Sebelum membaca tulisan ini perlu
anda garis bawahi, pembicaraan saya adalah soal kegiatan berkesenian oleh
mereka, kelompok, komunitas, atau jaringan kesenian yang mengatasnamakan
dirinya sebagai gerakan. Artinya gerakan yang saya maksudkan perihal gagasan
bersama yang dirasa perlu dan ditujukan bagi “perubahan” masyarakat luas dari
berbagai segi, misalnya sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain yang
dirasa perlu adanya perubahan. Biasanya setiap pemilik gagasan, baik individu
maupun kelompok memiliki cara pandang ideal masing-masing. Permasalahannya atau
yang mungkin bukan masalah bagi anda adalah cara merealisasikan bentuk
aktivitas yang dimaksud sebagai “gerakan”. Kenapa saya beri tanda kutip, karena
saya sering sangsi terhadap banyak fenomena yang terjadi akhir-akhir ini yang
menggunakan istilah “gerakan”.
Anggap
saja tulisan ini sebagai opini pribadi tanpa melakukan riset sebagaimana
agen-agen penelitian resmi. Tapi bukan berarti asal ngawur melempar tai di muka umum. Sebab saya menulis karena sadar, bahwa
diskusi-diskusi nyatanya hanya terkesan seperti pentas setelah pentas, di mana
para penonton yang merasa banyak wawasan ganti menjadi pemain, menunjukkan
“kepintaran” dan eksistensinya dengan memberi masukan basa-basi atau kritik
tajam diluar wacana pertunjukan. Ya, saya menulis karena hanya ingin bicara
dengan mereka yang sekiranya bisa menerima pandangan yang kami tawarkan. Jika
hari ini mungkin tidak dipahami orang-orang bukan masalah bagi saya, biar nanti
generasi-generasi setelah saya mati yang membacanya, itupun kalau mereka bisa
menerima. Kalupun tidak minimal saya sudah buang hajat, tidak perlu mengadakan
kegiatan rasan-rasan.
Mengeluhkan Sumber Dana
Jika mau jujur, memang semua yang
bersifat kegiatan kelompok, apalagi yang memuat wacana besar pasti membutuhkan
biaya yang tidak sedikit. Sering kita terjebak pada bentuk, bukan fokus pada esensi
gagasan, atau bisa jadi kurang sabar dalam mempersiapkan diri dari berbagai
sisi, tapi ingin segera mewujudkan cita tersebut. Akhirnya jadi besar pasak
dari pada tiang, bukan hanya rencana anggaran yang gagal tercukupi, yang tidak
kalah penting sebenarnya juga kesiapan wawasan dan mental para anggotanya.
Ketika
permasalahan ini gagal diselesaikan, tapi kepalang tanggung ingin unjuk gigi,
akhirnya ditempuh pula jalan pintas yang semula dihindari. Tidak jarang
kelompok-kelompok yang awal mulanya merasa “berdikari” madiri secara pendanaan
lalu memilih cara mengajukan proposal pengajuan dana kepada pihak-pihak yang dirasa
bisa menjadi “Dewa Penolong” bagi cita-citanya, baik pemerintah maupun swasta.
Memang untuk jaman sekarang proposal sudah menjadi hak bagi siapa saja, asalkan
laporan pertanggung jawaban tertulis itu nanti jelas, maka dana akan lancar
terkucur dari kantong-kantong tersebut.
Kalau
di kelompok kami menyebut yang seperti itu sebagai “orang-orang proyek”, dan
kami dengan bangga tanpa maksud rendah hati menyebut diri kami “beridealisme
sakit”. Ya, itu bukan masalah, setiap orang atau kelompok bebas memilih jalan
yang ditempuh dalam kegiatan berkesenian. Persoalannya, sudah tepatkah
dana-dana itu untuk membiayai gagasan akan “gerakan” yang sering didengungkan?
Terlebih yang mengatasnamakan masyarakat luas? Sudah sampaikah kepada sasaran?
Sudah cukupkah dengan mengadakan pementasan besar tanpa bekas yang jelas, tidak
berkelanjutan, tema musiman, sebatas perayaan tapi menyertakan rakyat didalam
tajuk acara. Saya bertanya sebab merasa sebagai rakyat juga, jadi untuk rakyat
yang mana? bagi kebudayaan siapa?
Ada
yang ketika sebelum pentas mengatakan perkumpulannya “mandiri” tidak ada pihak
yang memberi dana, tapi ketika pementasan di mulai “ngubengne tampah” meminta iuran seikhlasnya, entah konsepnya
demikian agar terlihat seperti pentas pengamen Jaran Dor atau bagaimana saya kurang tahu, yang jelas fenomena semacam
ini bagi saya sangat lucu, mengingat pentas yang diadakan tidak memungut uang
tiket masuk, gratis bagi para penonton. Pertanyaan saya, kalau memang “mandiri”
dari mana biaya operasional sehari-hari di sanggar tersebut? Daripada meminta
sumbangan seikhlasnya dari penonton, mengapa tidak menjual tiket? Toh penonton
pasti juga akan datang dan mampu membayarnya. Bukankah itu lebih gagah daripada
meminta sumbangan?
Memang
dalam proses menuju pementasan banyak mengeluarkan biaya, konyolnya jika yang
dikeluhkan adalah urusan pendanaan diluar kekaryaan itu sendiri, tapi hal-hal
yang sifatnya pribadi, seperti uang rokok, uang makan, uang bensin, atau apa
saja yang intinya tidak berkaitan dengan pemanggungan. Logikanya seperti ini,
andai saja anda seorang perokok dan bukan pelaku seni, dari mana anda mencukupi
kebutuhan rokok anda? Andai saja tidak sedang proses pementasan, apa anda tidak
makan? Uang bensin, andai anda tidak memilih kesenian untuk mengisi hidup,
apakah anda tidak bepergian ke tempat lain untuk memenuhi kebutuhan bersosial?
Kalau memang berat tidak usah berkesenian, siapa juga yang mewajibkan seseorang
untuk menggeluti bidang seni, mikir!!
Merasa Pemerintah Tidak Memperhatikan
Orang bisa memilih kesenian sebagai
wadah “kritik sosial” atau menjadikan kesenian sebagai alat kontrol
pemerintahan. Untuk dapat tumbuh segala pemikiran tentang “kepekaan” terhadap
fenomena yang terjadi disekitar, sudah selayaknya seniman “membuat jarak”
dengan pemerintah, bukan berarti memusuhi pemerintah atau sok-sokan berhaluan
kiri, asal protes tanpa menggukur kapasitas kelompok, termakan isu berita di
media massa, atau sekedar ikut meramaikan topik-topik yang sedang hangat
diperbincangkan dan dijadikan tema pementasan. Itu bukan “kritis” tapi sekedar
numpang eksis menurut saya. Kita tahu, beberapa jenis kesenian di kota ini
nafas hidupnya ditopang oleh dana dari pemerintah kota. Biasanya
kelompok-kelompok yang sejenis, tapi tidak mengerti akses untuk memperoleh dana
bantuan, atau kelompok yang tidak kebagian jatah anggaran, akan merasa tidak
diperhatikan oleh pemerintah, diabaikan keberadaannya, ditelantarkan nasibnya, dan merasa sebagai anak tiri dilingkungan sendiri.
Sebagai
reaksi kejadian semacam ini, kelompok tadi akan mengadakan pementasan atau
membuat gerakan massal, bisa juga jaringan besar, menjaring kelompok-kelompok
yang merasa bernasib sama untuk mengadakan protes. Banyak bentuknya, salah
satunya dengan meninggalkan kantong-kantong kesenian yang menjadi hunian
semula, “pura-pura marah” pada pemerintah, merasa tidak diperhatikan. Lucunya
kalau pemerintah atau pihak yang diprotes tadi melunakkan sikap dan meminta mereka untuk kembali, dipenuhi segala
fasilitasnya, diberi kedudukan seperti yang diharapakan, maka mereka akan ikut
melunak juga. Di sini terlihat jelas, kecengengan dan sifat kekanak-kanakan
yang menangis minta mainan, marah pada orang tua, setelah dipenuhi apa maunya,
kembali patuh dan lunak sikapnya.
Lebih
lucu lagi jika kejadian semacam ini dilakukan oleh mereka yang memiliki wacana
besar, gembar-gembor soal “gerakan”, entah yang seperti apa biasanya tidak
jelas, sebab setahu saya tidak menjadi rutinitas yang dapat dipantau
perkembangan dan permasalahannya, seringnya mengadakan bentuk perayaan musiman,
sebatas mengumpulkan massa dengan disertai kalimat “untuk rakyat”. Rakyat yang
mana kami kurang tahu. Barangkali itu bentuk pertanggungjawaban menggunakan
uang rakyat.
Bagi
kami kerja kebudayaan, khususnya kesenian, tidak semata mengadakan pementasan
dalam skala besar, tapi dengan sabar dan sedikit demi sedikit, bahkan mungkin
tidak selesai pada satu generasi, dilanjutkan generasi sesudahnya, itupun tidak
jaminan gagasan tersebut akhirnya terwujud, setidaknya berani berusaha dengan
didasari kewarasan dalam memandang keadaan, bukan memanfaatkan keadaan atau isu
yang sedang berkembang, kemudian berganti ke isu lain jika isu yang lama sudah
tidak laku dijual.
Mengiba Pada Seniman Lain
Ada lagi yang tidak kalah menarik,
tapi mungkin bukan sebuah masalah, hanya saja saya yang pendiam ini sebenarnya orang
yang gampang emosi melihat fenomena konyol. Atas nama sesama pelaku seni,
“kemalangan nasib” sebuah perkumpulan tanpa sadar akan dikeluhkan kepada
kelompok-kelompok atau komunitas-komunitas lain yang bergerak pada bidang yang
sama. Maksudnya, perihal kekurangan fasilitas, macetnya operasional kegiatan,
juga biaya untuk melakukan “gerakan” yang sudah direncanakan. Bukankah itu
cengeng dan lucu, mengingat masing-masing kelompok juga memiliki masalah
sendiri-sendiri. Bagaimana melakukan gerakan kebudayaan jika urusan “kakus dan
dapur” kelompoknya saja mengeluh pada tetangga. Mengajak sesama pelaku seni
untuk peduli oada nasibnya, “bukankah sesama seniman harusnya saling
gotong-royong”, preekk!! Gombal mukiyo!!
Ya, saya memang kemaki, saya memang sinis, nyinyir, sok kritis. Anda mau apa?
marah? Ngrasani? Silakan, tapi jangan sampai saya mendengar,
sebab akan jadi tulisan baru. Bagi saya jika keinginan mustahil terwujud, sulit
terlaksana lebih baik cari kemungkinan lain, bilamana perlu tidak usah
berkesenian kalau memang merasa repot, atau sabar menunggu sampai segala
titik-titik penopang tercapainya keinginan mulai tampak. Daripada meminta
sumbangan kepada rekan-rekan lain misalnya, tapi di hadapan masyarakat mengaku
sebagai pejuang kebudayaan yang tulus tanpa memungut biaya, memangnya ada alat
ukur ketulusan hati? Kejadian semacam itu tidak fair sebenarnya, lebih baik mereka
yang dengan terang-terangan mengakui kesenian untuk mencari penghidupan. Kenapa
tidak dikomersilkan saja segala produk-produk keseniannya? Atau menyewakan
tempat untuk pentas kelompok lain? Atau menjual tiket jika mengadakan
pementasan? Hasilnya bisa digunakan untuk mencukupi segala kekurangan fasilitas
dan biaya operasional kegiatan.
Perjuangkanlah Idemu Dan Kelompokmu Dengan Jujur, Mengakui Posisi, Kapasitas
Diri, Dan Motif Berkesenianmu Tanpa Harus “Merepotkan” Orang Lain
Kesenian
memang hanya sebuah wadah ekspresi jiwa, baik yang dilakukan secara individu
maupun berkelompok. Kesenian juga bisa sarana atau kendaraan untuk menuju dan
mencapai tujuan-tujuan tertentu, misalnya ritual keagamaan, kebatinan,
penghilang stres, penyaluran ideologi, gerakan kebudayaan, lapangan pekerjaan,
atau apa saja yang sekiranya bisa ditampung oleh kesenian, tergantung keperluan
masing-masing orang dan kelompok. Permasalahannya adalah penyikapan terhadap
pilihan dan segala konsekuensinya, banyak diantara kita yang tidak sadar atas
apa yang disuarakan dan diperjuangkan.
Akhirnya menjadi sebuah
fenomena yang lucu, apabila ingin tampak gagah sebagai pahlawan kebudayaan yang
“berdikari”, tapi cara berpikirnya belum merdeka, masih dibayangi sesuatu yang
tidak ada pada dirinya, tapi ingin ditampilkan di muka umum agar tetap eksis
dan berkibar namanya juga bendera kelompoknya, maka untuk menutupi atau
mengejar impiannya tersebut ditempuhlah cara-cara “remeh”, meminta sumbangan kepada
sesama pelaku seni atas nama solidaritas dan gotong-royong, main proposal di
belakang, mengumpulkan kaum “sendika
dawuh” dalam satu jaringan, mengadakan “gerakan” atau acara besar atas nama
rakyat yang hanya musiman, melakukan sosialisasi visi-misi kelompok atau
komunitas secara “membabi-buta” tanpa memandang tempat tanpa mempertimbangkan
itu acara apa.
Bagi kami urusan
penyampaian gagasan sudah ada tempatnya, tidak harus selalu ketika ada banyak
massa berkumpul, itu namanya aji mumpung,
mana hasilnya selama ini? Bukankah ini bukti kita gagal mengenali kapasitas
diri dan kelompok? Jalan yang dipilih beserta konsekuensinya? Atau gagap
menyikapi perubahan? kenyataan jaman? situasi sosial di sekitar? Iklim yang
tidak lagi sama di setiap masa? baik dari kuota anggota, kuantitas dan kualitas
setiap orang yang terlibat, permasalahan generasi, tujuan dan laku yang harus
ditempuh.
Ya, sebagai penutup saya tinggalkan
kalimat-kalimat sok bijak dari Mas Bei, “berkesenianlah
seolah-olah itu ibadah atau jalan pedangmu, tapi kalau bisa tanpa harus
merepotkan orang lain, sebab kesenian hanya sarana, kelompok hanya wadah, tidak
ada yang abadi, semua yang lahir pasti mati. Berkesenianlah dengan gagah tanpa
banyak mengeluh, jangan cengeng, jika terasa berat barangkali bukan keseniannya
yang salah, tapi ambisi dan motif-motif diluar urusan kesenian itu sendiri yang
tanpa kita sadari menjadi beban”
Surakarta, 19 Maret 2018
Sastro Siswo Hadiwinoto Handoyonigrat
Tirto Kamandanu
Mahasiswa Semester Akhir
Di Institut Tanggul Budaya Surakarta