Sanggar
Kenthoet-Roedjito, adalah cara alm. Joko Bibit meletakkan dua nama pahlawannya.
Kenthoet ialah sebutan akrab dari almarhum Bambang Widoyo S.P penulis naskah
dan sutradara teater Gapit. Roedjito atau mbah Roedjito ialah seorang skenograf
yang cukup berpengaruh di dunia perteateran di masanya. Kedua sosok tersebut
oleh pak Bibit dianggap sebagai guru dan memiliki pengaruh yang besar baginya. Terlepas
dari praktik standarisasi pahlawan resmi, setiap orang bebas dan merdeka untuk
memilih pahlawannya masing-masing. Demikian halnya dengan pak Bibit, ia
memiliki standarisasi pahlawan sendiri, sempat aku mendengar ia sebut dengan;
pahlawan kebudayaan.
Maka
dua nama itu-pun yang akhirnya ia pilih untuk diletakkan sebagai nama dan
penanda sanggar teater Ruang yang mulai dibangun pada tahun 1996.
2017
Berpuluh
tahun jarak antara kami (Tanggul Budaya) dengan sejarah sanggar tersebut. Semakin berpuluh tahun lagi jarak kami dengan
kiprah dua nama penandanya. Sebelumnya tak pernah sekalipun terbesit dua nama
yang bersanding itu di benak, tetapi kini Kenthoet-Roedjito menjadi nama yang
sering disebut oleh kami.
Siapa
Kenthoet? Siapa Roedjito? Pertanyaan tersebut timbul tenggelam di antara aktifitas
kami dandan-dandan sanggar. Dandan-dandan sanggar adalah tradisi yang nampaknya
akan terus dilangsungkan, bukan lantaran makna filosofi yang terkandung, tetapi
apa daya, kemampuan kami memang sekedar sanggup tambal-sulam. Apalagi musim
hujan begini tentu ada banyak genting, usuk, reng, talang, tiang yang musti
diruwat dengan bendrat, paku, dan sedikit misuh.
Kenthoet-Roedjito
selain menjadi tempat berlatih dan berpentas, juga menjadi tempat yang mewah
untuk idealisme. Idealisme mustahil tanpa merdeka dan merdeka tidak mungkin tanpa
usaha berdikari. Untuk berdikari mustahil menghindari yang namanya bentuk kerja
mandiri. Alhasil, selain harus mematut diri sebagai piranti pementasan Lurung
Kala Bendu (8 dan 9 Nov nanti) kami pun menjadi tukang dadakan. Ya, itulah
kemewahan! Maka untuk menjaga kemewahan tersebut, beberapa kali tawaran dari
suatu lembaga untuk memberi bantuan untuk memugar sanggar ditolak dengan
matang-matang. Alasannya? Silahkan tanyakan saja pada mas Helmi atau mbak Eri.
Dan
ketika pamflet telah tersebar niscaya tradisi tersebut pun ter-uri-uri.
Dalam
keniscayaan tersebut maka terjadilah; Jalu yang lemu nekat naik atap; Kicuk
yang jirih harus ngampet wedi; Bagong yang sibuk kerja harus mencari cara; Angga
yang mahasiswa baru harus mencari waktu; dan Mas Bei yang kakinya lemah harus
usung-usung. Di sela itulah kami semakin mengakrabi dua sosok yang bernama
Kenthoet dan Roedjito. Meski kepada keduanya kami belum pernah jumpa, rasanya
boleh dikata spirit mereka pun sampai.
Spirit,
ide, dan gagasan itu lintas usia!
Berawal
dari pertanyaan, sejarah itu sedikit demi sedikit tersampaikan. Kiprah dua sosok
itu tercerita kepada kami, maka sampailah pula spirit itu! Spirit memang
abstrak, tetapi nyatanya selain bendrat, paku, palu, udud, keringat, dll,
spirit pun sangatlah penting. Tak dipungkiri tanpa spirit kami mana sudi untuk
bersusah-lelah macam ini. Maka kusimpulkan seperti ini; pemilihan nama Kenthoet-Roedjito
oleh pak Bibit merupakan suatu kesadaran sejarah. Melalui kesadaran tersebut
sejarah menjadi memiliki letak dan fungsi yang efektif. Otomatis sejarah
Kenthoet dan Roedjito sampailah pada kami, maka spirit kedua sosok tersebut menyokong
kerja kolektif kami.
Itulah
fungsi sejarah, nona!
Maka
dalam rangka menjaga spirit kami, di sela kerja di sanggar Kenthoet-Roedjito,
kami akan terus bertanya; siapa Kenthoet? Siapa Roedjito? Kenapa Kenthoet?
Kenapa Roedjito? Kenapa Kenthoet-Roedjito yang dipilih oleh Joko Bibit Santoso?
Apa maksud Joko Bibit Santoso? Akan sampai kapankah sejarah ini bertahan? Akan
sampai kapankah sanggar ini mampu bertahan? Akan sampai kapan pertanyaan-pertanyaan
ini sanggup tergaungkan? Akan sampai kapan spirit-spirit pahlawan kebudayaan
ini tergetarkan?
Setidak-tidaknya
di masa ini pertanyaan itu ada; setidaknya di wilayah kami. Apakah memang ini
maksud Joko Bibit Santoso?
Griya Duhkita, 23 Nov. 17
Idnas Aral