Thursday, 21 May 2020

BANGSA TERIMAKASIH


Seperti yang sedikit dibicarakan orang, bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang semula berdikari, mandiri, tanggap, alias tidak ada ulur tangan dari (yang ngakunya) pemerintah, tidak ada masalah, tidak ada apa-apa alias biasa saja. Saya katakan semula, karena melihat kondisi sekarang yang berbeda, malah kesannya didominasi kaum-kaum peminta. Sedikit-sedikit mengandalkan bantuanlah, inilah, itulah, sampai sulit membedakan antara yang mana pengemis, yang mana peminta, yang mana pengaju proposal atau dana. Toh semua sama saja, sama-sama tidak lagi mampu berdiri di atas kaki, tangan, dan tubunya sendiri. Barangkali orang-orang yang seperti itu perlu ditanyakan mengenai kesehatan raga dan jiwanya. Ya, raga, barangkali dibagian lehernya kaku karena tidak mau melihat sekitar, apalagi ke belakang. Ya, jiwanya, barangkali juga mereka itu memang sedang menderita sakit mental, tapi tidak sadar, tepatnya enggan atau tidak mau.
Bukankah mbah-mbah, pendahulu kita, sudah mengajarkan bagaimana untuk hidup dan berkehidupan. Tidak ada nasi ya makan jagung, ya tela, ya tidak makan, alias puasa, prihatin. Tidak ada daging, ya makan tempe, tahu, masih tidak ada, ya makan daun, masih tidak ada lagi ya puasa, prihatin. Tapi sekarang jaman memang telah berubah. Berubah tidak seperti dulu lagi. Tidak juga berkaca kepada sejarah yang sudah-sudah, dan memilih untuk menjadi manusia baru yang tanpa sebab, tanpa sejarah. Malahan kebanyakan mengatakan, apabila masih saja menengok sejarah, tradisi, dianggap kampungan dan ketinggalan jaman. Toh ya sebenarnya tidak apa-apa dikatakan kampungan, toh di kampung, malahan, kemanusiaan yang sebenar-benarnya kemanusiaan, ada, sekaligus nyata. Tapi itu dulu. Sebelum kampung diinginkan untuk menjadi kota. Kota, yang sulit menemukan manusia, apalagi kemanusiaan.
Kita bukan krisis pangan, kita krisis mental pangan. Kita cenderung berpikir kaku dan stagnan alias bahasa anak mudanya mainstream. Hal itu membuat ranah kekreatifan semakin tertinggalkan dengan buru-buru untuk maju ke depan menjadi terdepan. Ya, kita terlalu bercita-cita untuk maju tanpa sedikitpun meluangkan waktu untuk menengok ke belakang, menengok sejarah. Ya, menengok saja tidak, apalagi menyapa. Menyapa saja tidak, apalagi berjumpa. Berjumpa saja tidak, kok berani-beraninya mengatakan pembaruan, modernitas, kemajuan, kesejahteraan, kemakmuran. Jadinya ya sistem perngawuran. Bilangnya surealis, tapi ngawur. Bilangnya abstrak, tapi ngawur. Bilangnya model terbaru, nyatanya tak memiliki makna.
Barangkali krisis mental memang sengaja diciptakan. Buktinya apa, setiap ada calon yang jadi, mereka dalam pidatonya selalu berkata perihal kebaruan kinerja. Baru, baru, dan baru sampai mulutnya berbusa dan membiru, legam. Mereka berkata perihal kebaruan tanpa menengok sejarah. Katanya, yang dulu itu sudah ketinggalan jaman. Sudah tidak pas untuk diterapkan di masa yang sekarang, kita harus maju ke depan. Ya, mereka ternyata lupa. Sebenarnya jaman tidak pernah meninggalkan. Malahan yang meninggalkan itu mereka. Mereka berlomba-lomba membuat dan menggiring opini, wacana, dan semacamnya, dengan menyertakan kalimat “demi kemaslahatan bersama”. Ya, bersama siapa dulu, kemaslahatannya siapa dulu. Hal itu perlu untuk kita renungkan, kita rasai, bukan serta merta menerima dan memakannya mentah-mentah dan tergesa-gesa, takut ada yang meminta. Ya, takut ada yang meminta. Di sisi lain ia sendiri adalah peminta-minta. Bagaimana tidak lucu, peminta-minta kok takut diminta.
Ya, krisis itu bentukan. Bentukan dari sebuah kekuasaan yang hidup dalam sebuah wilayah yang orang banyak menyebutnya sebagai Negara. Negara menciptakan krisis agar rakyatnya tunduk dan menjadi peminta pada penguasa. Untuk apa, untuk penguasa melebarkan namanya, agar dalam kaca mata dunia, memandangnya sebagai Negara dengan penguasa yang merakyat, memiliki kemanusiaan, besar rasa toleransi, peduli, dan segala macam sebutan lainnya. Padahal itu kan sudah tugasnya penguasa untuk menjadi pengayom bagi rakyatnya. Tapi sekali lagi, sedikit orang telah mengatakan, meski sampai pada titik penguasa yang tidak peduli kepada rakyatnya, itu tidak apa-apa. Nyatanya masih ada rakyat yang menanam untuk mereka makan. Masih ada sandal-sandal dari ban bekas. Masih ada sate gembus. Masih ada sayur tulang alias tengkleng. Masih ada sega brabok. Masih ada sega tiwul. Masih ada sate kiong. Ya, masih banyak cara menuju kewarasan. Masih banyak jalan menuju hidup yang benar-benar hidup. Soal pemerintah yang tidak peduli pada rakyatnya, itu ya soalnya pemerintah sendiri yang harus ia kerjakan di tempat, bukan malah dijadikan PRD (pekerjaan rumah dinas), apalagi ada yang sampai membayar calo untuk mengerjakannya, memalukan. Pemerintah macam apa itu, meski pada dasarnya pemerintah itu juga tidak memiliki macam atau jenis. Mereka sebenarnya sama. Sama-sama berpekerjaan memerintah tapi kalau dikritik, marah-marah. Sampai saking kelewat batas, ada juga yang tidak hanya marah-marah, seperti memenjarakan, membunuh dengan lain tangan, menghilangkan, dan sederet cara yang lain.
Sekilas cerita, di desa saya memiliki kepala desa atau petinggi yang dendam kepada sebagaian masyarakatnya. Semua jalan di desa diaspal, rapi, bagus, namun tak tahan lama. Terdapat satu daerah yang boleh dikata merupakan daerah yang dicap merah (bukan merah yang itu), oleh kepala desa. Jalannya dibiarkan rusak tanpa penanganan. Jembatannya yang hampir rubuh dibiarkan. Lalu apa respon dari masyarakat cap merah tersebut? Mereka mempergunakan dana kas iuran warga untuk membeli urug (batu halus) dan ditaruhnya di sepanjang jalan genangan itu. Kemudian untuk jembatan, mereka juga bekerja bakti menambalnya dengan kayu-kayu sisa yang dikumpulkan dari masing-masing yang mereka punya. Kepala desa kemana? Entah, mungkin sedang tidur siang atau rekreasi bersama keluarga.
Cerita tersebut bukan fiktif belaka, dan memang terjadi di desa saya—tepatnya desa mbah saya. Masyarakat cap merah menyadari akan hal itu. Mereka menyadari akan ketidakpedulian kepala desa kepada mereka. Tapi toh mereka tidak apa-apa, kadang sedikit misuh, lumrah kan?
Kembali pada persoalan krisis mental yang mewujud kemlaratan mentalitas. Kalau kita mau dan yakin, tidak akan ada yang tidak. Sayangnya kita tidak mau, apalagi untuk yakin. Kita keburu menghamba dan melacurkan diri sebagai sosok yang rasanya paling butuh bantuan dan meyodorkan sejumlah syarat demi pencairan dana bantuan. Masyarakat seperti ini itu lucu. Mereka berlomba menjadi yang terdepan dalam antrean hanya untuk melacurkan dirinya. Mereka bilang itu hak mereka sebagai rakyat. Bukannya hak, itu adalah hak, yang tidak harus diminta-minta nanti juga bakal didapat. Hla wong namana juga hak. Yang lebih lucu lagi itu pemerintah. Mereka dengan bangga menyiapkan dana untuk berbagai penanggulanan bencana dan menyatakan perbuatannya dan perbuatan segenap jajarannya sebagai wujud aksi sosial dan kemanusiaan. Sebetulnya yang dibanggakan mereka itu apa, hla wong memang itu sudah menjadi tugas dan kewajiban mereka, kok ya dipamer-pamerkan dengan slogan aksi kemanusiaan. Bukankah itu lucu? Ya tidak, kalau bagi para krisiskus mentalitas. Mereka malah menganggapnya fenomena besar. Fenomena yang kelihatannya tidak biasa karena memang tidak biasa alias jarang. Sebenarnya ini yang lucu itu siapa?
Lucu. Ya, berbicara mengenai lucu, toh itu menjadi fenomena dalam Negara kita. Hasilnya, apa-apa harus lucu, jika tidak ya tidak laku, tidak payu. Ya, jadilah Negara yang berbangsa badut penganut paham deminasi demi perut terisi. Ya, demikian dan terima nasi. Kenapa bukan demikian dan terima kasih, karena terima kasih sudah terlalu sering dikatakan dan memang itu yang terjadi dan dijadikan. Kita dicetak menjadi bangsa terima kasih, bukan bangsa sama-sama.

Pati, 20 Mei 2020
/Ang

Sunday, 10 May 2020

Masyarakat Takhayul Yang Gila Data

Takhayul itu, mantranya bernama data. Dan penyihir yang diganyang kali ini bernama teori konspirasi.

Awalnya digencarkan pendefinisian teori konspirasi sebagai sesat pikir, halusinasi, kesimpulan orang-orang kalah yang lari pada mitos, disebut tidak berdasar, ilusi, hoax, dan pantas ditertawakan. Ini sebagaimana pendefinisian komunis di era orba dan pendefinisian radikal di rezim sekarang.

Maka terbentuklah stigma publik bahwa teori konspirasi adalah semacam hoax sejak di dalam pikiran. Sebuah sesat dan ilmu hitam yang jahat.

Berikutnya digencarkan; segala opini, narasi, sudut pandang, gagasan, dan rumusan keadaan yang bertentangan dengan narasi mainstream adalah teori konspirasi (yang telah dikonotasikan sebagai ilusi seperti di atas). Ini seperti orang-orang yang tidak setuju dengan kebijakan orba kemudian dicap kiri.

Ini adalah salah satu penyudutan atau pelemahan opini yang bertentangan dengan kebenaran umum. Cara yang dilakukan adalah dengan menciptakan teori yang merumuskan bahwa lawan kata dari kebenaran umum adalah kesalahan umum. Teori tersebut digencarkan juga, sehingga sukses menjadi asumsi umum.

Kita lupa bahwa lawan dari kebenaran umum bukanlah kesalahan umum, tetapi adalah kritik, adalah alternatif, adalah antitesis, adalah wacana tandingan/pembanding. Nilainya sama-sama gagasan, pengertian ini harus kembali diingat, agar tidak terjadi monopoli kebenaran. Meskipun praktiknya kebenaran umum selalu memenangkan kuantitas dan dominasi, karena saluran resmi dan media massa memiliki daya corong yang lebih besar, kuat, dan berlisensi, tetapi harus diingat bahwa kebenaran umum bisa juga berdasarkan sebuah tahayul (lihat contoh search; pemilu).

Senjata yang digunakan oleh saluran resmi dan media menstream dalam menggencet narasi lawannya adalah data dan penghargaan/pemahlawanan sosok yang berada di kubunya.

1. Data, karena masyarakat terlanjur mempercayai bahwa data adalah fakta. Sedang pengetahuan mengenai bagaimana data diambil tidak mereka miliki dan memang tidak diungkap.

2. Penghargaan adalah semacam ilustrasi musik di belakang narator, ia merebut perasaan orang-orang, menghipnotis orang untuk menjadi bagian dari pendukung omongan yang berangkat dari empati. Jadi ya pikiran, ya perasaan terkuasai oleh itu.

Data hanyalah salah satu citra dari gambaran kenyataan.

Ada dasar lain yang harusnya tidak bisa serta merta kita injak sebagai bukan gambaran kenyataan. Penyair/seniman misalnya, mereka tidak menyebut dasarnya sebagai data, maka yang ia buat adalah karya seni bukan karya ilmiah. Karena bukan data apakah kemudian karya tersebut dikatakan hoax atau omong kosong? Apakah karena bukan data lalu serta merta karya tersebut tidak berangkat dari kenyataan? Meski bukan disebut ilmiah, idealnya seniman memiliki dasar yang harus diperhitungkan sebagai rumusan keadaan karena berangkat dari akal sehat, intuisi, kepekaan sosial dan wawasan sejarah-budaya.

Yang tercetus dari pikiran seniman tersebut adalah bentuk dari visinya, ia mempertanyakan, ia merumuskan, ia menyangkal, menentang kebenaran umum yang tidak ia sepakati. Tetapi berpendapat berdasar akal sehat sendiri sebagi kegiatan yang akrab dengan masyarakat kita pun telah mati, maka kesenian pun juga mati sebenarnya, digusur dengan segala yang resmi. Salah satu contohnya, dunia akademik yang bertuhankan data, yang mencetak akademisi-akademisi kelas menengah yang cerewet dan selalu merasa tahu dan kemudian dipelihara negara sebagai agen wacananya.

Akibatnya, jika kita dihadapkan pada 9.999.999 orang yang berteriak A dan 1 orang berteriak B, kita menganggap A adalah kenyataan dan B adalah tidak nyata. Sedangkan hati kita yang berkata C memilih bungkam ketimbang dicap halusinasi. Jadi ketika kekuasaan ingin memproduksi kebenaran ya tinggal mencetak separuh lebih dari jumlah pendapat yang ada, maka jadilah ia personifikasi kebenaran, dengan jaringan kekuasaannya itu sangat gampang diwujudkan, biarpun itu kejahatan resmi sekalipun.

Jamane jaman data, yen ra data ra keduman kepercayaan. Beja-bejane masyarakat data luwih beja masyarakat eling lan waspada. Jadi baiknya kembali kita tengok ke ingatan sendiri, ambillah contoh data-data yang ditunjukkan  pemerintah sebagai gambaran komitmennya dalam melawan korupsi. Apakah itu kenyataan yang kau lihat sendiri atau hanya kau dapati siaran resminya?

Catatan Gumam 11 Mei 2020

Saturday, 18 April 2020

LAMBANG-LAMBANG HANTU DI LEPAS DI JALAN-JALAN

Kalau kekuasaan sudah kehilangan wibawa, mereka lalu akal-akalan bikin lambang-lambang hantu yang dilepas di jalan-jalan, mitos-mitos yang dekstruktif, agar masyarakat ketakutan dan minta perlindungan.

Menciptakan musuh bersama yang untuk menghadapinya hanya bisa dengan tata cara yang diinstruksikan dan dilaksanakan melalui sebuah kerja sama dengan format; pembesar dan kawula.

Sejak dulu cara itu terbukti ampuh untuk melanggengkan kekuasaan. Machiaveli pernah mengatakan bahwa masyarakat yang sedang takut lebih bisa dikendalikan dan dikuasai. 

Ketertiban yang diharap kekuasaan itu bisa berupa kericuhan-kericuhan di mata kita, tetapi sejatinya memiliki pola dimana pangkal ujungnya bisa berupa kematian dan keuntungan. 

Politik kekuasaan akan menciptakan ilusi (yang merupakan chemistri dari kebodohan) untuk mensukseskan permainannya. 

 "Ilusi bagaimana, permainan bagaimana, lhawong korban jatuhnya nyata!" 

Terkadang kepolosan kita masih juga bisa sangsi, masak bisa setega itu negara? Nalar berdasar histori kita memang pendek seperti chattingan. Sampai kita lupa bahwa negara itu adalah sistem, ia bukan manusia yang berhati, dimana di dalam algoritmanya; warga adalah angka-angka yang boleh dikurangi, boleh dikurung, boleh dibagi, boleh dipecah seenak kepalanya untuk sama dengan kekuasaan berjalan. 


Sejak dulu dan akan menjadi selamanya jika daulat rakyat tetap tidak ada begini. Baru ketika rezim selesai, akuntansi kejinya bisa kita nikmati di sejarah-sejarah tandingan dan panggung-panggung romantika ngritis kesenian. Tetapi di saat kita menyoroti dosa rezim yang telah bangkai, kita lupa kepada bahaya rezim baru yang sedang berkuasa mulai memainkan playrole nya. Begitu sejak orde baru sampai orde yang kian baru, masyarakat selalu terlambat teriak; saya ditipu! 

 Kematian memang jujur, tetapi angka dan datanya belum tentu. Kesakitan memang nyata, tetapi diagnosa dan datanya belum tentu. Korban berjatuhan memang ada, tetapi dipihak siapa, warga atau jajaran elit negara? Kerugian jelas ada, tapi siapa yang nyata secara langsung menanggung bebannya? Jika ini memang bencana untuk semua, kenapa tetap saja ada yang beruntung di atas sendi-sendi hidup kita yang buntung, founder Ruang Guru misalnya, IMF misalnya, bakul-bakul hand sanitizer dan masker mah hanya mengail upil di udara yang keruh. Tetapi modal-modal raksasa tetap jaya di langit kita. 

Kapitalisme yang hampir macet sedang berevolusi ke bentuk baru, kita dipaksa setuju dengan jalan penumbalan-penumbalan. Tata cara biadab akan selalu lebih efektif karena tidak memerlukan pernak-pernik nilai-nilai kebudayaan. Ini nanti akan seperti apa bentuknya, kita yang selamat akan menyaksikanny. 

Catatan ini hanya tawaran untuk eling dan terlebih waspada, tapi harusnya tidak usah dipercaya. Percayalah saja pada yang berkuasa, juga kepada pejabatnya, ulamanya, wartawannya, para ahlinya, senimannya, buzernya, influenzernya, militernya, polisinya, sebab kepada mereka kita lebih terbiasa untuk harus! Disitu kita lebih mungkin beja di zaman edan. 



 Catatan Gumam, 19 April 2020

Mangkel


Mangkel.

“ Kalau sampai grobak saya ini diangkut, saya siap kalau memang harus perang, Mas. Saya tidak bisa harus di rumah saja, mau makan apa anak istri saya. Grobak ini diangkut, awas saja, saya titeni orangnya, di rumah saya ada bedil manuk tak tembak orangnya. Saya ini sudah miskin kok mau dimiskinkan lagi ”

Pernyataan di atas tidak dibuat-buat, dilontarkan langsung oleh seorang pedagang angkringan. Di situasi begini ( pandemic covid 19 ), orang-orang yang paling tidak punya nilai tawar adalah para kelas bawah, mereka sangat dirugikan. Kapan itu saya mampir di angkringan, pedagang mengaku pendapatannya turun setengah daripada biasanya. Sebab yang biasanya Ia berdagang dari siang sampai malam, harus terpaksa tutup kurang dari jam sembilan malam, karena lebih dari jam sembilan, para petugas akan datang dan menyuruh para pedagang untuk segera tutup. Ia merasa tidak adil, sebab kalau Ia harus di rumah saja tidak ada penjaminan tentang hidup Ia dan keluarganya.
Sementara itu selama lebih dari satu bulan ini semua penanganan hanya bersifat anjuran, anjuran untuk memakai masker, anjuran untuk dirumah saja, tidak ada aturan hukum yang bersifat memaksa. Kabarnya semua itu dilakukan agar para kelas bawah tidak terdampak atas kejadian ini, tapi tidak, itu semua justru sama dengan membunuh para kelas bawah dengan pisau tumpul, tidak segera mati, antara hidup segan mati tak mau. Dan jelas aturan yang hanya bersifat anjuran itu semata-mata ketakutan pemerintah atau malah mungkin cara pemerintah untuk menghindari tanggungjawabnya untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya. Semenjak dulu, sebelum ada kejadian ini pemerintah memang tidak pernah memikirkan tentang apa yang terjadi pada rakyatnya, semua keputusan hanya berdasar pada ekonomi, investasi dan juga jalur perdagangan. Jangankan kesejahteraan rakyat, kesehatan atau bahkan jaminan hidup tenang saja pemerintah tidak pernah bisa memberikan kepastian.
Masyarakat kelas menengah kebawah Indonesia sudah terbiasa sendirian tanpa adanya pemerintah, berjuang atas hidupnya sendiri, menghidupi dirinya sendiri, ya sebenarnya mereka itu tanpa pemerintah ya ndak patheken. Tapi ini sangat kelewatan, sebab segala akses yang miliki dan dipegang oleh pemerintah, data, akses, dan APBN, tapi sekan semua diserahkan pada masyrakat, masyarakat yang harus urunan tiap waktu, dari hari ke hari. Ini Negara atau badan amal ?!
Ada yang bilang ke saya
 “ kamu bisanya cuma ngritik, pemerintah itu sudah berupaya, di situasi ini harusnya kita dukung pemerintah ”
Semenjak awal siapa yang memampangkan dirinya di baliho-baliho, mencitrakan dirinya sebagai orang baik dan layak untuk dipilih, ngumbar janji dengan ngotot dan ngemis minta dipilih, masuk ke gang gang, melempar senyum dan juga amplop yang isinya dari sepuluh ribu, duapuluh ribu sampai seratus ribu. Ini adalah konsekwensi yang logis, masyarakat menuntut, mengkritik, geram, bahkan murka menyumpahi yang jelek-jelek. Jadi akan sangat tidak wajar kalau rakyat harus terus mencoba mengerti pemerintah, sedang pemerintah tidak pernah mengerti rakyatnya, kalau di ibaratkan pacaran, anak-anak muda masa kini menamai ini adalah hunungan yang toksic.

Den Bagus
Klaten, 18 April 2020.


Friday, 10 April 2020

SENIMAN KITA TAK PERCAYA PADA NILAI SENI


Teruntuk kebudayaan selfie.

Sampailah kita pada masa dimana dunia seni yang ceriwis tetapi sepi nilai. Keadaan yang diakibatkan pelaku seninya sendiri, sebab telah tak percaya pada nilai seni itu sendiri. Sehingga terhamparlah di hadapan zaman; karya-karya yang minder jika tidak turut menjadi bagian dari pendapat dan kecenderungan umum. Dunia seni menjadi sepi nilai; intelektual, gagasan, sudut pandang, dan perspektif. Sebenarnya mereka tidak lupa pada hapalan mengenai betapa pentingnya nilai seni itu sendiri untuk masyarakat, sebab hapalan itu akan sering diulang-ulang oleh latar belakang masalah proposal-proposal mereka, badan undangan-undangan workshop mereka, pidato pejabat ketika membuka acara mereka (kemudian pamit pulang lebih dulu), juga ketika mereka ‘umuk’ pada anak-anak baru yang ingin mengincipi dunia seni.  

Bagaimanapun kesenian adalah dunia pemikiran, tanpa pemikiran kesenian hanyalah hiburan, seremonial, karnaval, kondangan, burung kutut, kuda poni dan hobi pembunuh waktu senggang. Berpikir, mengamati, mempertanyakan, mengkritik, mengantitesis, menelaah adalah hal-hal yang akrab pada keseharian seniman, yang kemudian berlanjut pada hasrat penyampaian gagasannya melalui jalan artistik dan tersebutlah sebagai karya.

Tanpa gagasan para pencipta karya baiknya menyebut dirinya sebagai golongan yang berkarya (tapi tak usah disingkat) daripada seniman. Bukan maksud melarang-larang, maksudku agar tak kabur istilah yang mendangkalkan kanal kebudayaan. Meskipun kamu pun sering kabur, kan? dari predikat seniman ketika intelektualmu dituntut dengan mengatakan, “ah saya bukan seniman, kok!” padahal berikutnya aku tahu kau rutin meminta bantuan dengan mengatasnamakan diri sebagai seniman, dan yang lain hanya akan mendiamkan karena mereka pun seiman.


Sebuah karya seni lahir karena ada gagasan yang ingin disampaikan, bukan membuat karya agar dirimu ‘digagas’ atau diperhatikan. Memang sedang menjadi nasib bersama, seniman kita musti hidup di tengah masyarakat yang buta nilai pada seni. Keuntungan menurut mereka adalah untung uang. Mendapatkan, menurut mereka adalah income rupiah. Sehingga tips menjadi kaya tentu akan lebih menarik perhatian mereka ketimbang karya-karya seni yang berisi.

Memang sedang begini, orang-orang lebih tertarik tipografi ketimbang isi, lebih terpukau pada lanscape-nya ketimbang fenomenanya. Lebih membenci terorisme ketimbang ketimpangan.

Tetapi hendaknya jangan lupa, bahwa kepada siapa karya seni berbicara tidak teruntuk masa sekarang saja sebab mungkin pula lintas generasi, juga jangan lupa bagaimana seniman berbicara tidak melulu harus melalui ketenaran atau ke-viral-an. Karya seni adalah benih, benih tak tumbuh di mall, pasar, stasiun televisi, dan hiruk pikuk. Benih lebih tumbuh di tempat yang jauh dari hingar bingar pasar, jauh dari pemerintah, dan jauh dari sorotan kamera.

Saya tahu ketidakpercayaan diri seniman pada nilai seni sendiri bukan salah watak dan pribadi seniman semata. Ini juga merupakan perkara eksistensi seluruh umat manusia di era informatika. Juga perkara tatanan negara yang buta terhadap nilai-nilai yang bersifat visioner. Sialnya nilai seni biasanya seperti ramalan jauh-jauh hari yang tak sanggup digarap oleh negara untuk menjadi sebuah kebijakan. Maka seperti sia-sia saja; sajak ‘Pulau Bali’ Rendra yang jauh sebelum persoalan masa kini seperti; reklamasi dan bentrokan penduduk asli dengan para bule yang mabuk lalu kurang ajar.  Juga ramalan Joko Bibit Santoso sebelum meninggal; mengenai salah satu puncak permasalahan dari arus globalisasi akan terjadi di 2020. Itu semua ternyata memang terjadi, dan rumusan-rumusan; peringatan-peringatan dari seniman-seniman melalui gagasannya yang visioner; seperti hanya enak didengarkan tetapi menjadi gagal untuk mencegah keadaan yang menakutkan. Ini akibat dari negara yang hanya mendasarkan kebijakan pada ahli ekonom dan neraca pembangunan saja!

Gambaran tersebut merupakan faktor yang menggerogot mental seniman kita, sehingga mereka pun jadi tak percaya pada makna nilai seni itu sendiri. Sehingga nilai seni mereka tukar dengan nilai-nilai eksistensi yang berwujud karya-karya yang dalam rangka turut menjadi bagian dari pendapat dan kecenderungan umum. Bahkan mereka takut dianggap tidak memiliki kepedulian, padahal perihal ‘peduli’ bagi seniman harusnya sudah merupakan hal yang tak perlu dibicarakan lagi. Mana mungkin kekaryaan lahir tanpa kepedulian? Tetapi yang terjadi masih saja gila citra untuk peduli, sama saja dengan politisi, sama saja dengan Raffi-Gigi, mereka turut pula bertata-cara mengunjukkan diri di hadapan masyarakat kepedulian mereka dengan bendera kesenimannya. Menawarkan karya dengan embel-embel; dalam rangka bla-bla-bla hasil penjualan akan bla-bla-bla! Lalu apa tawaran gagasan intelektual dan visi di dalam nilai karya senimu itu sendiri, selain kalau nanti sudah jadi uang akan disumbangkan? Nol kah? Lha kok macam badan Amil Zakat, departemen sosial, juga lembaga-lembaga kebaikan begitu?
Apa setelah permasalahan yang ramai ini tak ada masa depan yang perlu dijangkau oleh visi karya seni lagi?

Idnas Aral
Sukoharjo, 10 April 2020 

Saturday, 4 April 2020

PUASA PENTAS LEBIH AWAL SEBELUM DATANG BULAN RAMADHAN


Sebelumnya marilah kita, para hadirin yang jumlahnya tidak sampai setengah lusin, berdoa bersama-sama seraya menundukkan kepala untuk sejenak mengenang “arwah” pamflet-pamflet pementasan teater yang “gugur” sebelum hari pementasan tiba, yang mana pada akhirnya dinyatakan gagal pentas sesuai waktu yang dijadwalkan akibat negara kita sedang dilanda malapetaka wabah berbahaya. Semoga tidak benar-benar diundur dalam waktu yang relatif lama, agar para pekerjanya tidak kehilangan mata pencaharian, agar proyek-proyek yang sudah direncakan tidak menderita kerugian terlalu besar, dan pemerintah tidak perlu memberikan dana kompensasi demi keberlangsungan hidup “seniman”. Amiin...

-Sambutan Kepala Redaksi Pada Acara Ulang Tahun ke-2 Koran Medan Prihatin-


                Siapa sangka siapa kira, tahun ini kita dihebohkan dengan wabah yang memberi dampak bagi semua aspek dan sektor kehidupan, satu sama lain saling terkait, pendidikan, kebudayaan, kesenian, ekonomi, barangkali juga politik.  Pemerintah memberi himbauan kepada masyarakat untuk tidak melakukan aktivitas di luar rumah. Tentunya tidak terkecuali untuk kegiatan seni dan budaya. Solo, kota yang memiliki predikat sebagai barometer peristiwa besar di negara ini telah memulai program tersebut, terhitung sejak hari sabtu tanggal 14 Maret 2020 walikota menetapkan status KLB (kejadian luar biasa), hingga hari ini status darurat penyakit menular tersebut belum dicabut. Kegiatan seni di kota ini secara otomatis tertunda, sebab kebijakan tersebut melarang adanya pengumpulan massa. Sementara kesenian sudah barang tentu termasuk kegiatan yang sifatnya melibatkan banyak orang untuk berkumpul pada suatu tempat. Di media sosial pamflet-pamflet pementasan teater yang sudah terlanjur dipublikasikan kemudian diposting ulang dengan disertai stempel “ditunda untuk waktu yang tidak ditentukan”. Ya, mau tidak mau, suka tidak suka, harus sama-sama kita terima kenyataan ini.

                Pada musim-musim normal (tidak ada isu wabah), antara bulan Maret hingga minggu terakhir sebelum bulan puasa (untuk tahun ini jatuh pada pertengahan bulan April) biasanya banyak kelompok teater yang sudah merencanakan pementasan mereka. Pamflet pemberitahuan disebarluaskan, penjualan tiket mulai dibuka, jadwal dan porsi latihan bagi para pemain semakin diperketat, dan urusan keproduksian ditata sebaik mungkin. Tetapi tahun ini, tidak sedikit pula kelompok teater yang hendak mengadakan pentas harus gigit jari. Rata-rata dari mereka ternyata bersikap bijak dan sebagai pekerja seni memberikan contoh yang baik kepada masyarakat, yakni dengan tidak menggerutu kepada keadaan, tampak bahagia dalam situasi sulit dan terpaksa mempersempit ruang gerak. Rajin dan ikut andil membantu pemerintah dalam kegiatan sosialisasi kebijakan lockdown melalui akun jejaring sosial mereka. Menyusun kata-kata himbauan, membuat video-video dengan tema seputar fenomena wabah, dan tentunya sambil putar otak atur strategi demi eksistensi diri dan kelompok masing-masing.



Memilih Berpuasa Pentas Untuk Sementara Atau Mencari Alternatif Media Berekspresi

                Puasa berpentas bukan berarti puasa atau libur latihan, secara total melepas segala sesuatu yang sudah dipersiapkan. Proses garapan naskah sebisa mungkin tetap berlangsung, seminimal mungkin sesuai keadaan masing-masing anggota, sambil menunggu situasi kembali normal untuk kemudian menata ulang jadwal. Berat memang, bersabar dan menahan diri, menanti sesuatu yang tidak pasti dan mungkin saja seperti melakukan perjudian, mempertaruhkan keutuhan garapan dari berbagai segi. Bisa jadi nantinya semakin matang dan solid atau malah bubar, gagal total ditinggalkan para anggotanya yang harus segera menjalani jadwal kegiatan lain di luar kelompok. Mengingat sekarang ini kesibukan setiap orang semakin padat, baik yang masih kuliah maupun yang sudah bekerja.

                Manusia sebagai makhluk sosial memiliki kebutuhan unjuk diri agar eksistensi serta peran hidup yang dipilihnya tetap tersalurkan, identitas diri yang coba dirintisnya tetap terjaga, dan untuk itu seseorang akan menempuh banyak jalan sesuai porsi masing-masing, melakukan berbagai macam cara yang dapat dilakukan. Perkembangan teknologi komunikasi di jaman serba canggih ini memberi banyak jalan untuk setiap individu memeroleh sarana memenuhi kebutuhan tersebut. Beberapa hari semenjak lockdown diberlakukan, media sosial banjir postingan yang lain dari hari biasanya. Ada yang mengunggah video-video pendek yang kurang lebih terkait dengan isu terkini, ada yang membagikan ulang unggahan lama berisi dokumentasi pementasan, ada pula yang mengupload foto-foto kenangan masa silam.

                Gejala serentak dan kompak berjamaah ini menurut kaca mata kami (Teater Sandilara) adalah indikasi dini pergeseran cara berekspresi di kemudian hari atau mungkin akan dimulai pada masa darurat seperti sekarang. Gencarnya arus teknologi telah banyak mengambil alih berbagai macam hajat hidup manusia, memudahkan dan mempraktiskan urusan, teramat lekat dan erat mencengkeram hari-hari kita. Sedikit demi sedikit masuk dan memberi sumbangan besar terhadap cara pandang kita. Bisa jadi, pada suatu ketika pementasan teater cukup disiarkan melalui youtube, lewat status WA, unggahan Facebook, postingan instagram, atau diedarkan dalam keping DVD yang cukup sekali pentas dan rekaman tersebut dapat digandakan hingga akhir jaman sampai tujuh turunan bahkan lebih.

                Tetapi ini hanya prediksi, sebagaimana ramalan judi togel yang bisa saja benar bisa juga salah. Pada hakekatnya teater memiliki bentuk komunikasi tersendiri antara produsen, dalam hal ini para pelakunya atau pekerjanya (bagi yang mencari penghidupan disini) dengan para konsumen (penonton atau para penikmat, penggemar dlsb). Bentuk media tersebut sudah barang tentu tidak lain dan tidak bukan adalah dengan menggelar pementasan, tatap muka secara langsung dalam keadaan seperti apapun. Sama-sama seni peran atau drama, tapi tentunya lain dengan film, sinetron, iklan layanan masyarakat, atau dokumentasi pementasan yang diunggah ulang di media sosial. Bagaimana serangkaian peristiwa tidak berlangsung dan hadir di depan mata. Berjarak baik secara ruang maupun waktu.

                Sekali lagi anggap saja ini ramalan, sonji judi Tjap Tjie Kie, atau prediksi skor pertandingan sepak bola. Setiap individu maupun kelompok akan memilih cara terbaiknya dalam berteater, menentukan kemasan yang paling tepat untuk menggelar “barang dagangan”, termasuk memilih jalan untuk memenuhi kebutuhan eksistensi dalam rangka meramaikan khasanah perteateran. Pada akhirnya nanti terjadi atau tidak bukanlah tentang salah benar, tetapi tentunya akan ada dampak yang turut menyertai setiap keputusan, dan pastinya tidak lepas dari cara pandang, cerminan ideologi, ketahanan mental, serta pengaruh kebudayaan yang lebih besar yang hari ini dianut oleh masyarakat kebanyakan, di masa wabah, di jaman digitalisasi, di era perburuan legitimasi dan eksistensi.




Surakarta, Minggu Legi, 5 April 2020
11 Sya’ban 1441 H / 11 Rejeb 1953 Wawu,
Mangsa Kasadasa, Wuku Marakeh




Joko Lelur
Mantri Carik Teater Sandilara

Friday, 13 March 2020

SOLO DARURAT CORONA, LATIHAN NASKAH “KUTANG” (Kudu TANggungan) TEATER SANDILARA SURAKARTA TETAP BERJALAN


Ketakutan adalah virus paling berbahaya dan tidak ada obatnya. Kecemasan terhadap hari depan adalah penyakit paling mematikan. Kepanikan adalah sumber malapetaka hilangnya akal sehat. Dan kegaduhan konyol adalah dampak dari rendahnya tingkat kewaspadaan pikiran kita terhadap fenomena yang sedang ramai diperbincangkan.

-Imam Besar Majelis Dakwah Sandilara Ustaz Colmek-




                Ancaman virus corona rupanya menjadi kepanikan tersendiri bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia, khususnya di kota Solo ini setelah tersiar kabar ada seorang warga di salah satu kampung meninggal dunia beberapa hari yang lalu. Media cetak maupun elektronik mulai ramai memberitakan, pemerintah mengeluarkan kebijakan kepada masyarakat Solo, poin-poin himbauan dan larangan telah disosialisasikan, sekolah diliburkan beberapa pekan kedepan, segala kegiatan yang sifatnya perayaan atau pengumpulan massa untuk sementara ditiadakan guna mengantisipasi penyebaran wabah tersebut.

                Warga masyarakat dari berbagai macam lapisan dan ragam profesi tidak ketinggalan, sengaja atau tidak, entah atas dasar apa, hampir dapat dipastikan akan menyertakan Corona sebagai bahan pembicaraan, tidak memandang acara dan keperluan, selalu ada durasi untuk menyelipkan topik ini. Sosialisasi atau numpang tampang biar tidak ketinggalan, hanya mereka dan tuhan yang tahu. Ustad di acara pernikahan, dosen ketika diminta mengisi ceramah, murid SMP di group WA, guru-guru di sekolahan sembari menunggu gaji bulanan baik yang tergolong ASN maupun yang masih honorer, Satpol PP yang gemar menggusur orang,

                Warga Net yang tidak terpetakan dengan jelas dimana mereka bermukim juga tidak kalah heboh, beramai-ramai mereka membagikan tips-tips hidup sehat serta antisipasi wabah corona. Beragam komentar mewarnai beranda media sosial dan mendominasi obrolan, menempati posisi teratas mengalahkan persoalan-persoalan lain yang tidak kalah berbahayanya dan sedang berlangsung tanpa perlu saya sebutkan satu per satu karena mungkin tidak akan pernah juga anda-anda ini menyadari.


Naskah KUTANG : Tanggungan Perkara Utang-Piutang Adalah Wabah Sepanjang Jaman Yang Paling Nyata

                Naskah KUTANG merupakan garapan terbaru Teater Sandilara, rencananya akan dipentaskan pada bulan April mendatang. Masih setia mengusung tema permasalahan rakyat jelata, bagaimana kemiskinan menjadi induk segala problematika kehidupan yang akhirnya menyeret berbagai macam tragedi sehari-hari khas kaum pinggiran.  Berurusan dengan masalah utang-piutang merupakan hal yang lumrah bagi sebagian besar masyarakat kita, baik sebagai penyedia jasa keuangan (pemberi bantuan utang) maupun sebagai nasabah yang butuh uluran tangan para pemodal dengan syarat dan ketentuan yang berlaku dan telah disepakati kedua belah pihak. Kendati utang-piutang adalah hal yang lumrah akan tetapi sebab-akibat yang menyertainya merupakan masalah tersendiri yang kadang tidak disadari para pelakunya.

                Siapa juga yang ingin terlahir dan memiliki nasib sebagai orang kekurangan. Hidup di jaman seperti ini terlebih lagi tinggal ditengah peradaban kota, mau tidak mau uang menjadi sarana utama penopang terselenggaranya segala hajat hidup. Bahkan tidak jarang kita temui, untuk urusan makan dan minum saja ada orang yang terpaksa harus berhutang. Ya, mau tidak mau, dorongan kebutuhan pokok manusia menuntut untuk dipenuhi, sementara isi kantongan tidak cukup memenuhi syarat untuk dapat mengabulkan tuntutan tersebut, maka ditempuhlah jalan mencari pinjaman uang kepada orang lain yang memiliki uang lebih atau yang dengan sengaja menjadi penyedia layanan jasa solusi atas masalah keuangan tersebut. Negara saja punya hutang, apalagi kita rakyatnya. Demikian kurang lebihnya kalimat satir yang sering kita dengar ketika masyarakat sekitar kita membicarakan masalah utang. Sekalipun mereka tidak paham dan memang tidak jelas juga untuk apa para penyelenggara negara harus mengambil pinjaman kepada asing atas nama pembangunan dan kemajuan rakyat.
               
                Memasuki pertengahan bulan Maret, proses penggarapan dan persiapan pementasan Teater Sandilara dengan naskah “KUTANG” (KUdu TANGgungan) sudah sampai pada tahap akhir. Kira-kira 90 persen dari total keseluruhan. Rencananya Teater Sandilara akan kembali menyapa masyarakat dengan mengadakan pementasan di kampung, menyasar warga setempat sebagai calon penonton setelah mereka menyetujui kampungnya digunakan untuk menyelenggarakan pementasan. Sudah barang tentu stabilitas keamanan, isu-isu aktual yang berpotensi menghambat selalu mengintai setiap saat. Himbauan pemerintah, rasa curiga, kepanikan tidak masuk akal, hasutan media massa, turut memberi pengaruh baik secara langsung maupun sebagai salah satu pemicu terhambatnya kesepakatan bersama warga untuk berpentas. Hal yang wajar, mengingat masyarakat kita sudah lama tidak dikenalkan dengan pementasan sandiwara yang hadir di depan mata mereka semenjak pelaku Teater lebih gemar masuk gedung pertunjukan dan juga merebaknya tayangan televisi yang dirasa lebih menarik dan mudah diperoleh.



Pementasan Tetap Digelar Bulan April Mendatang

                Terkait diberlakukannya larangan untuk menyelenggarakan acara yang mengumpulkan banyak orang pada satu tempat, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat (Kadiv Humas) Teater Sandilara, Oka Atmowikromo Joko Pitono, mengatakan bahwa hal tersebut tidak menjadi sebuah masalah yang berarti. Bukan perkara apa-apa, karena Teater Sandilara memang tidak pernah memiliki massa penonton dalam jumlah besar. Kami bukan ormas atau kader partai politik yang gemar mengumpulkan massa, tutur pria yang gemar memelihara burung anggungan tersebut. Masalah lokasi pementasan juga bukan suatu kendala, meski ada kemungkinan belum dicabutnya status Kejadian Luar Biasa (KLB) di kota ini ketika jadwal pementasan harus dilaksanakan. Pentas tetap diadakan, gampang saja, kalau tidak bisa di kota ini, kita tinggal pindah ke kota lain untuk menggelar pementasan, geser sedikit kan bisa, ke Kabupaten Sukoharjo misalnya, kebetulan selasa malam kemarin, sebelum berita maha heboh ini menggemparkan penduduk kota, Idnas Aral selaku penulis naskah dan sutradara sudah menemui koleganya di Kecamatan Gatak, Sukoharjo, untuk mendatangi kampung tersebut sebagai salah satu tempat pementasan naskah KUTANG.

                Ketika dimintai keterangan di mana tempat latihan Teater Sandilara, beliau enggan berkomentar, “itu rahasia perusahaan”, ungkap beliau. Kalau mengenai jadwal latihan tidak ada masalah, para pemain sudah mengerti tanggung jawab mereka masing-masing, semua tetap berjalan seperti biasanya, malah ada penambahan jadwal, sebelumnya seminggu sekali pada senin malam sekarang tambah kamis malam, jadi selama seminggu latihan diselenggarakan dua kali. Apakah ini sebagai bentuk respon kelompok sejak merebaknya berita tentang corona masuk ke kota Solo, menurut Oka, sama sekali tidak, mengingat bulan April sudah semakin dekat sehingga persiapan harus semaksimal mungkin. Ia mengaku tidak ada kiat-kiat khusus seperti karantina bagi para pemain dan semua yang terlibat. Hal tersebut cukup beralasan, mengingat Teater Sandilara tidak memiliki gedung sendiri, sudah barang tentu kegiatan sterilisasi dan vaksinasi di lingkungan sekitar sanggar juga tidak perlu dilakukan karena Teater Sandilara juga tidak memiliki sanggar. “Teater kita ini kan bukan pabrik, semua anggotanya tidak dilindungi JAMSOSTEK, tidak juga didaftarkan BPJS atau asuransi kesehatan lainnya. Kalau sakit ya berdoa sendiri, usaha sendiri ke dokter atau pengobatan alternatif atau cukup membeli obat yang tersedia di apotik dan warung-warung terdekat selama persediaan masih ada, sembari meminta kesembuhan kepada Tuhan, katanya penyakit itu Tuhan yang bikin?” demikian yang dikatakan Kadiv Humas Teater Sandilara.

                


Surakarta, Sabtu Wage, 14 Maret 2020




Bambang Sumantri
Wartawan Lepas Koran Medan Prihatin