Wednesday, 30 October 2019

BUDAYA KITA HARI INI MEMANG BUDAYA PASAR MALAM (Sekaten : Antara Kontemplasi Musikal dan Budaya Konsumtif Masyarakat)


                Tiga hari lagi acara menabuh Gamelan Sekaten Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari di halaman Masjid Agung Karaton Kasunanan Surakarta dimulai. Dua perangkat gamelan pusaka selama sepekan akan dibunyikan secara bergantian, bau bunga dan asap kemenyan menyatu, aroma khas yang selalu akan terasa disekitar bangsal tempat Gamelan Sekaten ditabuh. Gending wajib Rambu dan Rangkung akan ditabuh bergantian oleh dua perangkat gamelan tersebut setiap awal gamelan dibunyikan sesi pagi dan malam, juga Ladrang Barang Miring gending wajib sesudah waktu Asar untuk mengawali sesi sore.

                Saya tidak akan menulis tentang sejarah tradisi tersebut, tidak juga mengomentari debat pendapat antar pemuka agama tentang perayaan sekaten yang  bertujuan untuk memperingati kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW, atau mencoba meluruskan pemahaman beberapa orang termasuk kawan-kawan mahasiswa, baik yang saya kenal maupun teman dari kenalan saya tentang sekaten yang ada dalam pemahaman mereka adalah pasar malam bukan nabuh gamelan dan hubungannya dengan syiar Islam pada jaman kerajaan Demak. Ya, saya pikir pemahaman setiap orang tergantung kebutuhan juga, maksudnya seseorang akan menemukan sendiri apa yang ingin mereka ketahui, terlebih lagi untuk urusan ini banyak artikel dan buku sebagai sumber bacaan yang dengan detail menerangkan tentang sekaten secara lengkap.

                Sebagian orang akan berkata, gamelan sebagai sarana dakwah itu jaman dulu, sekarang sudah tidak relevan, sebab mayoritas masyarakat sudah memeluk agama islam, sekaten tidak perlu didatangi, disaksikan, didengar, dan dilestarikan dengan serangkaian tata caranya, itu musyrik dan sebagainya, ke masjid ya ibadah atau dengar ceramah bukan menonton gamelan. Sebagian lagi bersikap masa bodoh, tidak peduli sekaten itu upacara tradisi atau pasar malam, yang penting senang, hura-hura dan merasa bangga hidup sebagai manusia moderen yang tidak perlu lagi memikirkan hal-hal yang tidak memiliki manfaat praktis untuknya.

                Pemahaman rata-rata masyarakat memang demikian, menganggap Sekaten adalah pasar malam atau maleman yang diadakan di alun-alun utara yang terletak di sebelah timur Masjid Agung. Bahkan orang-orang kampung sekitar tempat saya tinggal di kota Surakarta ini juga kurang lebih sama. Pernah suatu ketika saya bertanya kepada tetangga, “mau pergi kemana?” ia menjawab ke Sekaten, setelah ia pulang dan kebetulan saya masih nongkrong di depan rumah saya bertanya lagi, “mampir ke Masjid Agung atau hanya ke pasar malamnya?” ke Sekaten!! Jawab dia, “sekaten apa pasar malam?”, kemudian ia pergi dan berlalu begitu saja. Di lain hari, dulu sewaktu masih SMP saya diajak beberapa kawan ke Sekaten, saya segera mengiyakan ajakan tersebut, lumayan mumpung ada teman, tidak sendirian bisa duduk dan mendengar gamelan ditabuh, pikirku waktu itu, sebab riwayat tentang gamelan sekaten baru saja saya ketahui dari buku kesenian daerah.

                Begitu sampai di sebelah timur Masjid Agung, rombongan teman-teman saya tersebut kompak mengajak masuk ke area pasar malam, berkeliling mencari tempat remang di tengah alun-alun mendatangi lapak judi dadu, sebagian yang lain membeli tiket masuk wahana rumah hantu, saya hanya jongkok di belakang lapak judi dadu sambil merokok, kebetulan waktu itu baru belajar merokok, memanfaatkan tempat dan situasi aman dari jangkauan orang dewasa yang saya kenal dan mungkin datang ke pasar malam juga. Waktu terus berjalan suara gamelan terdengar melalui pengeras suara, batin saya kapan kawan-kawan selesai dan mampir sebentar saja untuk mendengar dan melihat dari dekat gamelan sekaten sebelum pulang. Hingga tiba waktunya pulang, sama sekali tidak menyaksikan acara nabuh gamelan. Besoknya saya pergi sendiri untuk datang ke bangsal pagongan tempat gamelan ditabuh. Sementara kawan-kawan saya tadi berkata kepada orang lain baik itu tetangga maupun teman sekolah bahwa mereka sudah ke Sekaten.


Usaha Pencarian Jati Diri Untuk Kembali Kepada Tuhan

                Sekaten merupakan warisan budaya para leluhur tanah Jawa yang masih berlangsung hingga jaman sekarang, rasanya bukan sebatas napak tilas jejak sejarah, sebagaimana pikiran praktis beberapa golongan yang memandang suatu produk kebudayaan secara fungsional, bagaimana ia memiliki peran dulu dan sekarang, menimbang relevansi berdasarkan hal-hal yang sifatnya kebutuhan lahiriah, jika menguntungkan ya dianggap penting, jika dirasa ada hal lain yang dianggap lebih bisa memenuhi kebutuhan maka yang lama dilupakan begitu saja, tidak perlu dimaknai ulang atau digali kembali dan dikembangkan sesuai irama jaman tanpa meninggalkan nilai-nilai yang terkandung didalamnya bilamana memungkinkan.
               
                Barangkali memang tidak perlu diperdebatkan soal lebih penting mana, atau pemahaman mana yang paling benar soal Sekaten, apakah gamelan atau pasar malam, biar saja setiap individu di dalam masyarakat hidup dengan alam pikir dan dunia pemahaman mereka masing-masing. Pergeseran makna dan gejolak yang timbul anggap saja sebagai hal yang alami dan wajar terjadi dan tentunya berpengaruh pada nilai-nilai serta tata sosial masyarakat manapun. Tetapi, sebagai manusia yang lahir dan ikut tumbuh seiring perkembangan jaman dengan berbagai macam konsekuensinya pernahkah sedikit saja kita berpikir, merenung, dan mencari tahu sebab-akibat keberadaan atau adanya suatu produk kebudayaan serta keterkaitannya dengan kehidupan kita saat ini. Perbedaan kepentingan, pandangan, kebutuhan, wawasan, pengalaman, tingkat pendidikan, asupan informasi, dan lingkungan pergaulan inilah yang terkadang menimbulkan gesekan beda pendapat. Ya, saya yakin setiap orang akan merasa apa yang ia ketahui, yakini dan jalani sebagai kebenaran, rasanya tidak ada orang yang sadar tentang kesalahan atau sesuatu yang secara umum dianggap salah tetapi tetap dijalani dan dilakukan dengan senang, kecuali orang yang tidak waras dan bermental pelacur.

                Tiga hari yang lalu, saya berbincang ringan dengan KRT. Hastonagoro, abdi dalem senior niyaga Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, beliau bercerita tentang analogi Sekaten dan Pasar Malam atau maleman yang diselenggarakan ketika acara Sekaten berlangsung dengan proses mencari jalan pulang kembali kepada Tuhan. Orang awam yang ingin tahu atau melihat Sekaten sering kali terjebak dan salah pengertian tetapi tidak sadar atas kekeliruannya tersebut, sederhana saja yaitu dengan menganggap bahwa pasar malam adalah Sekaten itu sendiri bukan merupakan bagian dari perayaan Sekaten yang sudah berlangsung hingga lintas generasi. Menurut beliau hal semacam ini ibarat orang mencari surga dan menempuh jalan menuju Tuhan, bagaimana ia berkemungkinan tersesat atau tergoda untuk berpaling dari jalan yang lurus, hal ini terjadi akibat kurangnya pengetahuan, dangkalnya pikiran, rendahnya pemahaman, dan faktor-faktor lain dari luar diri yang lebih kuat memengaruhi niatan seseorang untuk mencapai suatu tujuan.

KRT. Hastonagoro menabuh Bonang Gamelan Sekaten Kyai Guntur Madu pada perayaan sekaten tahun 2018. 
Foto : Rizal Item


                Bicara soal kemungkinan seseorang tersesat ketika mencapai tujuan menurut beliau sama seperti orang yang terjebak keramaian Pasar Malam Sekaten, dari rumah ingin menyaksikan gamelan, ketika sampai di sana malah tergoda untuk menghampiri gemerlap Pasar Malam bukannya menuju ke Masjid Agung. Memang segala sesuatu yang menawarkan kesenangan dan bersifat duniawi seringkali lebih menarik dari pada hal-hal yang sifatnya perenungan, perlu diurai, dimaknai, dipikirkan dan dirasakan, tidak semua orang paham, rata-rata dari mereka enggan repot-repot mencerna apalagi menerima pemahaman yang dirasa abstrak. Sama halnya dengan gamelan, rata-rata orang menganggapnya sebagai barang kuno, hanya akan didekati jika itu berurusan dengan tugas mata kuliah, proyek komersil, atau sebagai latar ketika berfoto guna diunggah di media sosial.

                Bagaimana orang akan sampai pada sebuah nilai esensi jika ia cukup puas berkubang pada hal-hal yang bersifat meteri, yang tampak mata dan yang akhirnya mereka sangka sebagai tujuan itu sendiri. Tipu daya keindahan dunia sering membuat kita terlena, salah arah dan melupakan niatan awal untuk dapat menjumpai-Nya. Sementara itu jalan menuju kesejatian, mengenali diri dan Tuhan melalui perenungan seakan menjadi kegiatan yang tidak menyenanglan, mengalami berbagai macam godaan dan rintangan dalam menempuhnya. Begitulah kondisi kita saat ini, sering salah terka sebab enggan belajar, tidak memiliki ketahanan sikap dalam mencari, maunya langsung jadi, memangkas waktu proses dan menelan kesimpulan mentah, tidak tahan banting dan benturan dalam melangkah, senang dengan sesuatu yang serba instan, dan tentunya pendangkalan tersebut ikut berkembang-biak seiring lahirnya generasi baru turunan generasi sebelumnya yang krisis identitas sebagai umat beragama dan pastinya sebagai orang Jawa itu sendiri.


Budaya Kita Hari Ini Memang Budaya Pasar Malam

                Tradisi Sekaten dengan dua pemahaman yang umum dibenak masyarakat Surakarta dan sekitarnya tadi kiranya adalah warna tersendiri kalau bukannya permasalahan kebudayaan kita hari ini. Bolehlah ini tidak dianggap penting sebagaimana jalan pikiran orang-orang yang sempit wawasan serta cara pandangannya, rata-rata manusia jenis ini adalah mereka yang hidupnya penuh ancaman dari berbagai macam aspek kehidupan akibat informasi yang mereka konsumsi secara sembarangan, akhirnya mereka rela membunuh kesadaran dan/atau menikmati ketidaksadaran, orang-orang macam ini cara hidupnya ikut arus, meski mengaku beragama dan berpendidikan tapi mereka tidak juga selamat dari gangguan kegelisahan batin yang timbul atau ditimbulkan oleh pemahaman-pemahaman yang mereka terima. Lalu lari menuju tempat-tempat yang mereka sangka dapat memenuhi kebutuhan rohani tentang kebahagiaan. Maka, jadilah mereka penggerak roda-roda perputaran uang para pengusaha, bahkan jadi peluru kepentingan dari pihak-pihak yang tidak mereka kenal dengan pasti.

                Bukan hal yang mengherankan, seseorang yang tidak kenal dirinya gampang goyah oleh perubahan jaman, kabur memandang peristiwa sebab ia juga tidak akan sepenuhnya yakin terhadap Tuhannya, zat yang secara lisan kita yakini sebagai Sang Maha Kuasa dan Pencipta alam semesta beserta isinya termasuk kita sebagai manusia. Keriuhan Pasar Malam dan berbagai macam wahana permainan juga barang-barang dagangan yang menjadi daya tarik bagi sebagian besar masyarakat kita merupakan cerminan kehidupan kita sebagai masyarakat moderen, persetan dengan sejarah, masa bodoh dengan makna yang terkandung, apa pedulinya mengenali tradisi, terima saja segala perubahan dan kemudahan tanpa perlu susah-susah merawat barang museum. Ya, baiklah,kalau begitu saya akan berpendapat bahwa sekarang ini budaya kita memang budaya Pasar Malam, tata hidup transaksional yang perlahan mulai menggusur ajaran gotong-royong, hiburan-hiburan yang bersifat konsumtif sebagai obat pelipur lara luka kehidupan, menceburkan diri tenggelam dalam keriuhan tolol dan huru-hara massa kaum bimbang, sibuk mencari tempat-tempat terang yang kita jadikan jalan untuk meraih popularitas, ketenaran semu dan dianggap mampu mengantar untuk menaiki tangga status sosial. Perlahan tanpa sadar kita semakin jauh dari kemampuan merenung, apalagi menyelami kedalaman repertor musik milik leluhur sendiri. Bagaimana hendak menjadikannya sebagai sarana perenungan kalau kenal saja tidak, telinga kita jauh lebih akrab dengan musik-musik populer dari artis-artis yang sedang ramai diperbincangkan, yang bagi saya tidak lebih dari sekadar badut entertain yang meraih popularitas sebab tingginya intensitas penayangan dengan kaum-kaum sampah sebagai konsumen serta sasaran strategi pemasaran.

                Saya tidak ambil pusing dengan definisi orang lain yang berseberangan dengan pendapat saya soal budaya Jawa itu apa dan bagaimana, soal mana yang perlu dan tidak perlu dilestarikan, diurai, dan dimaknai kembali, sebagaimana orang lain yang dengan sesuka hati mereka menyatakan pendapat dalam jurnal maupun artikel berbayar, menjadikan kutipan-kutipan sebagai tameng cercaan agar lancar dan mulus tanpa hambatan segala syarat kelulusan, tapi sesudahnya jadi budak juga dengan bekal kertas ijasah yang sudah ditebus dengan menggugurkan setiap tahap kewajiban. Atau mereka yang senang debat kusir dan omong kosong di media sosial, distributor artikel-artikel sampah hanya untuk pamer kepedulian, sementara di dunia nyata mereka tidak melakukan apa-apa. rata-rata dari mereka sama sekali meninggalkan apa yang pernah disuarakan, dan muncul lagi pada musim-musim tertentu, berbondong-bondong memamerkan barang dagangan, ikut jualan dengan mengharapkan bayaran berupa sedikit perhatian dari orang lain, atau ikut ribut jadi tengkulak membeli informasi-informasi sampah untuk dikonsumsi tanpa peduli apakah itu perlu bagi dirinya yang penting kebutuhan ngeksis terpenuhi.

                Terlepas dari itu Gamelan Sekaten Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari akan tetap mengalunkan gending-gending warisan para leluhur setiap tahun selama sepekan menjelang peringatan hari kelahiran Nabi besar Muhammad SAW. Suaranya mungkin tidak akan dapat kita dengar dari luar halaman Masjid Agung, meski sudah menggunkan pengeras suara tetap saja kalah saing dengan suara-suara transaksional laba rugi, kabur oleh kesibukan kita mengimport pemahaman-pemahaman dari luar, tenggelam oleh sisi hedonis dalam diri kita yang lebih dominan, larut bersama sikap konsumtif yang kita biarkan menguasai diri seiring perkembangan teknologi cara berbelanja dan terkubur kegiatan tawar-menawar barang dan jasa masyarakat kita. Ya, Rambu, Rangkung dan Barang Miring semoga tetap mengalun mengawali setiap sesi acara nabuh gamelan Sekaten hingga nanti sampai pada lintas generasi.


Surakarta, Rabu Pon, 30 Oktober 2019
1 Rabiul Awal 1441 Hijriyah / 1 Mulud 1953 Wawu
Mangsa Kalima Wuku Bolo



Joko Lelur
Mantri Carik Teater Sandilara

No comments:

Post a Comment