dari berbagai macam aspek
kehidupan akibat informasi yang mereka konsumsi secara sembarangan, akhirnya
mereka rela membunuh kesadaran dan/atau menikmati ketidaksadaran, orang-orang macam
ini cara hidupnya ikut arus, meski mengaku beragama dan berpendidikan tapi
mereka tidak juga selamat dari gangguan kegelisahan batin yang timbul atau
ditimbulkan oleh pemahaman-pemahaman yang mereka terima. Lalu lari menuju tempat-tempat
yang mereka sangka dapat memenuhi kebutuhan rohani tentang kebahagiaan. Maka,
jadilah mereka penggerak roda-roda perputaran uang para pengusaha, bahkan jadi
peluru kepentingan dari pihak-pihak yang tidak mereka kenal dengan pasti.
Bukan hal yang
mengherankan, seseorang yang tidak kenal dirinya gampang goyah oleh perubahan
jaman, kabur memandang peristiwa sebab ia juga tidak akan sepenuhnya yakin
terhadap Tuhannya, zat yang secara lisan kita yakini sebagai Sang Maha Kuasa
dan Pencipta alam semesta beserta isinya termasuk kita sebagai manusia. Keriuhan
Pasar Malam dan berbagai macam wahana permainan juga barang-barang dagangan
yang menjadi daya tarik bagi sebagian besar masyarakat kita merupakan cerminan
kehidupan kita sebagai masyarakat moderen, persetan dengan sejarah, masa bodoh
dengan makna yang terkandung, apa pedulinya mengenali tradisi, terima saja
segala perubahan dan kemudahan tanpa perlu susah-susah merawat barang museum. Ya,
baiklah,kalau begitu saya akan berpendapat bahwa sekarang ini budaya kita
memang budaya Pasar Malam, tata hidup transaksional yang perlahan mulai
menggusur ajaran gotong-royong, hiburan-hiburan yang bersifat konsumtif sebagai
obat pelipur lara luka kehidupan, menceburkan diri tenggelam dalam keriuhan tolol
dan huru-hara massa kaum bimbang, sibuk mencari tempat-tempat terang yang kita
jadikan jalan untuk meraih popularitas, ketenaran semu dan dianggap mampu
mengantar untuk menaiki tangga status sosial. Perlahan tanpa sadar kita semakin
jauh dari kemampuan merenung, apalagi menyelami kedalaman repertor musik milik leluhur
sendiri. Bagaimana hendak menjadikannya sebagai sarana perenungan kalau kenal
saja tidak, telinga kita jauh lebih akrab dengan musik-musik populer dari
artis-artis yang sedang ramai diperbincangkan, yang bagi saya tidak lebih dari
sekadar badut entertain yang meraih popularitas sebab tingginya intensitas
penayangan dengan kaum-kaum sampah sebagai konsumen serta sasaran strategi pemasaran.
Saya tidak ambil
pusing dengan definisi orang lain yang berseberangan dengan pendapat saya soal budaya
Jawa itu apa dan bagaimana, soal mana yang perlu dan tidak perlu dilestarikan,
diurai, dan dimaknai kembali, sebagaimana orang lain yang dengan sesuka hati
mereka menyatakan pendapat dalam jurnal maupun artikel berbayar, menjadikan
kutipan-kutipan sebagai tameng cercaan agar lancar dan mulus tanpa hambatan
segala syarat kelulusan, tapi sesudahnya jadi budak juga dengan bekal kertas
ijasah yang sudah ditebus dengan menggugurkan setiap tahap kewajiban. Atau mereka
yang senang debat kusir dan omong kosong di media sosial, distributor artikel-artikel
sampah hanya untuk pamer kepedulian, sementara di dunia nyata mereka tidak
melakukan apa-apa. rata-rata dari mereka sama sekali meninggalkan apa yang
pernah disuarakan, dan muncul lagi pada musim-musim tertentu,
berbondong-bondong memamerkan barang dagangan, ikut jualan dengan mengharapkan bayaran
berupa sedikit perhatian dari orang lain, atau ikut ribut jadi tengkulak
membeli informasi-informasi sampah untuk dikonsumsi tanpa peduli apakah itu
perlu bagi dirinya yang penting kebutuhan ngeksis
terpenuhi.
Terlepas dari itu
Gamelan Sekaten Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari akan tetap mengalunkan
gending-gending warisan para leluhur setiap tahun selama sepekan menjelang
peringatan hari kelahiran Nabi besar Muhammad SAW. Suaranya mungkin tidak akan
dapat kita dengar dari luar halaman Masjid Agung, meski sudah menggunkan
pengeras suara tetap saja kalah saing dengan suara-suara transaksional laba
rugi, kabur oleh kesibukan kita mengimport pemahaman-pemahaman dari luar,
tenggelam oleh sisi hedonis dalam diri kita yang lebih dominan, larut bersama
sikap konsumtif yang kita biarkan menguasai diri seiring perkembangan teknologi
cara berbelanja dan terkubur kegiatan tawar-menawar barang dan jasa masyarakat
kita. Ya, Rambu, Rangkung dan Barang Miring semoga tetap mengalun mengawali
setiap sesi acara nabuh gamelan Sekaten hingga nanti sampai pada lintas
generasi.
Surakarta, Rabu Pon, 30 Oktober 2019
1 Rabiul Awal 1441 Hijriyah / 1 Mulud 1953 Wawu
Mangsa Kalima Wuku Bolo
Joko Lelur
Mantri Carik Teater
Sandilara