Wednesday, 21 March 2018

TEATER SANDILARA : H –1 PEMENTASAN “CAHAYA DAN SAMPAH”, GAMELAN DI TANGGUL HARUS TETAP DI TABUH


       Saya laporkan liputan singkat sebagai syarat “magang” di koran Medan Prihatin, yang rencananya akan terbit setiap tidak tenggelam. Berita remeh perihal persiapan pentas teater “amatir” yang menganggap bahwa “kemaki” adalah kemewahan terakhir yang dimiliki pemuda, bukan tanpa alasan, sebab istilah idealisme, militan, gerilyawan, rasanya terlalu berat untuk kami sandang, pemuda di jaman now, para teaterawan yang selalu tangi awan. Semoga diposting di Pojok Sejarah, tulisandilara.blogspot.com.



Menjelang pementasan Teater Sandilara yang jatuh pada hari jumat dan sabtu, rutinitas nabuh gamelan yang selama ini sudah berjalan dengan baik setiap kamis malam tidak diliburkan. Beberapa teman di luar Teater Sandilara mengira bahwa H –1 di sanggar Kenthoet – Roedjito, Teater Ruang, pasti digunakan untuk persiapan pentas pikir mereka. Ya, hal itu dibenarkan oleh Joko Pitono, selaku direktur utama di Keluarga Karawitan Kurawa saat kami temui di kantor berita “Medan Prihatin”, “memang tempat sudah di tata sehari sebelum pementasan, tapi bukan berarti nabuh gamelan libur, kalau teman-teman menginginkan datang untuk latihan silakan tetap jalan, hanya mungkin letak penataan gamelan berubah, sebab sudah dipersiapkan untuk pementasan esok harinya”. Pada malam jumat nanti ­gladi bersih bisa diadakan sebelum waktu latihan rutin, setelah para Kurawa selesai melakukan cek sound.

            Keterangan senada juga diungkapkan Idnas Aral, pemain monolog “Cahaya Dan Sampah”, kebetulan berada pada satu kantor di Kios Pasar bubrah Panggungrejo, Jebres, Surakarta, “kalau malam jumat nanti teman-teman yang datang jumlahnya cukup, rutinitas nabuh gamelan tetap jalan, tidak berubah seperti biasanya. Pentas itukan urusan kelompok kami, nabuh gamelan kepentingan bersama, jangan sampai mengganggu apa yang sudah di bangun dan selama ini berjalan dengan baik, jadwal gladi bersih bisa diatur agar tidak bertabrakan”. Pentas memang penting tapi keperluan bersama dalam satu tempat kalau tidak begitu mendesak jangan ditinggalkan, seperti itu kira-kira pesan dari beliau.

            Demikian laporan dari kami, hasil “sidang isbat” Teater Sandilara di kios Pasar Bubrah, Panggungrejo, Jebres, Surakarta. Semoga dapat memberi informasi kepada teman-teman yang lain. Pesan saya, mari menulis selagi ada waktu, dibaca atau tidak dibaca orang-orang di hari ini bukan masalah, setidaknya ada usaha pendokumentasian peristiwa di sekitar, di lingkungan pergaulan sendiri, kelak bisa sebagai kenang-kenangan untuk anak cucu, biarpun isinya urusan-urusan yang berada di pojokkan jaman yang seringkali luput dari perhatian.


Surakarta, 21 Maret 2018


Mike Tingil
Berkesenian dengan motif mencari cewek
Mendaftar wartawan di Koran Medan Prihatin

Monday, 19 March 2018

KELUARGA KARAWITAN KURAWA KEMBALI PENTAS BERSAMA “SAUDARA TUANYA” TEATER SANDILARA


         Pementasan Teater Sandilara kali ini mengajak Keluarga Karawitan Kurawa untuk kembali terlibat. Ada riwayat panjang perjalanan kelompok Karawitan ini yang tidak dapat dipisahkan dari Teater Sandilara. Terhitung sejak 2014 ketika mementaskan naskah “Lelayu” dua anggota Kurawa (yang saat ini masih bertahan) pernah ikut berproses hingga pentas di beberapa kampung di Surakarta dan sekitarnya. Terakhir kali Kurawa mengiringi pementasan Sandilara sekitar dua tahun lalu pada festival Teater Bahasa Jawa di UGM Jogjakarta. Waktu itu Sandilara mementaskan naskah “Mlarat” yang beberapa kali sebelumnya telah di pentaskan ke kampung-kampung. 



Nasib dan status Keluarga Karawitan Kurawa tidak jauh berbeda dengan Teater Sandilara yang menjadi saudara tuanya, yatim-piatu dan tunawisma. Sebagai kelompok karawitan mereka tidak memiliki sanggar sendiri, tidak juga memiliki seperangkat alat gamelan. Sebelum berpindah tempat latihan ke sanggar Kenthoet-Roedjito Teater Ruang, dulunya mereka berlatih karawitan di SMP Negeri 6 Surakarta. Pada awal mulanya sebatas kegiatan ekstrakurikuler, melihat anak-anak tersebut sepertinya senang bermain gamelan, tetapi masa sekolah di SMP sudah berakhir, maka diawal tahun 2017 Joko Pitono menawarkan kepada mereka yang sudah lulus untuk tetap melanjutkan latihan, mereka bersedia, jadwal segera ditentukan, setiap sabtu latihan di SMP Negeri 6 Surakarta. Kegiatan ini bersifat rutinitas, ada atau tidak ada keperluan untuk pentas tetap dilaksanakan. Intinya latihan karawitan menjadi kesenangan bukan kewajiban.

            Menginjak pertengahan tahun 2017, latihan Kurawa pindah ke sanggar Kenthoet-Roedjito Teater Ruang, karena di tempat lama sering mendapat “gangguan”, campur tangan oknum-oknum pihak kelurahan setempat yang sering meminta mereka berpentas saat dibutuhkan, tetapi di hari biasa mereka tidak pernah ikut terlibat dalam proses latihan, tanpa pernah menengok atau turut serta memberi dukungan dalam bentuk apapun, hanya tahu jadi, merasa bahwa Kurawa latihan di wilayahnya, tidak pernah peduli sewaktu awal-awal Kurawa mulai merintis latihan karawitan. Menurut Joko Pitono, hal semacam ini sudah wajar terjadi untuk tingkat kelurahan, kesenian dan para pelakunya akan dilirik para pejabat ketika dibutuhkan sebagai pelengkap acara yang mereka adakan, parahnya lagi pihak kelurahan sering memproposalkan kegiatan latihan tanpa sepengetahuan para pelakunya, tidak terbuka masalah keuangan, atau dengan kata lain cukong-cukong kelas coro sering memanfaatkan kelompok seni yang masih baru. Walaupun kejadian semacam ini wajar, bagi Joko Pitono kasus seperti ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Mereka mengambil manfaat dari jerih payah orang lain, terlebih lagi anak-anak yang senang seni tradisi.


Hubungan “Kekerabatan” Kurawa Dan Sandilara

            Bagi Keluarga Karawitan Kurawa, mengiringi pementasan teater menjadi pengalaman tersendiri, terlebih lagi bersama Teater Sandilara yang juga sering memberikan bantuan apabila Kurawa sedang berpentas. Bisa jadi dikarenakan Joko Pitono adalah juga anggota Teater Sandilara, tapi memang sudah sejak awal Sandilara memulai pentas pertama menggunakan iringan gamelan, mengingat naskah-naskah yang dipentaskan seringnya berbahasa Jawa. 

Di luar latihan teater, anggota Sandilara juga mulai belajar menabuh gamelan, bukan merasa nguri-uri kabudayan Jawi atau menganggap diri sebagai generasi yang menjaga seni tradisi, tetapi keduanya baik Teater Sandilara maupun Keluarga Karawitan Kurawa, memang awalnya senang dulu terhadap gamelan, baru setelah itu berlatih dan mengenalinya lebih dalam lagi semampunya. Jika akhirnya digunakan pada pementasan, bukan semata agar terlihat njawani­, menampakkan kesan bernuansa musik tradisi, tapi karena memang itu yang dimiliki, dipilih, dijalani, ada maupun tidak ada garapan naskah.

Pada kesempatan kali ini tersisa delapan orang perempuan yang masih bertahan menjaga rutinitas latihan setiap hari sabtu, ditengah kesibukan sekolah yang mulai menganut sistem fullday school, praktis hanya hari sabtu dan minggu waktu yang tersisa untuk mereka berkumpul bersama menabuh gamelan, walau demikian sejauh ini tidak ada kendala yang berarti, rutinitas berjalan sebagaimana mestinya. Joko Pitono cukup beruntung mendapati remaja yang mampu bertahan hingga empat tahun lebih, mantan murid-murid yang akhirnya menjadi “adik” baginya.

            Bukan tanpa maksud, Joko Pitono melibatkan murid-muridnya sejak mereka masih SMP untuk terlibat bersama Teater Sandilara, ia memiliki alasan khusus yang bukan sekedar kepentingan praktis mengiringi pementasan. Ketika itu jarang, bahkan tidak ada perlombaan atau pementasan karawitan secara mandiri, sementara anak-anak ini tergolong rajin dan tanpa beban mengikuti ekstrakurikuler karawitan di SMP negeri 6 Surakarta. Ada kekhawatiran jika anak-anak ini kecewa karena tidak pernah pentas. Akhirnya awal 2014, Teater Sandilara menggarap naskah “Lelayu” yang berbahasa Jawa itu dan mengajak anak-anak ini untuk terlibat melengkapi kekurangan penabuh gamelan. Sejak saat itu mereka semakin semangat berlatih, hingga beberapa kali jika garapan dan kondisi tempat pentas memungkinkan, maka Keluarga Karawitan kurawa selalu menyertai pementasan Teater Sandilara.


Mengiringi Pementasan Naskah “Cahaya Dan Sampah”

            Pada tahun keempat Kurawa bertahan dalam rutinitas latihan, pastinya mengalami peningkatan baik segi teknis musikal, rasa kepemilikan terhadap kelompok, tentu juga mulai merasakan kesan-kesan atau perasaan tertentu saat menabuh bersama. Ya, meski bisa dikatakan belum tergolong penabuh handal, tapi hasil proses mereka merupakan produk kesabaran dan kesadaran, mengapa sabar dan sadar? Sabar, mengingat mereka semua perempuan dan masih berusia sekolah, waktu latihan amat terbatas, hanya sabtu dan minggu dapat latihan bersama Teater Sandilara, sebagai bentuk ngemong adine teman-teman Sandilara yang mengikuti ketersediaan waktu para Kurawa. Sedangkan maksud dari sadar, bahwa sebagai bentuk kerjasama lintas usia dan laboratorium bersama yang saling menopang, baik Sandilara maupun Kurawa menggabungkan hasil proses masing-masing, mencari jalan tengah tanpa harus menuntut satu sama lain untuk memenuhi kriteria ideal di benak pemain, penggarap, maupun pengiring.

            Joko Pitono tidak peduli andai dianggap masih sekedar menempelkan dari yang sudah pernah ada, maksudnya beberapa repertoar warisan nenek moyang yang dianggap. Sewaktu saya tanya pendapatnya, ia menjawab demikian “nggagas omongane uwong ora enek entek’e, anane mung kurang karo kurang, aku ngerti karepe apik menehi saran, nanging aku ora patheken ora ketok sangar garapane. Rumangsane gampang apa piye nabuh gamelan, jaga lan ngatur bocah-bocah supayane isoh latihan karawitan tanpa ana gangguan, ben sak mlakune sik, yen tekane lagi semana ya wis ben, ora arep meksa apa golek-golek garapan ben ketok beda, ora arep golek keplok”

            Pementasan Naskah “Cahaya Dan Sampah” karya Emha Ainun Nadjib, pada tanggal 23-24 Maret 2018 menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Teater Sandilara, karena memiliki adik-adik yang masih bisa proses bersama hingga hari ini. Empat tahun menyertai perjalanan Teater Sandilara. Terimakasih, kami sadar tidak ada garansi abadi di dunia ini, cepat atau lambat kalian akan segera menempuh kenyataan sebagai wanita dewasa dengan tanggung jawab dan urusan yang baru, tapi semoga jodoh kita di kesenian masih dapat berlangsung lebih lama lagi.


Surakarta, 20 Maret 2018


Joko Lelur
Mantri Carik Di Teater Sandilara

Sunday, 18 March 2018

BERKESENIAN JANGAN CENGENG!!


            Sebelum membaca tulisan ini perlu anda garis bawahi, pembicaraan saya adalah soal kegiatan berkesenian oleh mereka, kelompok, komunitas, atau jaringan kesenian yang mengatasnamakan dirinya sebagai gerakan. Artinya gerakan yang saya maksudkan perihal gagasan bersama yang dirasa perlu dan ditujukan bagi “perubahan” masyarakat luas dari berbagai segi, misalnya sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain yang dirasa perlu adanya perubahan. Biasanya setiap pemilik gagasan, baik individu maupun kelompok memiliki cara pandang ideal masing-masing. Permasalahannya atau yang mungkin bukan masalah bagi anda adalah cara merealisasikan bentuk aktivitas yang dimaksud sebagai “gerakan”. Kenapa saya beri tanda kutip, karena saya sering sangsi terhadap banyak fenomena yang terjadi akhir-akhir ini yang menggunakan istilah “gerakan”.



            Anggap saja tulisan ini sebagai opini pribadi tanpa melakukan riset sebagaimana agen-agen penelitian resmi. Tapi bukan berarti asal ngawur melempar tai di muka umum. Sebab saya menulis karena sadar, bahwa diskusi-diskusi nyatanya hanya terkesan seperti pentas setelah pentas, di mana para penonton yang merasa banyak wawasan ganti menjadi pemain, menunjukkan “kepintaran” dan eksistensinya dengan memberi masukan basa-basi atau kritik tajam diluar wacana pertunjukan. Ya, saya menulis karena hanya ingin bicara dengan mereka yang sekiranya bisa menerima pandangan yang kami tawarkan. Jika hari ini mungkin tidak dipahami orang-orang bukan masalah bagi saya, biar nanti generasi-generasi setelah saya mati yang membacanya, itupun kalau mereka bisa menerima. Kalupun tidak minimal saya sudah buang hajat, tidak perlu mengadakan kegiatan rasan-rasan.


Mengeluhkan Sumber Dana

            Jika mau jujur, memang semua yang bersifat kegiatan kelompok, apalagi yang memuat wacana besar pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sering kita terjebak pada bentuk, bukan fokus pada esensi gagasan, atau bisa jadi kurang sabar dalam mempersiapkan diri dari berbagai sisi, tapi ingin segera mewujudkan cita tersebut. Akhirnya jadi besar pasak dari pada tiang, bukan hanya rencana anggaran yang gagal tercukupi, yang tidak kalah penting sebenarnya juga kesiapan wawasan dan mental para anggotanya.

            Ketika permasalahan ini gagal diselesaikan, tapi kepalang tanggung ingin unjuk gigi, akhirnya ditempuh pula jalan pintas yang semula dihindari. Tidak jarang kelompok-kelompok yang awal mulanya merasa “berdikari” madiri secara pendanaan lalu memilih cara mengajukan proposal pengajuan dana kepada pihak-pihak yang dirasa bisa menjadi “Dewa Penolong” bagi cita-citanya, baik pemerintah maupun swasta. Memang untuk jaman sekarang proposal sudah menjadi hak bagi siapa saja, asalkan laporan pertanggung jawaban tertulis itu nanti jelas, maka dana akan lancar terkucur dari kantong-kantong tersebut.

            Kalau di kelompok kami menyebut yang seperti itu sebagai “orang-orang proyek”, dan kami dengan bangga tanpa maksud rendah hati menyebut diri kami “beridealisme sakit”. Ya, itu bukan masalah, setiap orang atau kelompok bebas memilih jalan yang ditempuh dalam kegiatan berkesenian. Persoalannya, sudah tepatkah dana-dana itu untuk membiayai gagasan akan “gerakan” yang sering didengungkan? Terlebih yang mengatasnamakan masyarakat luas? Sudah sampaikah kepada sasaran? Sudah cukupkah dengan mengadakan pementasan besar tanpa bekas yang jelas, tidak berkelanjutan, tema musiman, sebatas perayaan tapi menyertakan rakyat didalam tajuk acara. Saya bertanya sebab merasa sebagai rakyat juga, jadi untuk rakyat yang mana? bagi kebudayaan siapa?

            Ada yang ketika sebelum pentas mengatakan perkumpulannya “mandiri” tidak ada pihak yang memberi dana, tapi ketika pementasan di mulai “ngubengne tampah” meminta iuran seikhlasnya, entah konsepnya demikian agar terlihat seperti pentas pengamen ­Jaran Dor atau bagaimana  saya kurang tahu, yang jelas fenomena semacam ini bagi saya sangat lucu, mengingat pentas yang diadakan tidak memungut uang tiket masuk, gratis bagi para penonton. Pertanyaan saya, kalau memang “mandiri” dari mana biaya operasional sehari-hari di sanggar tersebut? Daripada meminta sumbangan seikhlasnya dari penonton, mengapa tidak menjual tiket? Toh penonton pasti juga akan datang dan mampu membayarnya. Bukankah itu lebih gagah daripada meminta sumbangan?

            Memang dalam proses menuju pementasan banyak mengeluarkan biaya, konyolnya jika yang dikeluhkan adalah urusan pendanaan diluar kekaryaan itu sendiri, tapi hal-hal yang sifatnya pribadi, seperti uang rokok, uang makan, uang bensin, atau apa saja yang intinya tidak berkaitan dengan pemanggungan. Logikanya seperti ini, andai saja anda seorang perokok dan bukan pelaku seni, dari mana anda mencukupi kebutuhan rokok anda? Andai saja tidak sedang proses pementasan, apa anda tidak makan? Uang bensin, andai anda tidak memilih kesenian untuk mengisi hidup, apakah anda tidak bepergian ke tempat lain untuk memenuhi kebutuhan bersosial? Kalau memang berat tidak usah berkesenian, siapa juga yang mewajibkan seseorang untuk menggeluti bidang seni, mikir!!


Merasa Pemerintah Tidak Memperhatikan

            Orang bisa memilih kesenian sebagai wadah “kritik sosial” atau menjadikan kesenian sebagai alat kontrol pemerintahan. Untuk dapat tumbuh segala pemikiran tentang “kepekaan” terhadap fenomena yang terjadi disekitar, sudah selayaknya seniman “membuat jarak” dengan pemerintah, bukan berarti memusuhi pemerintah atau sok-sokan berhaluan kiri, asal protes tanpa menggukur kapasitas kelompok, termakan isu berita di media massa, atau sekedar ikut meramaikan topik-topik yang sedang hangat diperbincangkan dan dijadikan tema pementasan. Itu bukan “kritis” tapi sekedar numpang eksis menurut saya. Kita tahu, beberapa jenis kesenian di kota ini nafas hidupnya ditopang oleh dana dari pemerintah kota. Biasanya kelompok-kelompok yang sejenis, tapi tidak mengerti akses untuk memperoleh dana bantuan, atau kelompok yang tidak kebagian jatah anggaran, akan merasa tidak diperhatikan oleh pemerintah, diabaikan keberadaannya, ditelantarkan nasibnya, dan merasa sebagai anak tiri dilingkungan sendiri.

            Sebagai reaksi kejadian semacam ini, kelompok tadi akan mengadakan pementasan atau membuat gerakan massal, bisa juga jaringan besar, menjaring kelompok-kelompok yang merasa bernasib sama untuk mengadakan protes. Banyak bentuknya, salah satunya dengan meninggalkan kantong-kantong kesenian yang menjadi hunian semula, “pura-pura marah” pada pemerintah, merasa tidak diperhatikan. Lucunya kalau pemerintah atau pihak yang diprotes tadi melunakkan sikap dan  meminta mereka untuk kembali, dipenuhi segala fasilitasnya, diberi kedudukan seperti yang diharapakan, maka mereka akan ikut melunak juga. Di sini terlihat jelas, kecengengan dan sifat kekanak-kanakan yang menangis minta mainan, marah pada orang tua, setelah dipenuhi apa maunya, kembali patuh dan lunak sikapnya.

            Lebih lucu lagi jika kejadian semacam ini dilakukan oleh mereka yang memiliki wacana besar, gembar-gembor soal “gerakan”, entah yang seperti apa biasanya tidak jelas, sebab setahu saya tidak menjadi rutinitas yang dapat dipantau perkembangan dan permasalahannya, seringnya mengadakan bentuk perayaan musiman, sebatas mengumpulkan massa dengan disertai kalimat “untuk rakyat”. Rakyat yang mana kami kurang tahu. Barangkali itu bentuk pertanggungjawaban menggunakan uang rakyat.

            Bagi kami kerja kebudayaan, khususnya kesenian, tidak semata mengadakan pementasan dalam skala besar, tapi dengan sabar dan sedikit demi sedikit, bahkan mungkin tidak selesai pada satu generasi, dilanjutkan generasi sesudahnya, itupun tidak jaminan gagasan tersebut akhirnya terwujud, setidaknya berani berusaha dengan didasari kewarasan dalam memandang keadaan, bukan memanfaatkan keadaan atau isu yang sedang berkembang, kemudian berganti ke isu lain jika isu yang lama sudah tidak laku dijual.

Mengiba Pada Seniman Lain

            Ada lagi yang tidak kalah menarik, tapi mungkin bukan sebuah masalah, hanya saja saya yang pendiam ini sebenarnya orang yang gampang emosi melihat fenomena konyol. Atas nama sesama pelaku seni, “kemalangan nasib” sebuah perkumpulan tanpa sadar akan dikeluhkan kepada kelompok-kelompok atau komunitas-komunitas lain yang bergerak pada bidang yang sama. Maksudnya, perihal kekurangan fasilitas, macetnya operasional kegiatan, juga biaya untuk melakukan “gerakan” yang sudah direncanakan. Bukankah itu cengeng dan lucu, mengingat masing-masing kelompok juga memiliki masalah sendiri-sendiri. Bagaimana melakukan gerakan kebudayaan jika urusan “kakus dan dapur” kelompoknya saja mengeluh pada tetangga. Mengajak sesama pelaku seni untuk peduli oada nasibnya, “bukankah sesama seniman harusnya saling gotong-royong”, preekk!! Gombal mukiyo!!

Ya, saya memang kemaki, saya memang sinis, nyinyir, sok kritis. Anda mau apa? marah? Ngrasani?  Silakan, tapi jangan sampai saya mendengar, sebab akan jadi tulisan baru. Bagi saya jika keinginan mustahil terwujud, sulit terlaksana lebih baik cari kemungkinan lain, bilamana perlu tidak usah berkesenian kalau memang merasa repot, atau sabar menunggu sampai segala titik-titik penopang tercapainya keinginan mulai tampak. Daripada meminta sumbangan kepada rekan-rekan lain misalnya, tapi di hadapan masyarakat mengaku sebagai pejuang kebudayaan yang tulus tanpa memungut biaya, memangnya ada alat ukur ketulusan hati? Kejadian semacam itu tidak fair sebenarnya, lebih baik mereka yang dengan terang-terangan mengakui kesenian untuk mencari penghidupan. Kenapa tidak dikomersilkan saja segala produk-produk keseniannya? Atau menyewakan tempat untuk pentas kelompok lain? Atau menjual tiket jika mengadakan pementasan? Hasilnya bisa digunakan untuk mencukupi segala kekurangan fasilitas dan biaya operasional kegiatan.


Perjuangkanlah Idemu Dan Kelompokmu Dengan Jujur, Mengakui Posisi, Kapasitas Diri, Dan Motif Berkesenianmu Tanpa Harus “Merepotkan” Orang Lain

            Kesenian memang hanya sebuah wadah ekspresi jiwa, baik yang dilakukan secara individu maupun berkelompok. Kesenian juga bisa sarana atau kendaraan untuk menuju dan mencapai tujuan-tujuan tertentu, misalnya ritual keagamaan, kebatinan, penghilang stres, penyaluran ideologi, gerakan kebudayaan, lapangan pekerjaan, atau apa saja yang sekiranya bisa ditampung oleh kesenian, tergantung keperluan masing-masing orang dan kelompok. Permasalahannya adalah penyikapan terhadap pilihan dan segala konsekuensinya, banyak diantara kita yang tidak sadar atas apa yang disuarakan dan diperjuangkan.

Akhirnya menjadi sebuah fenomena yang lucu, apabila ingin tampak gagah sebagai pahlawan kebudayaan yang “berdikari”, tapi cara berpikirnya belum merdeka, masih dibayangi sesuatu yang tidak ada pada dirinya, tapi ingin ditampilkan di muka umum agar tetap eksis dan berkibar namanya juga bendera kelompoknya, maka untuk menutupi atau mengejar impiannya tersebut ditempuhlah cara-cara “remeh”, meminta sumbangan kepada sesama pelaku seni atas nama solidaritas dan gotong-royong, main proposal di belakang, mengumpulkan kaum “sendika dawuh” dalam satu jaringan, mengadakan “gerakan” atau acara besar atas nama rakyat yang hanya musiman, melakukan sosialisasi visi-misi kelompok atau komunitas secara “membabi-buta” tanpa memandang tempat tanpa mempertimbangkan itu acara apa. 

Bagi kami urusan penyampaian gagasan sudah ada tempatnya, tidak harus selalu ketika ada banyak massa berkumpul, itu namanya aji mumpung, mana hasilnya selama ini? Bukankah ini bukti kita gagal mengenali kapasitas diri dan kelompok? Jalan yang dipilih beserta konsekuensinya? Atau gagap menyikapi perubahan? kenyataan jaman? situasi sosial di sekitar? Iklim yang tidak lagi sama di setiap masa? baik dari kuota anggota, kuantitas dan kualitas setiap orang yang terlibat, permasalahan generasi, tujuan dan laku yang harus ditempuh.

            Ya, sebagai penutup saya tinggalkan kalimat-kalimat sok bijak dari Mas Bei, “berkesenianlah seolah-olah itu ibadah atau jalan pedangmu, tapi kalau bisa tanpa harus merepotkan orang lain, sebab kesenian hanya sarana, kelompok hanya wadah, tidak ada yang abadi, semua yang lahir pasti mati. Berkesenianlah dengan gagah tanpa banyak mengeluh, jangan cengeng, jika terasa berat barangkali bukan keseniannya yang salah, tapi ambisi dan motif-motif diluar urusan kesenian itu sendiri yang tanpa kita sadari menjadi beban”


Surakarta, 19 Maret 2018



Sastro Siswo Hadiwinoto Handoyonigrat Tirto Kamandanu
Mahasiswa Semester Akhir
Di Institut Tanggul Budaya Surakarta

Friday, 16 March 2018

UNTUK APA KAMU BERTEATER?



Bagaimana seseorang dapat melibatkan diri, memilih berkumpul, berkawan, menentukan jenis kegiatan, atau membentuk jaringan, mengumpulkan masa, mengadakan sosialisasi wacana dengan beraneka macam media (dalam hal ini pementasan teater) jika setiap individu yang terlibat belum selesai dengan urusan pribadinya, apa iya sebuah kelompok akan mungkin terbentuk? Terlebih lagi tidak ada imbalan materi, sebab memang bukan perkumpulan kongsi dagang, kerja sama antara beberapa orang untuk melakukan kegiatan perniagaan, atau ajang numpang tampang. Ya, pada tulisan ini yang hendak saya bicarakan adalah kesenian atau kelompok seni yang memiliki motif sebagai wadah penyaluran ide dan gagasan bersama.

            Melibatkan diri dalam kegiatan berkelompok (secara sadar dan waras) pastinya tidak lepas dari pemahaman terhadap arah tujuan bersama, rasanya itu lebih sulit dari pada bekerja secara individu, menyelesaikan sebuah pekerjaan tanpa perlu mempertimbangkan orang lain, maksudnya ikut andil dalam memikirkan keberlangsungan kelompok, bukan sebatas patuh “sendhika dawuh” tanpa disertai pemahaman terhadap tujuan yang lebih besar diluar urusan pemanggungan, biasanya mereka yang asal ikut terlibat kedalam sebuah kelompok, bisa jadi karena kelompok yang diikuti adalah kelompok yang cukup terkemuka, punya nama yang cukup mentereng, ibarat lampu yang menyala terang akan gampang mengundang laron-laron berdatangan, tapi lihatlah laron itu akan mati beberapa saat kemudian, atau bisa juga yang meminta bergabung adalah seorang yang memiliki “wibawa”, tokoh senior, ternama, memiliki riwayat panjang berkesenian, tentu mereka akan segan dan dengan cepat mendapat respon serta tanggapan baik dari orang–orang semacam ini.

Itu sudah biasa dan menjadi pengamatan tersendiri bagi kami, seperti kalimat candaan dari Joko Pitono ketika menanggapi fenomena semacam ini di lingkungannya, “Lamun ingsun ingkang paring dawuh marang sira, biyuh-biyuh ora bakal budhal ngadhep marang ngarsaningsun, nganti wis pirang-pirang candra ora mara seba, pada lali marang kewajibane ngreksa papan ingkang wus tau dirembug bareng ana sajroning pasamuan setaun kepungkur. Apa dumeh sira kabeh pada nyawang ingsun kaya bocah wingi sore? Ananging ingsun wani ngadheg jejeg ngugemi apa ingkang dadi paugeran, apa ingkang ingsun tau ucapake, apa ingkang dadi dalaning pakumpulan, apa ingkang dadi pranantaning bebrayan. Saiki sira kabeh pada tinggal glanggang colong playu”


Teater Sebagai Sarana Berkelompok dan Mengembangkan Gagasan Bersama 

Setiap kelompok kesenian, khususnya teater, para anggotanya tentu sadar untuk apa mengadakan pementasan, apa saja tujuannya dan bagaimana mengelola, mempersiapkan, memikirkan, mengatur, menyelesaikan urusan-urusan teknis keproduksian, menyasar calon penonton, mengedarkan tiket, dan merapikan apa saja yang sekiranya masih perlu dirapikan sebelum waktu pementasan tiba. Idealnya lagi setiap anggotanya terutama yang terlibat langsung dengan garapan naskah, semestinya mendayagunakan semaksimal mungkin kemampuan yang dimilikinya sesuai posisi dimana ia mendapat bagian untuk bekerja. 



            Sebuah naskah yang hendak dipentaskan pastinya memuat maksud, nilai-nilai yang hendak disampaikan oleh penulisnya kepada mereka yang menjadi “sasaran” atas tawaran gagasan tersebut, cara penyampaiannya tentu saja melalui pementasan. Memahami secara individu teks-teks dialog yang sudah ditulis tadi bisa saja dengan membacanya seperti koran, tapi untuk urusan penggarapan tentu tidak sesederhana itu, hasil telaah pembacaan teks tadi bisa dibicarakan bersama rekan satu kelompok, mulai dari sutradara, pemain, tukang lampu, tukang musik, dan tukang-tukang lainnya. 

Setidaknya sebelum memulai proses penggarapan, naskah yang hendak dipentaskan tadi terlebih dahulu coba dipahami oleh semua yang terlibat pada lingkup internal kelompok. Barangkali cara tersebut bisa saja dilewatkan, melihat tersedianya waktu, apa tujuan pentas, dan “kapasitas otak” tiap anggotanya, maksud saya terkadang tidak semua anggota berminat membicarakan gagasan naskah, tidak mau berpikir berat, terima perintah saja akan dipekerjakan pada bagian mana. Biasanya disertai sikap patuh secara penuh, saya tertawa melihat kenyataan ini, dalam hati bertanya, sebenarnya ini “militan” apa “keledai”?

Ya, itu menjadi pilihan apakah wacana naskah perlu coba dipelajari bersama terlebih dahulu sebelum dipentaskan sebelum disampaikan kepada penonton, untuk menambah pandangan baru dari yang pernah dilakukan sebelumnya. Pemahaman masing-masing anggota kelompok akan sebuah naskah kiranya dapat memperkaya obrolan internal, kelihatannya memang tidak ada gunanya, buang-buang waktu, tapi bagi saya itu lebih baik dari pada di luar latihan membicarakan urusan lain yang tidak ada hubungannya dengan rencana pementasan, apalagi porsi pembicaraan lebih besar untuk persoalan yang bertentangan dengan pandangan kelompok, itu lebih parah lagi menurut saya, capek-capek latihan dapatnya hanya pentas dan senang-senang, kebanggaan semu.

Atau boleh juga andai dirasa memang sudah cukup dengan menggarap teks-teks yang tertulis pada kertas naskah, tanpa perlu ada upaya obrolan bersama antar teman satu kelompok dalam rangka memperluas pandangan dari isu yang terdapat pada naskah, lebih memilih urusan memperkuat teknis-teknis pemanggungan, mengejar secepatnya materi-materi yang ada dalam kelompok (yang sebenarnya terbatas dan masih relatif minim) agar pada saat pementasan dapat selamat dari “kecelakaan”, bukan berangkat dari apa yang dimiliki, menurut pengalaman kami biasanya proses semacam ini banyak tuntutan yang mengakibatkan para pelakunya stres. 

Bagaimana tidak stres, katakanlah materi-materi yang sebenarnya bisa dipelajari atau dilatih pada hari biasa (latihan rutin tanpa motif atau tujuan pentas) tidak pernah dilakukan, ketika akan pentas sibuknya setengah mati hingga mengalahkan jadwal-jadwal lain diluar teater, tetapi menginginkan atau berambisi pementasannya bagus (relatif juga sebenarnya tolak ukur bagus ini tapi sering jadi perdebatan dari berbagai segi yang biasanya tidak akan ada titik temu) maka hari-hari menuju pementasan akan menjadi hari yang sangat melelahkan, kasus semacam inilah yang saya namakan orang berkesenian seperti budak, katanya kesenian itu obat stres, kok malah jadi stres? Situ waras?

            Penyakit stres sering melanda jiwa para pelaku teater, seringnya teater kampus, entah apa penyebabnya, silakan dicari sendiri jawabannya. Alangkah sungguh menarik menjumpai kasus-kasus lucu yang sering kita jumpai didepan mata tapi mungkin tidak kita sadari. Tidak jarang dari kawan-kawan kita merasa mengadakan pementasan (teater) itu berat, lalu saya bertanya “kalau berat kenapa kamu memilih Teater sebagai kegiatanmu? Bukankah banyak kegiatan yang bisa dipilih selain Teater?”. Pasti ada saja alasan yang akan dikatakan, misalnya teater itu belajar hidup, gotong royong. Wah, hebat sekali pernyataan tersebut, mengutip dari mana kalimat ajaib itu, kelihatannya sederhana, tapi kenyataannya? Kok merasa berat? Kok stres? Kok ya masih ngeyel pentas? Siapa suruh kamu teater? Wow, kalian luar biasa!!

Naskah merupakan produk karya tulis yang tujuannya untuk diolah menjadi sebuah pertunjukan teater. Para penggarap atau para penyajinya adalah jembatan yang mempertemukan antara gagasan naskah dengan penonton. Sebuah logika sederhana terlepas dari urusan teknis pemanggungan, kadang terjadi kasus semacam ini, ada penonton yang menganggap pementasan sebuah kelompok sangat kurang dari kaidah-kaidah teater yang ada dikepalanya, tapi penonton tersebut mengerti gagasan naskah karena menyimak teks-teks yang didialogkan, maka bisa dikatakan wacana teks naskah sampai pada penonton, tapi secara “estetika” panggung kurang bisa dinikmati (sebenarnya ini relatif sifatnya). Sekarang yang menjadi pertanyaan dan rasanya harus segera disadari bagi para pelaku teater, terlebih untuk yang memiliki kelompok (bukan yang wira-wiri), jika pementasan dianggap sebagai jembatan penyampai gagasan naskah yang dipilih, menjadi wakil atas apa yang ingin disuarakan lewat pemntasan teater, apakah kita sudah merasa wacana itu penting bagi diri pribadi? Sudahkah kita paham dan dengan pikiran waras hendak menyuarakan sesuatu? Tapi apapun itu, sekali lagi pilihan ada pada diri masing-masing, ini negara bebas, dan teater bukan segalanya hanya sebatas wadah, pun demikian mari kita coba sedikit waras dalam menyikapi sebuah fenomena yang terpampang jelas didepan mata. Salam Antagonis!!


            Surakarta, 17 Maret 2018


Joko Lelur
Mantri Carik Di Teater Sandilara