Wednesday, 30 October 2019

BUDAYA KITA HARI INI MEMANG BUDAYA PASAR MALAM (Sekaten : Antara Kontemplasi Musikal dan Budaya Konsumtif Masyarakat)


                Tiga hari lagi acara menabuh Gamelan Sekaten Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari di halaman Masjid Agung Karaton Kasunanan Surakarta dimulai. Dua perangkat gamelan pusaka selama sepekan akan dibunyikan secara bergantian, bau bunga dan asap kemenyan menyatu, aroma khas yang selalu akan terasa disekitar bangsal tempat Gamelan Sekaten ditabuh. Gending wajib Rambu dan Rangkung akan ditabuh bergantian oleh dua perangkat gamelan tersebut setiap awal gamelan dibunyikan sesi pagi dan malam, juga Ladrang Barang Miring gending wajib sesudah waktu Asar untuk mengawali sesi sore.

                Saya tidak akan menulis tentang sejarah tradisi tersebut, tidak juga mengomentari debat pendapat antar pemuka agama tentang perayaan sekaten yang  bertujuan untuk memperingati kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW, atau mencoba meluruskan pemahaman beberapa orang termasuk kawan-kawan mahasiswa, baik yang saya kenal maupun teman dari kenalan saya tentang sekaten yang ada dalam pemahaman mereka adalah pasar malam bukan nabuh gamelan dan hubungannya dengan syiar Islam pada jaman kerajaan Demak. Ya, saya pikir pemahaman setiap orang tergantung kebutuhan juga, maksudnya seseorang akan menemukan sendiri apa yang ingin mereka ketahui, terlebih lagi untuk urusan ini banyak artikel dan buku sebagai sumber bacaan yang dengan detail menerangkan tentang sekaten secara lengkap.

                Sebagian orang akan berkata, gamelan sebagai sarana dakwah itu jaman dulu, sekarang sudah tidak relevan, sebab mayoritas masyarakat sudah memeluk agama islam, sekaten tidak perlu didatangi, disaksikan, didengar, dan dilestarikan dengan serangkaian tata caranya, itu musyrik dan sebagainya, ke masjid ya ibadah atau dengar ceramah bukan menonton gamelan. Sebagian lagi bersikap masa bodoh, tidak peduli sekaten itu upacara tradisi atau pasar malam, yang penting senang, hura-hura dan merasa bangga hidup sebagai manusia moderen yang tidak perlu lagi memikirkan hal-hal yang tidak memiliki manfaat praktis untuknya.

                Pemahaman rata-rata masyarakat memang demikian, menganggap Sekaten adalah pasar malam atau maleman yang diadakan di alun-alun utara yang terletak di sebelah timur Masjid Agung. Bahkan orang-orang kampung sekitar tempat saya tinggal di kota Surakarta ini juga kurang lebih sama. Pernah suatu ketika saya bertanya kepada tetangga, “mau pergi kemana?” ia menjawab ke Sekaten, setelah ia pulang dan kebetulan saya masih nongkrong di depan rumah saya bertanya lagi, “mampir ke Masjid Agung atau hanya ke pasar malamnya?” ke Sekaten!! Jawab dia, “sekaten apa pasar malam?”, kemudian ia pergi dan berlalu begitu saja. Di lain hari, dulu sewaktu masih SMP saya diajak beberapa kawan ke Sekaten, saya segera mengiyakan ajakan tersebut, lumayan mumpung ada teman, tidak sendirian bisa duduk dan mendengar gamelan ditabuh, pikirku waktu itu, sebab riwayat tentang gamelan sekaten baru saja saya ketahui dari buku kesenian daerah.

                Begitu sampai di sebelah timur Masjid Agung, rombongan teman-teman saya tersebut kompak mengajak masuk ke area pasar malam, berkeliling mencari tempat remang di tengah alun-alun mendatangi lapak judi dadu, sebagian yang lain membeli tiket masuk wahana rumah hantu, saya hanya jongkok di belakang lapak judi dadu sambil merokok, kebetulan waktu itu baru belajar merokok, memanfaatkan tempat dan situasi aman dari jangkauan orang dewasa yang saya kenal dan mungkin datang ke pasar malam juga. Waktu terus berjalan suara gamelan terdengar melalui pengeras suara, batin saya kapan kawan-kawan selesai dan mampir sebentar saja untuk mendengar dan melihat dari dekat gamelan sekaten sebelum pulang. Hingga tiba waktunya pulang, sama sekali tidak menyaksikan acara nabuh gamelan. Besoknya saya pergi sendiri untuk datang ke bangsal pagongan tempat gamelan ditabuh. Sementara kawan-kawan saya tadi berkata kepada orang lain baik itu tetangga maupun teman sekolah bahwa mereka sudah ke Sekaten.


Usaha Pencarian Jati Diri Untuk Kembali Kepada Tuhan

                Sekaten merupakan warisan budaya para leluhur tanah Jawa yang masih berlangsung hingga jaman sekarang, rasanya bukan sebatas napak tilas jejak sejarah, sebagaimana pikiran praktis beberapa golongan yang memandang suatu produk kebudayaan secara fungsional, bagaimana ia memiliki peran dulu dan sekarang, menimbang relevansi berdasarkan hal-hal yang sifatnya kebutuhan lahiriah, jika menguntungkan ya dianggap penting, jika dirasa ada hal lain yang dianggap lebih bisa memenuhi kebutuhan maka yang lama dilupakan begitu saja, tidak perlu dimaknai ulang atau digali kembali dan dikembangkan sesuai irama jaman tanpa meninggalkan nilai-nilai yang terkandung didalamnya bilamana memungkinkan.
               
                Barangkali memang tidak perlu diperdebatkan soal lebih penting mana, atau pemahaman mana yang paling benar soal Sekaten, apakah gamelan atau pasar malam, biar saja setiap individu di dalam masyarakat hidup dengan alam pikir dan dunia pemahaman mereka masing-masing. Pergeseran makna dan gejolak yang timbul anggap saja sebagai hal yang alami dan wajar terjadi dan tentunya berpengaruh pada nilai-nilai serta tata sosial masyarakat manapun. Tetapi, sebagai manusia yang lahir dan ikut tumbuh seiring perkembangan jaman dengan berbagai macam konsekuensinya pernahkah sedikit saja kita berpikir, merenung, dan mencari tahu sebab-akibat keberadaan atau adanya suatu produk kebudayaan serta keterkaitannya dengan kehidupan kita saat ini. Perbedaan kepentingan, pandangan, kebutuhan, wawasan, pengalaman, tingkat pendidikan, asupan informasi, dan lingkungan pergaulan inilah yang terkadang menimbulkan gesekan beda pendapat. Ya, saya yakin setiap orang akan merasa apa yang ia ketahui, yakini dan jalani sebagai kebenaran, rasanya tidak ada orang yang sadar tentang kesalahan atau sesuatu yang secara umum dianggap salah tetapi tetap dijalani dan dilakukan dengan senang, kecuali orang yang tidak waras dan bermental pelacur.

                Tiga hari yang lalu, saya berbincang ringan dengan KRT. Hastonagoro, abdi dalem senior niyaga Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, beliau bercerita tentang analogi Sekaten dan Pasar Malam atau maleman yang diselenggarakan ketika acara Sekaten berlangsung dengan proses mencari jalan pulang kembali kepada Tuhan. Orang awam yang ingin tahu atau melihat Sekaten sering kali terjebak dan salah pengertian tetapi tidak sadar atas kekeliruannya tersebut, sederhana saja yaitu dengan menganggap bahwa pasar malam adalah Sekaten itu sendiri bukan merupakan bagian dari perayaan Sekaten yang sudah berlangsung hingga lintas generasi. Menurut beliau hal semacam ini ibarat orang mencari surga dan menempuh jalan menuju Tuhan, bagaimana ia berkemungkinan tersesat atau tergoda untuk berpaling dari jalan yang lurus, hal ini terjadi akibat kurangnya pengetahuan, dangkalnya pikiran, rendahnya pemahaman, dan faktor-faktor lain dari luar diri yang lebih kuat memengaruhi niatan seseorang untuk mencapai suatu tujuan.

KRT. Hastonagoro menabuh Bonang Gamelan Sekaten Kyai Guntur Madu pada perayaan sekaten tahun 2018. 
Foto : Rizal Item


                Bicara soal kemungkinan seseorang tersesat ketika mencapai tujuan menurut beliau sama seperti orang yang terjebak keramaian Pasar Malam Sekaten, dari rumah ingin menyaksikan gamelan, ketika sampai di sana malah tergoda untuk menghampiri gemerlap Pasar Malam bukannya menuju ke Masjid Agung. Memang segala sesuatu yang menawarkan kesenangan dan bersifat duniawi seringkali lebih menarik dari pada hal-hal yang sifatnya perenungan, perlu diurai, dimaknai, dipikirkan dan dirasakan, tidak semua orang paham, rata-rata dari mereka enggan repot-repot mencerna apalagi menerima pemahaman yang dirasa abstrak. Sama halnya dengan gamelan, rata-rata orang menganggapnya sebagai barang kuno, hanya akan didekati jika itu berurusan dengan tugas mata kuliah, proyek komersil, atau sebagai latar ketika berfoto guna diunggah di media sosial.

                Bagaimana orang akan sampai pada sebuah nilai esensi jika ia cukup puas berkubang pada hal-hal yang bersifat meteri, yang tampak mata dan yang akhirnya mereka sangka sebagai tujuan itu sendiri. Tipu daya keindahan dunia sering membuat kita terlena, salah arah dan melupakan niatan awal untuk dapat menjumpai-Nya. Sementara itu jalan menuju kesejatian, mengenali diri dan Tuhan melalui perenungan seakan menjadi kegiatan yang tidak menyenanglan, mengalami berbagai macam godaan dan rintangan dalam menempuhnya. Begitulah kondisi kita saat ini, sering salah terka sebab enggan belajar, tidak memiliki ketahanan sikap dalam mencari, maunya langsung jadi, memangkas waktu proses dan menelan kesimpulan mentah, tidak tahan banting dan benturan dalam melangkah, senang dengan sesuatu yang serba instan, dan tentunya pendangkalan tersebut ikut berkembang-biak seiring lahirnya generasi baru turunan generasi sebelumnya yang krisis identitas sebagai umat beragama dan pastinya sebagai orang Jawa itu sendiri.


Budaya Kita Hari Ini Memang Budaya Pasar Malam

                Tradisi Sekaten dengan dua pemahaman yang umum dibenak masyarakat Surakarta dan sekitarnya tadi kiranya adalah warna tersendiri kalau bukannya permasalahan kebudayaan kita hari ini. Bolehlah ini tidak dianggap penting sebagaimana jalan pikiran orang-orang yang sempit wawasan serta cara pandangannya, rata-rata manusia jenis ini adalah mereka yang hidupnya penuh ancaman dari berbagai macam aspek kehidupan akibat informasi yang mereka konsumsi secara sembarangan, akhirnya mereka rela membunuh kesadaran dan/atau menikmati ketidaksadaran, orang-orang macam ini cara hidupnya ikut arus, meski mengaku beragama dan berpendidikan tapi mereka tidak juga selamat dari gangguan kegelisahan batin yang timbul atau ditimbulkan oleh pemahaman-pemahaman yang mereka terima. Lalu lari menuju tempat-tempat yang mereka sangka dapat memenuhi kebutuhan rohani tentang kebahagiaan. Maka, jadilah mereka penggerak roda-roda perputaran uang para pengusaha, bahkan jadi peluru kepentingan dari pihak-pihak yang tidak mereka kenal dengan pasti.

                Bukan hal yang mengherankan, seseorang yang tidak kenal dirinya gampang goyah oleh perubahan jaman, kabur memandang peristiwa sebab ia juga tidak akan sepenuhnya yakin terhadap Tuhannya, zat yang secara lisan kita yakini sebagai Sang Maha Kuasa dan Pencipta alam semesta beserta isinya termasuk kita sebagai manusia. Keriuhan Pasar Malam dan berbagai macam wahana permainan juga barang-barang dagangan yang menjadi daya tarik bagi sebagian besar masyarakat kita merupakan cerminan kehidupan kita sebagai masyarakat moderen, persetan dengan sejarah, masa bodoh dengan makna yang terkandung, apa pedulinya mengenali tradisi, terima saja segala perubahan dan kemudahan tanpa perlu susah-susah merawat barang museum. Ya, baiklah,kalau begitu saya akan berpendapat bahwa sekarang ini budaya kita memang budaya Pasar Malam, tata hidup transaksional yang perlahan mulai menggusur ajaran gotong-royong, hiburan-hiburan yang bersifat konsumtif sebagai obat pelipur lara luka kehidupan, menceburkan diri tenggelam dalam keriuhan tolol dan huru-hara massa kaum bimbang, sibuk mencari tempat-tempat terang yang kita jadikan jalan untuk meraih popularitas, ketenaran semu dan dianggap mampu mengantar untuk menaiki tangga status sosial. Perlahan tanpa sadar kita semakin jauh dari kemampuan merenung, apalagi menyelami kedalaman repertor musik milik leluhur sendiri. Bagaimana hendak menjadikannya sebagai sarana perenungan kalau kenal saja tidak, telinga kita jauh lebih akrab dengan musik-musik populer dari artis-artis yang sedang ramai diperbincangkan, yang bagi saya tidak lebih dari sekadar badut entertain yang meraih popularitas sebab tingginya intensitas penayangan dengan kaum-kaum sampah sebagai konsumen serta sasaran strategi pemasaran.

                Saya tidak ambil pusing dengan definisi orang lain yang berseberangan dengan pendapat saya soal budaya Jawa itu apa dan bagaimana, soal mana yang perlu dan tidak perlu dilestarikan, diurai, dan dimaknai kembali, sebagaimana orang lain yang dengan sesuka hati mereka menyatakan pendapat dalam jurnal maupun artikel berbayar, menjadikan kutipan-kutipan sebagai tameng cercaan agar lancar dan mulus tanpa hambatan segala syarat kelulusan, tapi sesudahnya jadi budak juga dengan bekal kertas ijasah yang sudah ditebus dengan menggugurkan setiap tahap kewajiban. Atau mereka yang senang debat kusir dan omong kosong di media sosial, distributor artikel-artikel sampah hanya untuk pamer kepedulian, sementara di dunia nyata mereka tidak melakukan apa-apa. rata-rata dari mereka sama sekali meninggalkan apa yang pernah disuarakan, dan muncul lagi pada musim-musim tertentu, berbondong-bondong memamerkan barang dagangan, ikut jualan dengan mengharapkan bayaran berupa sedikit perhatian dari orang lain, atau ikut ribut jadi tengkulak membeli informasi-informasi sampah untuk dikonsumsi tanpa peduli apakah itu perlu bagi dirinya yang penting kebutuhan ngeksis terpenuhi.

                Terlepas dari itu Gamelan Sekaten Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari akan tetap mengalunkan gending-gending warisan para leluhur setiap tahun selama sepekan menjelang peringatan hari kelahiran Nabi besar Muhammad SAW. Suaranya mungkin tidak akan dapat kita dengar dari luar halaman Masjid Agung, meski sudah menggunkan pengeras suara tetap saja kalah saing dengan suara-suara transaksional laba rugi, kabur oleh kesibukan kita mengimport pemahaman-pemahaman dari luar, tenggelam oleh sisi hedonis dalam diri kita yang lebih dominan, larut bersama sikap konsumtif yang kita biarkan menguasai diri seiring perkembangan teknologi cara berbelanja dan terkubur kegiatan tawar-menawar barang dan jasa masyarakat kita. Ya, Rambu, Rangkung dan Barang Miring semoga tetap mengalun mengawali setiap sesi acara nabuh gamelan Sekaten hingga nanti sampai pada lintas generasi.


Surakarta, Rabu Pon, 30 Oktober 2019
1 Rabiul Awal 1441 Hijriyah / 1 Mulud 1953 Wawu
Mangsa Kalima Wuku Bolo



Joko Lelur
Mantri Carik Teater Sandilara

Wednesday, 18 September 2019

MENIKMATI PERTUNJUKAN PERON


 Saya mempunyai kenangan sumuk, sumpek tapi tidak intim, dengan pentas peron di gedung F. Sehingga, tahun belakangan, beberapa pertunjukannya di tempat tersebut saya lewatkan.
Semalam saya putuskan menantang kesimpulan saya sendiri, saya putuskan hadir dan berharap dapat menikmati sajian.

Keberanian hadir dan berharap, itu tanpa sadar tumbuh dari peristiwa berikut. Saya bertemu dengan si sutradara pertunjukan tersebut di aula TBY, yakni launching buku lakon Heru Kesawa Murti (HKM). Ia datang bersama beberapa orang teater peron. Kami tidak berbincang hanya saling bersalaman dan kemudian kembali menjadi masing-masing; penonton diskusi buku tsb.

Perjumpaan di acara yang sepi pengunjung itu, membuat saya kepengen nonton pentasnya. dan berani berharap menikmati pertunjukan Peron di gedung F. Saya, memang terbiasa membentuk penilaian dari hal sederhana yang saya temui sendiri, ketimbang dari hal-hal fantastis dan berdarah-darah tetapi hanya katanya.

Singkat cerita, saya berangkat, tiket sepuluh ribu tetap terasa murah, terlepas bagus dan tidaknya pertunjukan.
Masih seperti dulu, instalasi daun-daun gugur di tangga menyambut penonton, bedanya tak ada lilin.
Masih juga seperti dulu, sumuk!
Lagi-lagi masih seperti dulu, dibuka dengan beberapa gojekan yang niatnya untuk cair suasana, tetapi?
Begini, selain penampil, menonton itu juga memakai energi, jadi beberapa adegan prolog yang saya tidak tahu apakah dari naskah atau inisiasi kelompok, cukup menguras energi saya. Apalagi kenangan saya di tempat tersebut juga turut menggaruki titik resah.
Hampir saja harapan saya mati, ingin pergi, tapi terselamatkan oleh lampu panggung pertama babak 1, paduan kostum make up dan lampu muncul sebagai artistik pelepas dahaga. Satu angin segar.

Jadi kenapa tidak sedari tadi saja, kenapa tidak percaya dengan apa yang telah benar-benar disiapkan untuk menjadi kesan pertama, ketimbang prolog gojekan yang terkesan tidak benar-benar dilatih dan justru menguras stamina untuk kuat menonton.

Setelah artistik patung, dayung bersambut dengan keaktoran yang segar dari yu Seblak. Aktris peron ini, malam itu bermain dengan bagus, untuk adegan-adegan sense humor yang ger. Berikutnya, aliran pertunjukan menjadi bisa dinikmati.

Lontaran kritik dan guyonan berada di dalam porsi yang tepat, narasi kemiskinan di hadapan pembangunan kota disampaikan. Juga pertanyaan mengenai kepahlawanan yang disampaikan oleh tokoh-tokoh patung, melalui dialog sederhana tetapi mengena.

Intermeso.
Dulu kebudayaan kita tidak memiliki ungkapan aku cinta padamu di dalam dialog sehari-hari. Tetapi teater dan film menghadirkannya di dalam dialog pertunjukannya, maka semakin kayalah ungkapan kebudayaan kita, ketika aku cinta padamu menjadi dialog yang kita gunakan di dalam keseharian. Itu salah satu contoh karya teater yang berdampak terhadap kebudayaan.

Kemarin ada salah satu contoh kebalikan dari gambaran di atas, yakni karya yang justru terdampak dari kebudayaan massa, dari panggung entertainer. Yakni adegan jogedan cendol dawet yang sedang naik daun alias viral itu.

Mungkin, tujuan adegan tersebut, adalah untuk menyegarkan suasana, tapi kenapa tidak lebih ger dari permainan dialog-dialog yu Seblak sebelumnya? Ya karena itu bukan khas dari teater, dan hal yang tidak harus hadir ke ruang teater penonton bisa menemuinya, bahkan penonton bisa melakonkan hal tersebut dengan lebih baik. Jadi kenapa teater turut pula di dalam kecenderungan massa tersebut? Kenapa justru masuk paparan tersebut di dalam adegan, yang membubarkan jalinan cerita. Kasus karya yang terdampak ini sering saya jumpai. Tetapi mungkin sutradara memiliki maksud yang tidak sepemahaman dengan saya mengenai kasus tersebut.

Padahal sebelumnya adegan berita (yang percaya penonton tidak bodoh), telah tersampaikan dengan baik. Juga permainan klimaks di babak terakhir, yakni babak penggusuran dimainkan juga dengan asas bahwa penonton itu tidak bodoh, sehingga pertunjukan tidak usah repot-repot menghadirkan proyektor kualitas ruang kelas seperti biasanya. Cukup dengan permainan lampu, musik dan laku tokoh, babak tersebut dapat tersampaikan, mengena, dan nikmat khas teater saya temui. Meski ekspetasi saya terhadap potensi yu Seblak untuk adegan haru, serius, tidak terpenuhi, sebagaimana ketika kualitasnya di permainan humor. Tapi saya percaya, kelak saya akan berjumpa kembali dengan adegan mereka. Saya menunggu dan saya dengar penonton-penonton yang rasan-rasan di sekeluar gedung juga menunggu.

Saya tarik ke kenangan pertunjukan kemarin teater kampus juga, yakni tesa.

Saya ingin bicara begini, teater kampus adalah salah satu penggerak geliat seni teater di kota ini, silakan tidak setuju.
Mereka menghadirkan regenerasi pelaku dan penonton dengan intens. Dua pertunjukan tesa dan peron adalah salah bukti bahwa teater kampus juga memiliki penggerak roda kualitas selain juga kuantitas.
Rasanan atau dialog kritik mengenai teater kampus dewasa ini seringnya, diinisiasi oleh bekas teaterawan kampus, yang telah meyakini bahwa teater kampus tidak bagus karena mekanisme kreatif mereka tidak lagi sama dengan mekanisme mereka di waktunya. Sayangnya kesimpulan mereka tumbuh bersama keengganan mereka menonton teater kampus.

Begini.
Teater kampus memiliki alamat yang pasti, jadi lebih bisa dikritik ketimbang teater 'mereka', apalagi usia punggawanya yang selalu lebih muda. Kita boleh curiga, sebab tawaran pertunjukan dari para 'orang-orang' bekas teater kampus yang prihatin dengan kondisi teater kampus sekarang itu juga tidak menyiratkan bahwasanya karya mereka di teater kampus dulu bagus. Jangan-jangan kiprah wah itu hanya mitos?  Dan keprihatinan yang seringkali dihadirkan jangan-jangan hanyalah untuk menjatuhkan mental teater muda agar bisa ditundukkan dan terjaring sebagai volunter dan relawan sendika dhawuh untuk proyek-proyek kesenian mereka?

Saya percaya, kita bisa membedakan keprihatinan yang sehat dan tidak sehat, jadi keheroikan yang sekonyong-konyong yang bagai angin tanpa juntrungan itu jangan sampai rusak pertumbuhan. Beranilah untuk mempertanyakan, bukankah kekaryaan tidak pernah lepas dari jiwa yang berani mempertanyakan?! Ayo! Udara kita saling terkait, sebab itulah tulisan ini saya hadirkan, bukan lantaran keprihatinan. Demikian, hendaklah juga wacana tulisan ini dipertanyakan kalau perlu dicurigai.

Idnas Aral
Catatan Guman, 18 September 2019

Thursday, 4 July 2019

Inovasi Untuk Income-isasi



Kita selalu ingin menjadi sosok pemrakarsa, pembaharu, inovator, pencetus, orang yang pertama kali. Ketika label tersebut jadi tujuan, esensi dari ide atau gagasan yang sejatinya adalah jawaban dari permasalahan zaman, tereduksi bahkan menjadi tidak penting lagi. Akibatnya, banyak hal-hal yang sekiranya akan lebih baik dan semakin menjadi baik ketika hal tersebut berlanjut menjadi mangkrak dan sia-sia.

Salah satu akibat dari kecenderungan ini nampak jelas pada kebijakan setiap pergantian rezim. Selalu saja rezim baru yang berkuasa alergi dan jijik dengan apa yang sudah dimulai oleh rezim sebelumnya. Semua harus diganti, diperbarui tanpa mempedulikan perhitungan anggaran yang telah terbuang untuk sesuatu yang mangkrak lalu menggantinya dengan sesuatu yang kemungkinan besar juga mangkrak di pergantian rezim berikutnya. Belum kerugian korup di setiap program baru.

Penyesuaian zaman, memang harus terus dilakukan, tetapi tidak serta merta dengan cara harus memenggal yang lama lalu mengganti dengan hal yang akan menjadikan pencetus idenya sebagai pembaharu. Ini seperti orang yang bercita-cita ingin disebut pahlawan.

Kecenderungan ini juga nampak di dunia kekaryaan seni. Banyak sekali kita akan berjumpa karya-karya; inovasi sebagai tujuan, bukannya inovasi yang lahir karena menanggapi permasalahan zaman.

Sehingga tumpah ruahlah karya inovasi untuk inovasi, kontemporer untuk kontemporer, pembaharuan untuk pembaharuan.

Sehingga tumpah ruahlah ide untuk ide, gagasan untuk gagasan, simbol untuk simbol, eksperimental untuk eksperimental.

Lalu masyarakat pun menjadi semakin jauh dan jauh dengan karya-karya yang oleh para kreator itu sebut sebagai kesenian. Masyarakat yang tidak sanggup mengerti dengan karya mereka, mereka sebut bodoh. Mereka yang tidak sanggup membuat karya yang dipahami masyarakatnya, mereka sebut sebagai karya yang mendahului  zaman.

Masyarakat dan seniman pun akhirnya bercerai dan hubungan esensial itu kandas di tengah jalan. Masyarakat lari kepada entertainer dan akhirnya menyebut entertaimen sebagai representasi kesenian, sehingga yang mereka sebut artist adalah raffi ahmad dan pemahat mereka sebut sebagai pengrajin.

Setelah masyarakat yang notabene kekasihnya itu lari pada tivi, seniman lari pada dana-dana hibah yang memang ndilalah membiayai karya-karya inovasi (kenapa begitu? Ah mbuh pokok’e kesenian kuwi butuh dana nggo mlaku!). Akibatnya kiblat-kiblat kekaryaan mengarah pada kelompok-kelompok pelanggan hibah. Di lingkaran sempit (yang seakan-akan satu-satunya jalan berkesenian itu) strata kesenian terbagi menjadi dua, kelompok hibah, yakni penerima hibah dan kelompok ghibah, yakni kelompok yang baru bisa ngrasani, sembari ngimpi untuk berada di posisi yang dirasani.

Akibatnya, penciptaan seni tidak lagi berangkat dari masyarakat untuk menuju masyarakat. Karya berangkat dari proposal menuju pasar data dunia global. Tokoh Minke yang pada akhirnya menulis dengan bahasa Melayu karena ingin berbicara pada bangsanya sendiri sama sekali tidak menginspirasi.

Semua bermimpi pentas ke luar negeri!

Jika kecenderungan ini terus menerus diteruskan tidak ada masalah apa-apa, amin. Tetapi tidak akan lahir warisan-warisan berkelas peradaban, seperti gamelan, borobudur, dan primbon. Tiga hal tersebut adalah contoh karya hasil dari penggarapan yang berlanjut lintas generasi. Mengalami penyempurnaan lintas usia satu seniman. Siapa yang memulai, siapa yang melanjutkan, siapa yang memperbarui, siapa yang mengadaptasi, menambahi, mengoreksi. Semua berdiri di posnya masing-masing sesuai di zamannya. Tidak ada yang berebut untuk disebut pemrakarsa. Selama itu hal baik, kenapa tidak dilanjutkan? Hanya karena ingin nampak sebagai seorang inovator,  hal yang sejatinya masih berfungsi kamu sebut atau anggap sudah kadaluarsa.

Warisan itupun mangkrak lalu hilang dan kelak anak-anak kita akan menemuinya di Leiden, Berkeley, Cambridge, dan di buku-buku terjemahan.

Soal zonasi pendidikan adalah salah satu kopi hangat obrolan, yang kelak akan habis dan diganti dengan cangkir-cangkir yang baru, hidangan-hidangan baru. Akibat dari kecenderungan kita semua. Kecenderungan ini telah mengakar dan kita akan selalu mengobrolkan apa yang dihidangkan. Apa obrolan-obrolan kita selama ini karena kegelisahan? Tidak, semua karena nikmat berkata-kata semata.

Catatan Gumam, 5 Juli 2019
Idnas Aral


Thursday, 27 June 2019

DEN SETRA : KAUM REVOLUSIONER YANG DIASINGKAN


                Sejarah panjang suatu peradaban bangsa sering kali mencatat nama-nama tokoh yang memiliki jasa besar tetapi menjadi pesakitan politik diakhir cerita hidupnya, seakan-akan tidak ada artinya apa yang pernah diperbuat untuk kemajuan dan kepentingan umum, usaha mewujudkan kebaikan bagi semua golongan, bukan hanya diri pribadinya. Kebaikan memang bukan tabungan sosial, penyelamat diri dari ancaman mara bahaya di hari tua. Seorang tokoh bangsa memiliki resiko besar menjadi korban politik, terlebih lagi bagi mereka yang terjun langsung dalam kegiatan politik praktis. Lawan-lawan politik akan selalu berusaha menjatuhkan, menggeser kedudukan dengan berbagai macam cara sebagai jalan tercapainya tujuan.

                Den setra, seorang tokoh bangsa yang meletakkan dasar pondasi berdirinya negara, ia harus menghadapi kenyataan pahit, dilengserkan dari kedudukannya di pemerintahan hingga diasingkan karena dianggap pemikirannya dapat mengancam kepentingan penguasa baru. Peristiwa pilu yang wajar terjadi bagi orang-orang di dunia perpolitikan. Dukungan massa sebagai sumber kekuatan telah dimatikan, mereka yang dulu menaruh kesetiaan diri kepada Den Setra ikut dihabsi nyawanya, sebagian lagi yang mencari aman memilih untuk ikut bergabung bersama kubu yang menang atau menjadi pengikut penguasa baru. Kita sama-sama paham, kejujuran dan pemikiran luhur tidak ada artinya di panggung politik. Pertemanan dan kesetiaan berdasar atas kepentingan, bukan soal hati nurani yang memandang baik buruknya suatu pilhan dan tindakan.


Teater Sandilara. Pak Lakon & Mbah Jaga,
dalam sebuah adegan naskah DOM karya Bambang Widoyo SP



Tersingkir Sebagai Tahanan Politik Di Kampung Kandangan
               
                Merasa tidak mendapat perlakuan baik membuat Den Setra merasa semakin terpuruk, bagaimana tidak, seorang tokoh bangsa harus menerima kenyataan disingkirkan oleh pihak lain yang merupakan saudara sebangsa. Hanya karena perbedaan kepentingan dan perluasan kekuasaan, orang harus saling tendang, mengorbankan hak-hak sesama, melupakan tugas dan kewajiban sebagai aparatur negara, serta bertindak semena-mena tanpa memikirkan dampak.
               
                Kampung Kandangan menjadi tempat pengasingan bagi Den Setra, di tempat inilah ia harus tinggal bersama kaum-kaum yang tersisih dari pergulatan hidup, ia seakan terkurung di sebuah kandang yang membatasi ruang geraknya, hidup bersama manusia sisa-sisa peradaban, limbah buangan pembangunan orde baru yang tidak masuk hitungan dalam kelas sosial. Den Setra sengaja dijauhkan di tempat tersembunyi, penguasa baru khawatir jika suaranya sampai terdengar maka rakyat akan bergejolak dan bangkit kesadaran dirinya, melawan doktrin-doktrin orde baru yang telah mengelabuhi masyarakat lewat jargon-jargon pembangunan di segala aspek.

                Mantri Suntik atau biasa dipanggil Mas Mantri oleh penduduk kampung Kandangan merupakan utusan dari pemerintah pusat, tugasnya adalah mengawasi gerak-gerik Den Setra di tempat pengasingan. Mas Mantri tahu siapa Den Setra dan sadar seberapa besar jasanya terhadap bangsa dan negara ini, tetapi atas nama tugas dan pekerjaan ia melenyapkan kata hati nuraninya, segala perkataan dan pendapat Den Setra soal bagaimana seharusnya anak bangsa bertindak sama sekali tidak dihiraukan, hingga tersiar kabar yang disampaikan juga oleh Mas Mantri kepada Den Setra bahwa sebentar lagi ia akan dipindahkan. Kampung Kandangan masuk dalam daftar tempat yang akan digusur demi kepentingan industri, mereka yang melawan dan bertahan untuk tinggal akan dihabisi, aparat bersenjata sudah bersiaga di luar kampung Kandangan.

                Den Setra harus dipindahkan, sebab jika keberadaannya sampai diketahui masyarakat dan suaranya tersiar oleh para wartawan yang meliput penggusuran dapat menjadi mala petaka bagi penguasa, untuk itu Mas Mantri segera menjemput Den Setra sebelum hari eksekusi. Bagaimana selanjutnya nasib penduduk kampung Kandangan menjadi kekhawatiran baru bagi Den Setra, sebab ia menyaksikan langsung kondisi masyarakat pinggiran setelah ia dilengserkan dari posisinya, dampak buruk kebijakan dan kekuasaan rezim orde baru.


*ditulis dalam rangka pementasan Teater Sandilara, naskah “DOM” karya Bambang Widoyo SP yang akan dilaksanakan pada tanggal 27 dan 28 Juni 2019, di sanggar Teater Tesa, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
             


Surakarta, Kamis Pon 27 Juni 2019






Joko Lelur
Mantri Carik Di Teater Sandilara

LANDA BAJANG : TUMBAL PEMBANGUNAN ORDE BARU


                Mendengar cerita orang-orang tua dan mengetahui dari berbagai sumber soal kehidupan masyarakat sekitar di masa orde baru, Orang-orang yang dianggap berpotensi menimbulkan ancaman bagi negara disingkirkan, diasingkan, dan tidak jarang dihabisi nyawanya. Bagaimana sudah menjadi hal yang wajar bagi masyarakat di masa itu, menyaksikan mayat tergeletak di pinggir jalan, di sudut kampung, atau di tempat keramaian yang biasa digunakan untuk aktivitas. Bukan tanpa alasan, tindakan represif pemerintah semacam itu adalah untuk menunjukkan kepada masyarakat, bahwa negara tidak main-main kepada siapa saja yang mencoba mengganggu roda pemerintahan.

                Preman kampung dan para pelaku kriminal kelas rendah tidak luput dari operasi pembantaian, tanpa proses peradilan, tanpa ditimbang besar kecilnya kesalahan, tanpa kenal siapa yang melakukan eksekusi mati tersebut, tanpa tahu siapa yang memberi perintah untuk melakukannya. Jika itu benar negara yang melakukan, artinya demi pembangunan, nyawa rakyatnya adalah ongkos untuk membayarnya, lalu apa gunanya pemerintah? Tetapi jika itu dilakukan seorang teroris atau agen kepentingan yang menjual jasa pelenyapan nyawa, apa alasan dibalik tindakan tersebut? Ada kepentingan apa yang menjadi dasar? Siapa yang memesan jasa? Dan, di mana perlindungan negara terhadap rakyatnya? Mengapa pemerintah diam saja?

                Landa Bajang, salah seorang preman, residivis kambuhan yang keluar masuk penjara, menghuni kampung Kandangan guna mencari suaka, berlindung dari kejaran aparat bersenjata yang setiap saat siap menyergapnya. Prapti, istri Landa Bajang pada waktu-waktu tertentu rutin mengunjunginya. Mereka harus terpisah karena keadaan dan pilihan hidup Landa Bajang. Pekerjaan di dunia hitam memang penuh resiko, nyawa yang menjadi taruhan, ancaman keselamatan mengintai setiap saat. Terpisah ruang dan waktu, akhirnya menimbulkan konflik antara Landa Bajang dan istrinya. Konflik mulai muncul karena masing-masing dari mereka memiliki pandangan dan keyakinan hidup yang tidak lagi sejalan.

Teater Sandilara. Landa Bajang,
dalam sebuah adegan naskah DOM karya Bambang Widoyo SP



Buronan Yang Lari Dari Kenyataan

                Menjadi seorang preman pastinya memiliki alasan dan latar belakang tersendiri, secara umum kita tahu, motif ekonomi yang menjadi latar belakang mengapa seseorang masuk ke dunia hitam. Sama halnya Landa Bajang, ia menganggap dunia resmi dan pekerjaan yang sah di mata hukum, tidak lebih bersih dari pada para pelaku kriminal yang selalu mendapat cap negatif, bahkan ketika sudah tidak lagi menjadi preman. Pandangan sinis masyarakat tidak semudah itu hilang, terkadang hal inilah yang membuat para pelaku memutuskan untuk tetap bertahan di dunia hitam.

                Landa Bajang melihat ketidakadilan, baik yang dilakukan masyarakat sekitarnya maupun negara. Ayahnya seorang pejuang, bekas tentara yang ikut berperang pada masa kemerdekaan. Setelah negara ini berdiri, tata kelola kebijakan negara dan pembangunan bangsa dimulai. Ayah Landa Bajang terlupakan dari sejarah, jasa-jasanya tidak tercatat dalam daftar orang-orang yang ikut andil mengusir penjajah, di hari tua ia terpaksa bekerja kepada orang lain untuk menyambung hidup, menjual jasa keamanan sebagai penjaga gudang Nyah Bawang. Bagi Landa Bajang, hal tersebut merupakan bentuk ketidakadilan sosial, tiada beda ketika dijajah orang asing, justru sekarang bangsa sendiri yang menjajah. Negara menutup mata dengan membuat kebijakan-kebijakan yang tidak menguntungkan rakyat kecil, tidak terkecuali para bekas pejuang kemerdekaan. Landa Bajang menganggap lebih baik menjadi seorang preman, secara terang-terangan berada diposisi salah, dari pada menjadi seorang yang bergelut di dunia resmi tetapi melakukan cara-cara curang dan lebih hina dari seorang penjahat.

                Prapti, istri Landa Bajang, akhirnya memutuskan untuk berpisah, tidak bisa lagi mendampingi Landa Bajang, ia menginginkan kehidupan normal dan menjalin hubungan dengan Genjik, salah seorang mantan preman, rekan Landa Bajang. Penghianatan istri dan kawannya tersebut menimbulakan kebencian teramat mendalam terhadap keadaan. Di kampung Kandangan ia merasa semua hal yang ia miliki telah hilang, semua yang ia anggap berharga tidak ada artinya lagi, hanya di tempat ini, di kampung Kandangan, jiwa raganya menanti putusan takdir, menunggu apa yang akan terjadi pada dirinya sebagai seorang buronan yang diintai kematian.




*ditulis dalam rangka pementasan Teater Sandilara, naskah “DOM” karya Bambang Widoyo SP yang akan dilaksanakan pada tanggal 27 dan 28 Juni 2019, di sanggar Teater Tesa, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
             


Surakarta, Kamis Pon 27 Juni 2019






Joko Lelur
Mantri Carik Di Teater Sandilara

Wednesday, 26 June 2019

KRESNA GAMBAR : LAKU HIDUP SENIMAN DAN PERLAWANAN TERHADAP JAMAN


Teater Sandilara. Mbah Jaga & Kresna Gambar,
dalam sebuah adegan naskah DOM karya Bambang Widoyo SP


                Kresna Gambar, seorang duda yang menekuni profesi sebagai tukang gambar. Bercerai dengan istrinya yang tidak bisa menerima keadaan hidup seorang seniman. Serba kekurangan dan sangat jauh dari kata mewah, sebab jasa lukis atau gambar tangan mulai jarang diminati, hanya kalangan tertentu yang mau dan mampu menghargai karya seni, baik secara moral maupun material. Kresna Gambar nasibnya juga tidak ubahnya seperti Pak Lakon, Den Setra, dan juga Landa Bajang, menjadi orang kalah yang digilas kenyataan. Terpaksa menghuni kampung Kandangan, tidak ada lagi rumah yang bisa ia gunakan sebagai tempat pulang. Sehari-hari Kresna Gambar menjalani hidup dengan menggambar dan menjual hasil karyanya. Pagi keluar kampung mencari tempat-tempat yang ramai dikunjungi orang, barangkali ada yang berkenan membeli apa yang telah ia tawarkan.
               
                Perubahan jaman serta kecanggihan teknologi sedikit banyak berpengaruh terhadap penghasilan Kresna Gambar. Sebelum poster cetakan pabrik membanjiri lapak-lapak pedagang kaki lima, orang yang memiliki keahlian menggambar sangat dibutuhkan jasanya. Gambar tokoh pewayangan dan lain sebagainya hanya dapat diperoleh dari seorang tukang gambar. Meski demikian yang terjadi, Kresna Gambar tidak putus harapan dan meninggalkan profesi yang ia cintai, bagi dirinya, menggambar adalah laku hidup, tugasnya sebagai hamba Tuhan, bukan semata profesi yang mulai sepi dan ditinggalkan konsumen.

                Kresna Gambar menemukan dirinya di dunia seni lukis, soal rejeki dan besar kecilnya penghasilan adalah urusan Tuhan. Berada di kampung Kandangan setelah tersingkir dari kehidupan sebelumnya membuat Kresna Gambar semakin yakin tentang pilihan hidup. Nilai kemanusiaan tidak dapat dibeli, kepekaan sosial, sikap kritis, dan akibat yang akan terjadi karena jalan yang ditempuhnya sangat ia sadari. Tidak ada kekecewaan di hatinya atas apa yang telah terjadi. Kebebasan berpikir dan kemerdekaan dalam berkarya adalah hal yang paling utama, bukan semata mengerjakan barang pesanan untuk meraih pendapatan sebanyak-banyaknya, meskipun ia sendiri harus hidup dan berada pada posisi sulit secara ekonomi di jaman sekarang, tetapi Kresna Gambar paham soal laku dan peran hidupnya lewat dunia gambar.




Antara Hobi, Profesi, dan Rejeki

                Ada harga mahal yang harus dibayar seseorang atas jalan hidup yang dipilihnya. Kehilangan, keterasingan, dan cap sosial harus siap dihadapi oleh mereka yang berani memilih jalan lain, jalan yang tidak ditempuh masyarakat umum, mulai dari cara pandang, profesi yang ditekuni, hingga besar kecilnya pendapatan sering menjadi faktor yang memunculkan opini di tengah masyarakat. Golongan minoritas atau orang yang keluar dari padangan umum, biasanya akan terkucil dan mengalami tekanan sosial. Sadar tidak sadar, opini dan ujaran yang terlontar di tengah hidup bermasyarakat, yang mungkin itu dianggap sederhana ketika disampaikan dimuka umum, bisa jadi, dalam kadar tertentu hal itu mempengaruhi atau menyinggung orang lain. Meski baik buruk suatu pendapat atau obrolan sifatnya relatif juga. Maksudnya, soal kesenian, sering kali masyarakat kita menganggap tidak ada manfaatnya menggeluti bidang ini, kesejahteraan hidup yang diperoleh tidak sebanding dengan apa yang dikorbankan,  terkadang malah dibandingkan dengan profesi lain yang lebih menjanjikan secara materi.

                Kresna Gambar mengerti perbedaan antara, hobi, profesi dan rejeki. Ketiga hal tersebut sebenarnya tidak terpisahkan, saling terkait dan saling memberi pengaruh sebab akibat. Tugas manusia adalah menjalani hidup sebaik-baiknya dengan mengenali potensi diri serta menjaga kecintaan terhadap sesuatu yang diyakininya. Hobi yang terus-menerus ditekuni, entah karena bakat atau minat, lambat laun bisa membuat seseorang menjadikannya sebagai profesi, yang tentu derajatnya lain dengan hobi yang hanya dilandasi rasa senang dan sebagai kegiatan sambilan untuk mengisi waktu luang. Pada tahap profesi, ketahanan dan kecintaan seseorang juga akan mengalami ujian, terlebih lagi ketika di hadapkan dengan peruntungan dan rejeki atas apa yang dipilihnya sebagai profesi. Goncangan keyakinan akan terjadi ketika hidup bersama masyarakat umum, bagaimana masyarakat sering melakukan kekejaman dan teror terhadap orang-orang yang memiliki cara pandang berbeda. Sebab standar kesejahteraan dan di kepala mereka adalah soal kekayaan, pangkat dan jabatan, sementara kesenian bukan  alat untuk meraih hal-hal tersebut, kecuali mereka yang mau dan memang sengaja menjadikan kesenian sebagai proyek pengucur dana anggaran, seperti yang marak terjadi di jaman sekarang.

                Orang-orang seperti Kresna Gambar tidak peduli, apakah jaman baru dan masyarakatnya dengan segala fenomena kehancuran di segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, akan menggilas habis keyakinan dan rejekinya. Mereka yang sadar bahwa kesenian adalah soal nurani dan jalan hidup yang dipilih, sama sekali tidak akan terpengaruh, semudah itu menyerah dan menggantungkan nasib pada seleksi calon pegawai negeri sipil, atau secepat itu menempatkan diri sebagai jongos perusahaan, hanya karena khawatir besok tidak bisa makan, tidak bisa membeli barang-barang mewah keluaran terbaru, tidak memiliki tempat tinggal, tidak bisa tampil sempurna di acara kondangan, tidak bisa mengadakan hajatan besar-besaran, dan banyak hal yang sebenarnya bukan kebutuhan pokok sebagai sarana hidup manusia, tetapi mampu membuat kebanyakan orang gampang meninggalkan kesenian, atau kegiatan lain yang pernah dipilihnya sendiri, dan mungkin tidak disertai dengan kesadaran sejak awal mula.


*ditulis dalam rangka pementasan Teater Sandilara, naskah “DOM” karya Bambang Widoyo SP yang akan dilaksanakan pada tanggal 27 dan 28 Juni 2019, di sanggar Teater Tesa, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
             


Surakarta, Kamis Pon 27 Juni 2019






Joko Lelur
Mantri Carik Di Teater Sandilara