Tuesday, 28 June 2016

Nyanyian Gagak (Mas Bei)



Lupakah kalian bahwa kami pernah dikirim Tuhan untuk menunjukkan kepada Qabil bagaimana cara menguburkan mayat? Ya, jenazah Habil yang mati ditangan Qabil saudaranya sendiri. Mungkin sejak saat itu pula anak – cucu Adam dan Hawa mengenalku, menganggap keberadaan atau kedatanganku sebagai pertanda peristiwa buruk. Tapi tahukah kalian kabar duka bukan semata soal kematian, sebagaimana hitam tidak selalu berarti kegelapan, horor, duka cita, kematian, atau kengerian. Kau terlalu banyak baca novel fiksi dan nonton  film horor, sampai sesempit itu pandanganmu tentang keberadaanku, peranku sebagai makhluk Tuhan, dan nyanyianku yang kalian anggap tanda kematian. Sekali lagi aku katakan, kabar buruk bukan melulu soal kematian, bisa jadi ancaman, hasil analisis gejala sosial serta dampaknya, kedok-kedok pergerakan, proyek tipu-tipu yang kini dianggap kewajaran, menurunnya fungsi panca indera akibat berlebihan memuja kemajuan jaman, dan masih banyak lagi.

Aku menyertai kejadian buruk di setiap jaman, setelah itu memberitakan pada makhluk lain agar siap dan waspada terhadap segala kemungkinan buruk yang akan menimpa mereka. Mungkin itu tugasku, tanggung jawab sebagai makhluk ciptaan Tuhan atau Tuhan memang sengaja memberikan karunia berupa daya tangkap dan insting yang tajam. Sebagaimana dua sisi mata uang logam, kelebihan tentunya harus diimbangi dengan tanggung jawab, keduanya satu paket diberikan Tuhan kepadaku, karena aku memperoleh kelebihan itu secara gratis. Aku bahagia menerima anugrah itu. Sampai tiba pada satu jaman dimana orang-orang melupakan keberadaan dan peranku, bahkan beberapa orang mulai berusaha menyingkirkan kami, tidak lagi mau membagi tempat apalagi mempersilakan kami duduk menawarkan pertemanan atau sekedar mendengar kabar dari kami.

Aku terjaga di saat orang-orang menutup mata, aku bernyanyi ketika semua telinga lelap dalam mimpi, aku terbang di gelap perkampungan mengabarkan berita duka, karena di kota tidak ada lagi tempat untukku, tidak ada lagi orang percaya kabar yang aku bawa, apalagi meluangkan waktu untuk memikirkan setiap apa yang aku sampaikan. Mereka itu lebih percaya berita takhayul yang disusupkan kelompok-kelompok tertentu demi kepentingan mereka, dijejaring sosial, dimedia masa, diacara televisi, dipentas-pentas mereka, atau status keluh kesah berbau sampah milik teman-teman mereka yang sebenarnya tidak enak untuk dihirup, tapi sudah jadi barang wajar sampah menjadi menu utama, sarapan pagi orang-orang jaman sekarang, sebagai energi debat kusir didinding beranda, atau dimeja diskusi kaum terpelajar negeri ini.

Menjelang matahari terbit bagiku adalah akhir hari. Di saat kebanyakan orang mempersiapkan diri aku mulai tidur hingga matahari tenggelam, walau sebenarnya aku tidak benar-benar tidur, dalam diam aku merekam apa yang terjadi disekitar, hatiku bergetar, otakku berputar. Selepas maghrib mataku mulai terbuka, dari kejauhan mengamati, mana orang yang tepat dan kiranya bisa memahami berita yang hendak aku sampaikan. Tetapi, lagi-lagi tidak seorang pun aku dapati, semua sudah mengurung diri di layar ponsel, hanyut mengikuti iklan di tv, sibuk memenuhi tuntutan jaman baru, menyumbat telinga dengan status-status sampah kawan mereka, atau duduk sambil membagikan limbah yang mereka sendiri tidak tahu dari mana asalnya.

Terkadang disetiap cerita fiksi atau film horor aku ikut ambil bagian, sebagai peran pendukung, tentunya bersama tokoh-tokoh antagonis, seperti penjahat, pembunuh, penyihir, dan semacamnya. Atas dasar itukah kalian takut akan keberadaanku? Takut jika aku membawa kabar buruk untuk kalian? Takut jika kedatanganku mengusik kemapanan tatanan konyol yang kalian pelihara selama ini? Merasa terancam jika berita yang aku sampaikan tidak sejalan dengan pemikiran kalian yang sudah terseret mengikuti tren?

Jaman memang selalu berubah, sementara aku hidup dari masa ke masa, berkawan sunyi berteman gelap malam. Siang bukan untukku, terlalu bising dan banyak burung-burung lain berkicau, hingga dunia serupa pasar burung, dimana orang akan bingung ketika semua bebas berkicau. Tidak hanya burung, bahkan manusia sekarang sudah mulai gemar berkicau, tidak jelas pangkal ujung apa yang mereka sampaikan, kicauan yang membuat gaduh, tak tertata, asal bunyi, ingin didengar walau hanya sampah yang mereka lempar, atau limbah polusi yang mereka bagikan disetiap jejaring sosial dengan maksud akunnya memperoleh banyak perhatian. Tentunya perhatian semu yang akan menguap seiring munculnya postingan baru.

Haruskah aku mempertanyakan kepada Tuhan, “wahai Sang Pencipta, mengapa sedemikian rupa Kau ciptakan hamba?” pikirku waktu itu. Alangkah enaknya jadi manusia, biarpun sebenarnya tahu tapi bisa pura-pura bodoh, bisa mendapatkan pendidikan tinggi tapi ingkar pada tanggung jawab moral. Ya, memang tidak ada yang akan mempertanyakan atau menagih tentang tanggung jawab moral di dunia ini. Status pekerjaan serta nilai akhir kelulusan yang lebih jadi tolak ukur sukses tidaknya seseorang. Maka pandangan semacam itu yang tertanam dibenak mereka, sedangkan aku tidak bisa menutup rapat paruhku untuk tidak mengabarkan setiap gejala yang aku tangkap, karena aku tidak memiliki akal, tidak bisa bermain aman dengan diam.

Tapi Tuhan telah memberikanku daya adaptasi tingkat tinggi, aku mampu bertahan disegala jaman tanpa harus merubah bulu seindah Merak, atau melatih suara agar merdu seperti burung kicauan lainnya. Aku tetap menjadi aku, Gagak hitam, yang menyampaikan berita buruk, yang bertahan ditengah masyarakat hidup bersama polusi, yang siap tidak didengar atau dilempari batu cercaan ketika melintas terbang diatas proyek tipu-menipu, yang mampu hinggap di tempat manapun untuk sekedar merekam peristiwa, di gedung kesenian, di lingkungan akademik, di kantor pemerintahan, di kampung pinggiran, bahkan kini terpaksa aku mendarat di jejaring sosial, setelah tak ada lagi telinga yang sudi mendengar ditempat-tempat itu, karena manusia kini bermukim didunia maya. Maka kami datangi mereka, bukan dengan suara kami yang parau, melainkan tulisan-tulisan, ya kami sudah belajar menulis sekarang.

Jika kau dengar kabar burung, bisa jadi itu dariku atau teman-temanku. Jika kau tak percaya kabar burung, maka cukuplah menutup telinga tanpa harus mengutuk. Jika kalian merasa terusik karena syair lagu yang kami nyanyikan berarti masih ada sedikit kesadaran di hatimu. Hanya mungkin kau merasa malu untuk percaya, pada berita yang datang dari sekumpulan makhluk malam seperti kami. 

Atau bisa jadi kau sudah terlalu nyaman dengan kebahagiaan semu, takut dan berusaha menjaga kebahagiaan itu tetap abadi melekat bersamamu, kebahagiaan yang ditawarkan oleh dunia moderen, dunia yang membuatmu merasa nyaman dalam jerat kepentingan global, mengurungmu dalam layar ponsel sepanjang hari, menyuapimu dengan berita-berita adu domba, tulisan-tulisan yang bermuara pada ketakutan bila tidak kau ikuti dan kau beli produk yang mereka tawarkan. 

Selain itu ada yang lebih konyol, status keluh kesah urusan remeh teman- teman jejaring sosialmu, yang sebagian besar tak kau kenal didunia nyata, entah itu kawan atau musuh asalkan muncul dilayar ponsel ketika kau membukanya, kau mengerti atau tidak apa yang mereka tulis atau bagikan, jarimu akan otomatis menekan kata ‘like’ atau suka, juga unggahan foto-foto yang lagi-lagi membuat jari telunjukmu gatal jika tak menyentuh pilihan ‘like’ atau ‘menyukai’, sebagai tanda kau suka apa yang dia unggah. Mungkin itu sebuah bentuk kepedulian model baru, kau dan mereka akan merasa diperhatikan serta memperoleh kebanggaan ketika banyak jempol muncul disetiap apa yang baru saja kau unggah, kau dan orang-orang itu akan bergantian “menyukai” layaknya orang hajatan mendapat sumbangan, lalu bergantian memberi sumbangan ketika yang lain punya hajat, tanpa lebih dulu mengerti untuk apa itu harus dilakukan. 

            Dulu ketika teknologi moderen belum terlalu merampas waktu manusia, aku tinggal bersama mereka, meski ku atur jarak agar mereka tidak takut jika pada suatu malam tiba-tiba berjumpa denganku. Tidak ada masalah, tidak ada persoalan, manusia masih percaya sepenuhnya pada Tuhan dan menghormati semua ciptaannya, setiap aku datang membawa pesan mereka mengerti, lalu segera mengambil langkah antisipasi atau mempersiapkan diri jika dalam waktu dekat kejadian buruk akan datang. Sampai kepercayaan terhadap bahasa alam terganti oleh media berita, lambat laun kemampuan membaca pertanda yang dimiliki manusia mulai menurun. Aku dianggap burung pembawa sial, yang masih percaya pada pertanda yang aku bawa dianggap orang kuno dan musyrik. Oleh karenanya aku segera mencari tempat baru, aku pindah rumah, menuju gedung-gedung kesenian. Bukankah orang kesenian adalah orang yang memiliki ketajaman rasa? Pasti mereka masih bisa mengerti segala gejala dan pertanda, barangkali bisa mereka olah sebagai karya, mengangkatnya ke atas panggung, menerjemahkan apa yang aku beritakan tentang kabar-kabar buruk agar masyarakat umum bisa mengerti.

Tapi ternyata harapanku itu terlalu berlebihan, mereka terlalu sibuk untuk mendengarku, apalagi mengolah beritaku dan mengangkatnya sebagai karya diatas panggung. Mereka lebih senang berbicara soal barang dagangan, yang jauh dari persoalan hidup disekitar atau minimal diluar lingkungan mereka, satu sama lain berlomba-lomba mengimpor bahan baku dari jejaring sosial, hiburan televisi atau berebut juragan untuk kerjasama dagang. Akhirnya aku terbang meninggalkan gedung-gedung kesenian, ketika tempat itu sudah terlalu terang dipenuhi agenda kelompok kesenian program kerja, badut-badut pertunjukan, makelar seni, dan corong “pekerja kebudayaan” yang kerasnya melebihi suara speaker iklan obat moon light di Pasar Klewer. Di gedung kesenian, disetiap pementasan, diatas mimbar diskusi, bahkan dijejaring sosial, mereka para makelar dan “pekerja kebudayaan” berjualan dengan kedok pelestarian seni tradisi dan kebudayaan.
 
Di lingkungan pemerintahan, aku saksikan orang sudah duduk dengan nyaman, merasa berhasil memperoleh posisi aman, merasa pendidikan yang mereka bayar dengan mahal tertebus dengan gaji tinggi di setiap bulan, belum lagi tunjangan untuk mereka yang sudah menyandang predikat pegawai negeri. Tapi belum sempat aku mengetuk pintu ruangan pak kepala, pegawai-pegawai bawahannya sudah mengusirku, karena aku menolak ketika mereka menawarkan makan. Aku tahu itu makanan yang akan membuatku bisu, oleh karenanya aku menolak, aku hanya ingin menawarkan persahabatan, memberi informasi kejadian buruk yang akan datang, memperingatkan agar jangan terlalu sering memanfaatkan orang miskin atau kelompok kesenian diatas kertas proposal demi mengucurkan dana dari pusat, bukankah tujuan kami baik?

            Aku sempat singgah dilingkungan kampus, bertengger dibawah papan nama kelompok-kelompok kesenian mahasiswa, berpindah dari satu kelompok ke kelompok lain, sekedar menyaksikan proses latian hingga hadir disetiap pementasan mereka. Lingkungan kampus lingkungan akademik, pasti para penghuninya lebih bisa memahami apa yang ingin aku ceritakan, berharap ada telinga yang sudi mendengar kabar buruk yang aku bawa, lalu mereka akan tergerak untuk ikut memikirkannya,harapanku ketika itu. Apalagi menurutku mereka itu sangat gagah, berorasi ketika unjuk rasa didekat balai kota atau didalam kampus mereka sendiri, calon-calon sarjana ini pasti akan senang berkawan dengan ku karena akan dapat banyak bahan untuk mereka olah sesuai bidang masing-masing, terlebih aku, akan lebih senang lagi karena mendapat kesempatan berkawan dengan kaum terpelajar. Tapi ternyata mereka sama saja, bahkan kebanyakan dari mereka acuh terhadap wacana yang aku bawa, sudah merasa bangga jadi mahasiswa yang terjebak pada teori-teori kuliah, adat pergaulan kampus, perburuan nilai kelulusan, gerakan sosial musiman dan terlalu sibuk mengurus proyek tahunan kelompok kesenian mereka.

Selain itu banyak diantara mereka habis waktunya di meja rapat, lupa kalau aku sudah bertengger ditempat biasa menunggu mereka datang. Mengapa sekarang mahasiswa lebih sibuk di meja rapat? Mengapa diskusi-diskusi yang mereka adakan tidak berujung pada tindakan? Mengapa isu-isu global hanya jadi obrolan selingan? Tapi ya berhenti pada obrolan saja, mengapa sekarang terlalu sibuk bicara soal pendanaan? Cari dana acara, nyusun anggaran nulis proposal. Ternyata itu kegiatan baru yang lebih menyenangkan daripada memikirkan wacana yang aku bawa, lebih menguntungkan secara materi, meningkatkan kebanggaan diri tanpa repot bersusah payah turun ke kubangan lumpur bersamaku. Ada yang lebih parah lagi mereka yang sama sekali tidak mengikuti kegiatan selain kuliah, mereka tidak jauh beda dengan anak-anak smp yang hobi memburu wi-fi duduk berjamaah di kelurahan, otak mereka sudah terjerat sinyal jaringan internet, dimanapun berada pandangan mata tidak akan lepas dari layar ponsel, sibuk berbincang dengan kawan jejaring sosial atau memainkan game-game terbaru, tak peduli kawan disamping, tak ada tegur sapa apalagi berdiskusi. Lagi-lagi tak ada tempat untukku.

Detik ini menjelang matahari terbit, aku selesaikan tulisan ini karena aku percaya tidak semua bebal, masih ada yang mau mendengar berita buruk dari kami, berkeanan memikirkan wacana yang dibawa oleh kami, serombongan Gagak yang terjaga dan berkumpul di kala malam, meski sebagian besar anak cucu Adam mulai melupakan, menyingkirkan, mencurigai setiap gerak kami, dan merasa terusik oleh nyanyian kami. Dimanapun terbang kami tidak menebar teror atau mengancam peradaban yang kalian bangun wahai anak cucu Adam dan Hawa, tidak pula hendak berusaha mengancam atau membuat kaum bebal percaya, kami tahu di otak kalian telah tertanam istilah kabar burung, telinga telah tersumbat sampah jaman, mata telah buta karena norma, dan hati telah membatu termakan isu.

 Karena Tuhan menyayangi dan memberi anugrah serta tanggungjawab ini, maka kami akan tetap terbang dan bernyanyi dikala malam, setelah ku pastikan tak ada satu pun telinga yang mendengar, tak ada seorang pun yang melihat kami terbang melayang diatas perkampungan, mengabarkan berita kematian dan kedukaan untuk kalian.


           


 Surakarta, 29 Juni 2016 dini hari

Sunday, 12 June 2016

Hati hati : Orang Teater itu tukang tipu !!! ( Bagus Prakoso )

“Halah..orang Teater itu pasti suka berbohong, hidupnya saja selalu penuh drama, latihan kok latihan buat apus-apus…”

Begitu saja seorang teman mendakwakan apa itu teater pada saya tanpa pernah bertanya apa itu teater dan bagaimana proses teater itu berjalan. Ia mendakwakan bahwa seorang yang hidup dalam sebuah proses teater adalah seorang yang suka berbohong karena setiap hari melatih dirinya untuk berperan sebagai orang lain sebagai bukan dirinya. Tapi, apakah setiap hari kita selalu sama, selalu seperti diri kita sebelumnya dan selalu stabil pada tiap harinya ?

Saya niatkan tulisan kali ini adalah sebuah pembelaan dari apa yang telah didakwakan oleh teman saya kepada saya dan mungkin banyak orang yang tengah menjalani sebuah proses ber-teater. Dan akan saya mulai dari sebuah pertanyaan-pertanyaan kepada siapa saja yang telah membaca tulisan ini.

Apakah kita telah benar-benar paham siapa diri kita masing-masing ? apakah diri kita dapat terwakilkan dari siapa nama kita? Misal seseorang bernama bejo, apakah ‘bejo’ tersebut sudah dapat mewakili seseorang yang bernama berjo tersebut ? ataukan sifat kita yang kita fahami, apakah itu akan dapat menjelaskan siapa diri kita ? bukankan setiap bulan atau bahkan hari sifat kita dapat berubah menurut kondisi dimana kita saat itu berada dan sedang dalam situasi seperti apa, pula banyak faktor lain yang akan mempengengaruhi diri kita ? bukankah seperti itu ? atau bagaimana ?

Jika hari ini kita adalah seorang pemarah dan besoknya kita berubah menjadi seorang yang sangat bahagia, bukankan itu adalah sebuah perubuhan peran? Jika hari ini kita terlihat sangat beruntung dan besok harinya kita menjadi seorang yang sangat sial, bukankan itu juga adalah sebuah perubahan peran ? Atau jika didepan A kita memposisikan diri sebagai seorang pemarah karena memang si A saat itu sangat pantas untuk dimarahi dan saat bertemu B kita menjadi penyayang karena si B adalah seorang yang pantas untuk di sayang, apakah perubahan tersebut adalah kebohongan diri? apakah hal tersebut juga adalah sebuah drama ?

Dalam filosofi jawa dikenal ‘empan papan’, filosofi tersebut berarti bahwa kita harus dapat menempatkan diri dimana kita sedang berada, dengan orang seperti apa yang tengah kita hadapi, sedang pada kelompok mana kita berdiri. Filosofi tersebut menutut kita untuk dapat dinamis memilih dan memilah harus menjadi seperti apa kita pada ruang dan waktu yang berbeda-beda. Apakah hal tersebut juga dapat dikatakan sebagai pembohongan diri? Dapat dikatakan sebagai sebuah apus-apus?

Karena pada teater, meski saya sedang memerankan orang lain atau dapat dikatakan sedang ‘berbohong’, saya pribadi pula di saat yang sama sedang mencari sebuah kejujuran. Melakukan sebuah proses penelanjangan, mempelajari sifat diri sendiri, mempelajari sifat banyak orang, yang tentunya terbentuk karena latar belakang pendidikan, pekerjaan, dan dari mana seseorang tersebut berasal. Dengan mempelajari hal terseut di dalam teater, maka saya pribadi akan dapat lebih mudah memilah dan memilih harus bersikap seperti apa dengan orang-orang yang memiliki banyak karakter. Karena memang manusia harus ‘empan papan’, lentur seperti air, menuruti tempat yang sedang didiami, tidak menghilangkan sifat sebagai air, dan tidak melupakan bahwa air adalah air, yang harus berlaku seperti air.

Apakah ‘empan papan’ tersebut juga termasuk sebuah kebohongan ? Bukankan kebohongan adalah kalian yang sampai sekarang masih terjebak dalam arus jaman, yang dengan mudah dipermainkan arus-arus jaman. Adalah kalian yang hingga kini asyik membohongi diri kalian dengan gincu modernitas, tata lampu peradaban yang serba harus import, dengan apa saja yang berbau asing, dengan label-label berbahasa asing. Kalian tipu diri sendiri dan banyak orang demi apa yang dinamakan sebuah kemapanan hidup, kalian bentuk sebuah lingkaran ketidaktauan dengan menidurkan kesadaran di jaman yang makin tidak karuan.

Lalu aku ataukah kalian yang sedang berbohong hari ini ? 

Thursday, 9 June 2016

Mahasiswa Gagap Akreditasi (Idnas Aral)

Saya berkuliah di sebuah universitas yang sedang gencar-gencarnya mengupgrade diri agar berpredikat World Class University. Dana-dana dikucurkan di sana-sini untuk kegiatan-kegiatan berskala besar, program-program bergengsi yang sarat akademisi di sana-sini, dosen-dosen membagi motivasi di sela perkuliahan agar mahasiswa/i segera berprestasi, semua diarahkan dan disesuai-sesuaikan untuk akreditasi World Class University (WCU).
Sebelum saya melanjutkan tulisan ini, saya ingin menekankan bahwasanya tulisan ini bersifat subjektiv, karena mengenai perasaan pribadi.
Semua bergelora, semua bersemangat, bersepakat untuk meraih itu, World Class University! Betapa bangga jika itu tercapai, karena dosennya akan menjadi dosen kelas dunia, mahasiswanya-mahasiswa kelas dunia, jajaran pemimpin kelas dunia, sampai pada satpam, tukang sapu, pegawai kantin kelas dunia. Semua sudut di kampusku akan menjadi sudut kelas dunia!
Di tengah hingar bingar para calon penghuni kamar itu, saya merasa kesepian dan menjadi rindu pada ruang kelas SD-ku dulu.
Perasaan rindu yang tiba-tiba, kenapa? Tiba-tiba saja bisa rindu pada ruang kelas yang mungil dan sederhana itu. Pada guru-guru, yang baru digantikan setelah satu tahun. Pada teman-teman yang sangat kukenal dan mengenal pada jenjang itu. Pada meja kayu, lemari, papan tulis, penggaris kayu, dan segala benda yang menyertakan cap “inpres” di tubuhnya.
Bukan, kerinduan ini bukanlah kerinduan pada keindahan bentuk orang-orang atau benda-benda yang kusebutkan itu. Bukan kerinduan semacam rindu kepada kerling manis gadis idaman. Tapi ini adalah kerinduan pada komposisi orang-orang dan benda-benda yang sebenarnya sudah tak kuingat detailnya, tetapi ini kerinduan pada suatu keadaan. Keadaan kelasku di jenjang Sekolah Dasar dulu.
Perasaan rindu ini adalah suatu akibat dari suatu sebab.
Berdasar nalarku yang terbatas mengenai sebab rindu. Sebab rindu yang sedang menjangkit ini saya coba simpulkan dengan dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah keadaan kelas di SD dulu memang nyaman dan kemungkinan kedua adalah rindu muncul sebab saya sedang dalam keadaan yang kurang nyaman.
Dengan berbahasa sentimentil dan sangat tidak ilmiah, saya katakan seperti ini. Kenyamanan yang saya rindukan adalah kemesraan hubungan guru dan murid di Sekolah Dasar dulu. Tentu saja kemesraan disini berbeda dengan kemesraan muda-mudi yang sedang menjalin asmara. Tetapi kemesraan orang tua terhadap anak, seperti yang sering kita dengar bahwa guru adalah orang tua kita di sekolah. Kemesraan yang lahir sebuah hubungan antara tanggung jawab pendidik dan kepercayaan siswa pada gurunya.
Hubungan itu mungkin terjadi karena intensitas bertemu yang cukup banyak, karena di SD saya dulu wali kelas mengampu semua mata pelajaran kecuali agama dan olah raga. Sebab pertemuan tatap muka yang sering itu terciptalah keadaan saling mengenali. Dari saling mengenal itulah yang oleh berjalannya waktu meningkat menjadi sangat mengenal.
Ya, dalam suatu hubungan yang baik –saya sebut mesra- muskil tanpa keadaan saling mengenal. Meskipun tentu saja di tataran SD, gurulah yang memiliki kualitas lebih dalam mengenali ketimbang si murid. Tetapi bagi saya itu sudah cukup untuk menghindarkan kebijakan atau keputusan “pukul rata” terhadap siswanya.
Setiap individu memiliki ke-khasan atau karakteristik yang berbeda. Setelah menjumpai suatu nama yang berbeda, apabila kita mengenal seseorang akan semakin kita temukan perbedaan ketimbang persamaan seseorang dengan yang lainnya.
Ketika saya sangat dikenal oleh guru saya, saya merasa nyaman karena keputusan yang diambil oleh guru saya berdasarkan karakteristik saya. Dan daya mengenal yang sangat baik dimiliki oleh guru saya ketika di sekolah dasar dulu.
Seorang guru apabila telah sangat mengenal muridnya tidak akan tega menerapkan kebijakan pukul rata. Ia sangat sadar bahwa dari 30 siswanya tentu ada 30 nama.
Kembali pada soal rindu saya, rindu yang dirasakan seorang penumpang gerbong yang berencana lepas landas untuk menuju World Class University. Lalu apa hubungan antara ambisi WCU dan rindu?
Sebenarnya kerinduan ini adalah kerinduan seorang manusia –yang sedang berstatus mahasiswa- terhadap proses yang tidak mereduksi dirinya menjadi angka. Sedang World Class University adalah mengenai akreditasi, dan akreditasi ialah mengenai angka-angka. Setiap unsur yang akan dinilai dalam akreditasi akan di skalakan dengan poin-poin. Lalu teciptalah data-data di dalam tabel. Angka-angka itu dihitung-hitung lalu muncullah skala yang akan menentukan pantas tidaknya untuk meraih predikat World Class University.
-         Lalu apa salahnya dan apa masalahnya?
-         Tidak ada yang salah dan tidak masalah! Hanya saja saya sedang dirundung rindu.
-         Lalu kenapa kau kaitkan dengan kampus kita yang sedang bersemangat untuk meraih predikat WCU?
-         Karena saya percaya bahwasanya segalanya terkait meski terkadang berada di dalam tataran subjektiv.
-         Jadi tulisan ini mengada-ada!
-         Ya tulisan ini memang mengada-ada tapi nyatanya tulisan ini ada. Ada di dalam deretan angka NIM saya, meskipun tidak sedikitpun mampu merubah satu angkapun. Karena angka-angka yang selalu mewakili nilai saya itu tidak bertelinga dan tidak mampu berbicara, ia hanya bisa menjadi bagian dari rumus matematika. Tapi nyatanya ialah yang selalu mewakili saya di gerbong yang siap lepas landas menuju World Class University ini.
-         Ah, kamu !
-         Ya! Ah saya! Saya yang hanya seperti ini ingin berpesan kepada sebuah institusi besar dan terhormat. “Terbanglah tinggi-setingginya, raihlah World Class University atau bahkan Galaksi Bima Sakti Class University ! Terbanglah tapi jangan tinggalkan di landasan nama-nama di balik angka-angka itu.”
Kemudian saya pun terbang pada peristiwa di mana saya menyanyikan Hymne Guru ketika acara perpisahan SD. Saya menahan tangis karena malu dianggap cengeng oleh teman-teman yang juga sedang berusaha keras menahan tangis.
 10 Juni 2016


Monday, 6 June 2016

Sudah berapa kata saja yang disalahartikan ? (Bagus Prakoso)

“ Kamu itu nganggur, pengangguran, tidak punya pekerjaan,penghasilan, menganggur”

“ Hlo kan sudah kukatakan aku itu sedang…”

“ Alaaah ! nganggur  ya nganggur, jangan suka bersembunyi dibalik filsafatmu atas nganggurmu…”

Slamet yang sedang berusaha menjelaskan kepada seorang karibnya, bahwa Ia bukanlah seorang penganggur, karena Slamet tengah berjuang untuk mengembangkan hasil pikirannya. Mengembangkan dari apa yang telah Ia rencanakan cukup lama di dalam benaknya atas hasil per-kuliahan yang telah Ia tempuh sebelumnya.

Slamet yang seorang sarjana pertanian memiliki wacana akan mengembangkan pertanian yang selama ini kurang mengalami kemajuan yang begitu berarti. Di rumahnya, Ia dan beberapa kawannya terus melakukan sebuah pengujian terhadap wacana-wacana yang selama ini hanya di kepalanya saja.

Memang, saat Slamet sedang melakukan sebuah pengujian terhadap wacana-wacananya tersebut Ia selalu mengeluarkan biayaya daripada menghasilkan laba, tetapi Slamet sedang mengerjakan sesuatu. Ia sedang laku, mengubah sebuah pengetahuan menjadi sebuah ilmu, membuktikan pikiran-pikirannya dengan tindakan, mengubah mimpi menjadi sebuah peristiwa, mengubah ke-tidak mungkinan menjadi mungkin.

Tapi tiba-tiba Ia di dakwa oleh seorang karibnya, bahwa Ia nganggur, tidak punya pekerjaan, Ia di takut-takuti dengan tahayul masa modern, bahwa setiap yang telah lulus dari jenjang pendidikannya wajib bekerja, wajib menerima gaji, wajib memiliki atasan. Kalau tidak memenuhi standar-standar tersebut, maka akan di cap sebagai penganggur, tidak menyumbang apapun dalam kemajuan sebuah Negara, tidak mau berusaha, bodoh, tolol, pemalas, dan segala kata-kata apa saja yang kemudian memungkinkan akan sangat menyakitkan seseorang yang dicap sebagai penganggur tersebut.

Celaka nasib Slamet, Ia hidup disebuah Negara yang segala kata-kata sudah dimanipulasi, sudah dijadikan tunggangan-tunggangan atas sebuah kepentingan golongan yang lebih besar. Negara dimana para pemudanya sudah malas memahami makna dari sebuah kalimat, kok kalimat, dari sebuah kata saja sudah malas !! Ya, begitulah adanya, seorang yang dikatakan bekerja adalah yang telah mendapatkan sejumlah uang, mempunyai posisi di dalam sebuah perusahaan. Sedang orang-orang seperti Slamet, yang sedang berjuang, dikata sebagai seorang pengganggur, pemalas, tidak memiliki daya saing di era yang serba maju ini.

Kata ‘bekerja’ telah disalahpahami dengan ‘mencari uang’ , sedang bekerja tataran nilainya sangat berbeda dengan ‘mencari uang’. Bekerja adalah melakukan suatu yang bermanfaat bagi orang lain, dan memiliki nilai guna untuk orang banyak akan menghasilkan sejumlah uang tergantung seberapa besar pekerjaan itu berdampak. Maka uang adalah bonus dari apa yang telah dikerjakan, sedang mencari uang belum tentu melakukan sebuah pekerjaan, mencari uang adalah bagaimana dapat memperoleh uang, dengan cara apa saja, dengan metode seperti apa saja. Tentu, mencopet, menjambret, maling, juga merupakan mencari uang.

Celaka, satu kata yang disalahfahami akan berdampak mengerikan terhadap kondisi psikologi tiap individu, bagaimana tidak, kalau berjuang saja dikatakan sebagai seorang penganggur yang malas, maka pikiran telah dimatikan secara perlahan, dan ketika pikiran telah mati maka manusia akan hanya menjadi robot-robot dari tangan-tangan besar.

Dan coba renungkan sudah berapa banyak kata yang telah disalahfahami hingga hari ini ? berapa ? 1 ? 10 ? 100 ? 1000 ? 10.000 ? ……

Klaten, 6 Juni 2016.


Saturday, 4 June 2016

Telah Lahir Ekalaya di TK Ar-Rohmah (Idnas Aral)

          Ekalaya adalah salah satu tokoh di cerita Mahabarata. Keahlian memanahnya lebih hebat dari Arjuna. Padahal cara belajarnya hanya dengan melihat latihan memanahnya Arjuna yang diajar oleh Guru Durna. Setelah melihat latihan Arjuna, Ekalaya kemudian berlatih sendiri dengan patung. Dengan cara berlatih seperti itu, ia memiliki kemampuan memanah yang lebih hebat dibanding dengan Arjuna.

          Saya kembali teringat kisah itu, ketika Bu Dwi (guru dari si anak) datang menceritakan perihal Nino yang mengajari dan menyutradarai teman-teman sekelasnya bermain Teater. Nino yang baru saya tahu dari cerita Bu Dwi ternyata adalah salah satu anak yang selalu memperhatikan ketika saya melatih teater di halaman rumah saya. Dari melihat latihan itu, Nino merekam, menafsir, lalu menuangkan kepada teman-temannya.
          Tanpa disadari oleh si anak, ia telah mempraktikkan proses kreatif pertunjukan teater, yang mungkin tidak bisa dilakukan oleh anak-anak yang berlatih langsung dengan saya, atau bahkan anak dewasa sekalipun. Dan tentunya keberhasilan itu tidak akan tercipta tanpa dukungan teman-teman Nino yang turut serta menggarap pertujukan tersebut. Mereka telah menunjukkan kemampuan berorganisasi, yang tidak semua orang mampu dan mau, karena kecenderungan yang berkembang saat ini adalah sikap individualis.  
Maka melalui tulisan ini saya ingin mengungkapkan kekaguman dan kebanggaan saya kepada anak-anak yang telah menggarap karya saya yang berjudul “Dedolanan”  --yang baru saya tahu ketika diberitahu oleh Bu Dwi.
Di tengah gempuran arus informasi televisi dan dunia maya, ternyata kemurnian masih dimiliki anak-anak TK. Maka, saya semakin yakin bahwasanya akan kembali lahir pemimpin-pemimpin besar seperti Soekarno, Hata, Syahrir, pula seperti Mahatma Gandhi di India. 
Oleh sebab itu, ketika saya diminta untuk menonton lalu memperbaiki pertunjukan itu oleh Bu Dwi, saya menolak karena saya tidak lebih hebat dari mereka. Di usia mereka yang dini, mereka telah menunjukkan karakter dan bibit-bibit kepemimpinan tanpa mereka sadari. Maka adalah tugas kita, para pendidik, entah guru atau orang tua untuk mengembangkan karakter tersebut.
Peristiwa ini adalah fenomena manusiawi di tengah narasi besar reduksi kemanusiaan. Sebab sedang maraknya pendidikan karakter yang justru lebih mengindikasikan penyeragaman karakter. Seringkali membuat saya bertanya-tanya, kita ini dididik untuk menjadi apa? Karena hanya kepatuhan, kepatuhan, dan kepatuhan yang terus ditanamkan.
Kepatuhan memang sangat diperlukan dalam proses pendidikan, tetapi bukanlah satu-satunya asas yang harus dipenuhi. Bukan pula merupakan sebuah lawan dari sikap kritis, yang artinya kepatuhan bisa disertai dengan sikap kritis. Karena tanpa adanya pendidikan sikap kritis untuk para generasi muda, muskil akan ada perubahan untuk Indonesia yang seperti “ini”.
  Apa yang dilakukan oleh Nino dan kawan-kawannya adalah pembuktian bahwa bibit-bibit manusia berkarakter yang akan memimpin bangsa masih ada. Pemimpin-pemimpin berkarakter akan kembali hadir menggantikan para pemimpin-pemimpin yang hanya menjadi objek jaman.
Tetapi semua harapan besar itu muskil terealisasikan tanpa kesadaran para pendidik untuk mengolah bibit-bibit unggul. Para pendidik harus senantiasa menjadi tanah yang “organik”, yang juga tidak tergantung oleh racun-racun jaman edan. Dari situlah bibit-bibit semacam Nino akan tumbuh untuk menyelesaikan krisis kepemimpinan di negeri ini.
Fenomena Ekalaya yang saya temui ini hanyalah satu di antara sekian fenomena bibit kepemimpinan. Nino hanyalah salah satu anak yang telah menunjukkan kualitasnya secara murni. Saya percaya ada berjuta tersebar di seantero nusantara. Jika jutaan bibit itu tidak lahir satu pemimin-pun, maka kita wajib mengutuki diri sendiri.
Demikian tulisan dan harapan saya. Semoga di jenjang pendidikan berikutnya mereka akan mendapatkan tempat yang dapat mengembangkan bakat-bakat kepemimpinan mereka. Karena untuk Indonesia ke depan, merekalah yang akan memimpin. Lahir atau tidaknya seorang pemimpin adalah tanggung jawab kita bersama.

Wednesday, 1 June 2016

Perempuan Berkalung Sampur (Mas Bei)



Seperangkat gamelan yang tidak lengkap jumlahnya telah dibunyikan,suara rebab menyayat telinga, samar terdengar mengawali repertoar lagu pembuka pertunjukan.Kau mulai menari, bergerak mengikuti irama yang lambat mengalun,membawa tungku kecil dengan bara arang yang membakar kemenyan,asapnya membumbung tinggi keangkasa, menimbulkan aroma khas yang magis.Kau terus menari ditengah panggung pertunjukan hingga asap kemenyan mereda,beberapa saat  seiring repertoar lagu sampai pada akhir kalimat.Lalu pementasan sebuah naskah dimulai.
Di awal adegan kau melantunkan tembang macapat,tentang permohonan dan doa kepada Tuhan pencipta dunia seisinya.(catatan pentas naskah “Lelayu” dikampung Dawan, Karanganyar, 23 Agustus 2014)

            Sore itu, pertengahan bulan Oktober 2013, musim penghujan mulai tiba. Sinar matahari tidak terlalu menyengat, mendung mulai datang dari arah utara langit kota Surakarta, sebagian berhenti tepat diatas sebuah bangunan pendhopo, tempat dimana kami hendak mengadakan latihan. Hari itu ada yang berbeda, gamelan sudah tertata rapi, tampak beberapa orang menunggu rekan yang lain, ada yang tiduran, minum kopi, merokok dan ada yang tertawa sangat keras. Sementara di tengah pendhopo tampak beberapa perempuan berusia belasan berlatih menari dengan iringan kaset pita. Kau salah satunya diantara mereka yang menari. Sore itu jadi kali pertama aku melihatmu. Lalu aku sandarkan punggung disalah satu pilar, mengubah posisi duduk menghadap kebarat, mulai melakukan hobi mengamati dan “meneliti” perempuan secara sembunyi-sembunyi, meski sangat jarang berakhir dengan menawarkan diri untuk berkenalan, karena bagiku adalah hal yang sangat tabu menanyakan nama secara langsung kepada wanita. Beberapa saat berlalu terdengar iringan hampir selesai, gerak mereka melambat mengikuti irama hingga akhir ketukan. Rambutmu lurus panjang hingga dibawah pinggul, jatuh terurai ketika kau lepas tali pengikatnya, bergerak pelan kekanan-kiri mengikuti langkah kakimu. Setelah itu kau duduk bersama teman-temanmu tidak jauh dari tempatku menyandarkan punggung. Aku lihat kau tampak senang, bercanda, tertawa, sesekali  tersenyum lebar dengan sampur mengalung ditengkukmu. Hingga hari-hari berikutnya, meski tanpa tahu siapa namamu, pemandangan yang sama tidak pernah ku lewatkan.
Tidak lama setelah itu akhirnya kita saling mengenal, tapi tidak pernah berbicara lama. Beberapa bulan usai “proyek-proyek” pementasan itu berlalu, berakhir pula kegiatan “mengamati dan meneliti” karena semua kembali pada kegiatan masing-masing, sementara kami memutuskan untuk tidak lagi melibatkan diri pada “proyek-proyek” selanjutnya karena suatu alasan. Ketika itu kelompok teater kami akan memulai proses naskah baru. Rombongan kesenian yang memutuskan untuk berpentas dikampung-kampung bukan digedung kesenian, tidak pernah meminta atau menerima bayaran, sengaja mendatangi masyarakat umum untuk menyampaikan setiap wacana dan gagasan melalui pementasan. Saat itu kami kekurangan pemain wanita. Awalnya atas dasar subyektifitas perasaan pribadi, dengan alasan logat Jawa-nya yang masih murni, aku segera mengusulkan untuk mengajaknya bergabung, kebetulan salah seorang teman memiliki pandangan yang sama, “dialog Jawa-ne entuk, pas dadi tokoh iki, dijak melu wae”. Akhirnya tawaran ku sampaikan dan dia bersedia untuk bergabung.

                Dalam berproses kami percaya bahwa energi positif harus selalu dimunculkan. Salah satu orang saja turun semangatnya dapat mempengaruhi rekan yang lain. Setiap orang yang berminat boleh ikut, tidak ada honor atau uang transport. Istilah profesionalitas tidak ada dalam kamus kelompok kami, karena kami tidak bergerak sebagai penjual jasa kesenian, dan istilah tersebut lebih sering digunakan oleh orang-orang "proyek", sedangkan kami lebih sering memakai istilah komitmen, bagaimana kita mencoba sebaik mungkin ingat pada janji diawal rencana, sebelum memulai suatu proses, baik itu jangka panjang maupun pendek yang berkaitan dengan arah tujuan kelompok. Latihan berjalan dua bulan, babak demi babak telah selesai, tiba saatnya mencari tempat pementasan. Akhirnya hingga empat kali naskah "Lelayu" dipentaskan ditempat berbeda.

               Hadirmu memberi warna tersendiri bagi kelompok kami, perbedaan usia, tingkat pendidikan dan terbatasnya waktu tidak jadi soal, kau tetap mengikuti setiap jadwal latihan kami dengan kesungguhan hati, meski jadwal sekolah dan kegiatanmu ditempat lain tergolong cukup menyita waktu. Tidak pernah tampak beban diwajahmu mengikuti latihan kami, sesekali air matamu pernah menetes, ketika gerbang pintu tempatmu tinggal sudah terkunci, karena kami terlambat beberapa menit untuk mengantarmu pulang. Selebihnya kau selalu tampak ceria dan bersemangat disetiap perjumpaan.

               Ada pertemuan pasti ada perpisahan, begitu kiranya pepatah lama yang pernah ada di buku pelajaran bahasa Indonesia sekolah dasar. Telah habis masa belajarmu di kota ini. Kau lanjutkan pendidikan tinggi di kota lain. Kebersamaan singkat tapi amat membekas. Mengenal mu membuat aku tahu, bahwa di dalam proses berkesenian ada satu pelajaran lagi, di mana kita dapat mencintai siapa pun tanpa harus mengikatnya, karena ada yang lebih indah dari keinginan memiliki, yaitu dapat menyayangi dan bekerja sama untuk sebuah proses berkarya hingga pementasan tiba. Sebagaimana bunyi mengiringi gerak, rasa kagum, sayang dan rindu itu ada tapi tidak nampak wujudnya, seperti bait-bait nada yang berbicara dengan caranya.

           Kini diantara pamflet pementasan kelompok-kelompok kesenian program kerja, yang ditempel diberbagai sudut, yang kejar setoran sebelum bulan ramadhan, kami merindukanmu, mengenang keberadaanmu, sebagai bagian dari perjalanan kelompok teater kami dan pasti selalu “hadir” ketika kerja ginjal lebih cepat dari biasanya. Maka terus menarilah, mengikuti nada hati dan irama detak jantungmu, tanpa terpengaruh irama jaman dan nada modernisasi yang diciptakan atas nama industri, menyeret kita jauh meninggalkan nilai tradisi. Pada suatu hari nanti, walau mungkin tidak bersama kami, semoga kau akan kembali, mendatangi kampung-kampung, menebarkan pengetahuan tentang seni tradisi, kepada anak-anak yang lahir dan tumbuh tercemari sihir televisi, agar mereka tidak terlalu jauh tenggelam ditelan arus jaman.