Tuesday, 23 August 2016

Belajar Dagang dari Negeri Pedagang (ZB Wibhawa)

“Sementara kita disibukkan pencarian benda yang tiada habis yang bernama uang, manusia lain sudah mencoba meninggalkan kenyataan dan mencapai bintang di angkasa raya.”
Sore ini ada sebuah berita spektakuler disiarkan di salah satu stasiun TV yang dikelola pemerintah. Mereka menayangkannya hampir satu jam penuh lamanya. Entah bermaksud untuk apa atau bagaimana, yang jelas siaran tersebut sangat provokatif. Kata provokatif mungkin terdengar dahsyat dan berlebihan, namun tiada kata lain dalam Kamus Besar Bahasa Indoenisa yang pantas selain kata terbesut.
Mereka yang ada di dalam layar kaca mengajak kita untuk berdagang. Bukan sembarang perdagangan, namun perdagangan yang akan menghasilkan keuntungan berlipat. Siapa yang tiada tergiur apabila diiming-imingi dengan keuntungan yang berlipat dalam waktu yang singkat. Di zaman yang serba instan, semua yang praktis seakan menjadi pilihan pertama dan utama untuk dicatatkan dalam daftar paling atas prioritas pekerjaan.
Perdagangan yang kita bicarakan di sini berupa perdagangan yang melibatkan negara lain atau sering disebut impor. Kejadian impor sudah tidak terdengar asing di telinga masyarakat Indonesia terlebih para pedagang dan koleganya yang banyak menjadikan sebagai kegiatan utama. Perdagangan yang dimaksud yakni dengan mendatangkan barang dari luar negeri untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Merupakan salah satu upaya yang paling mudah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kekinian yang serba praktis. Cukup memberikan sejumlah uang dan seketika barang yang dibutuhkan sudah ada di depan mata.
Prinsip ekonomi menjadi landasan dalam pelaksanaan perdagangan impor. “Pengorbanan seminimal mungkin untuk memperolah keuntungan yang semaksimal mungkin.” Penerapan hal demikian tentu akan mendatangkan keuntungan yang berlipat untuk pedagang yang melakukan prinsip tersebut. Dan sangat wajar kalau seharusnya banyak orang yang tertarik dalam model perdagangan tersebut.
Dalam kontekls ini, proses impor dimulai dengan mendatangkan barang dari luar negeri untuk kemudian dijual kembali ke Indonesia. Tawaran yang diberikan tidak tanggung-tanggung. katakanlah kita menjual septong baju, apabila kita menjual barang dari dalam negeri ke pasar dalam negeri kita harus menjual dengan harga kurang lebih Rp.30.000,00 dan menadapat keuntungan apabila kita menjual dengan harga Rp.31.000,00. Dengan impor kita dapat mendatangkan sepotong baju hanya dengan Rp.12.000,00 lalu dengan harga Rp.25.000,00, keuntungan yang kita dapatkan tentu akan menjadi dua kali lipat lebih banyak. Tidak hanya itu, harga jual yang masih dibawah harga pasar atau bisa dikata terlampau murah apabila dibandingkan produk dalam negeri membuat barang impor akan menjadi magnet para pembeli. sangat menarik!
Perdagangan impor menjadi jalan utama bila anda bermental dagang dengan modal yang tidak terlalu besar. Namun apalah harga keuntungan yang berlipat apabila bangsa kita yang menjadi korban. Kebangsaan bukan hal utama yang menadji pertimbangan apabila seseorang hendak melakukan kegiatan perdagangan. Akan tetapi, kita akan menemukan sisi lain permasalahan apabila kita melibatkan rasa kebangsaan sebagai salah satu pertimbangan untuk mengetahui secara cermat dampak positif maupun negatif yang akan menyertainya.
Beredarnya barang dengan harga murah tentu menjadi sasaran utama para pencari kebutuhan pengguna prinsip ekonomi. Apabila dengan harga yang sama atau mungkin lebih rendah kita mendapati kualitas internasional, sudah pasti barang tersebut akan menjadi buruan. 
Kita akan sedikit mengulang perhitungan yang sudah tercantum di awal dimana kita hendak menjual barang dalam negeri dengan harga Rp.31.000,00 dan menjual barang impor dengan harga Rp.25.000,00. Harga yang murah akan membuat produk asing menjadi juara diperebutan pasar Indonesia. Kejadian tersebut pasar asing akan semakin maju dengan penjualan yang melesat jauh melebihi produk pasar dalam negeri.
Lantas bagaimana dengan nasib produsen dalam negeri yang harus menjual dengan harga Rp.31.000,00. Kondisi kalah saing dengan pasar asing melahirkan kemungkinan yakni mereka akan merugi karena tidak mampu mencapai keuntungan. Harga produksi yang lebih tinggi apabila dibanding produk asing menjadikan produk dalam negeri gulung tikar dalam hitungan bulan atau tahun .
Tidak berhenti sampai di sana, lalu bagaimana nasib negara yang kita impor. Sudah jelas, mereka akan menjadi semakin kuat dengan wilayah pemasaran yang semakin luas. terlebih dengan kecederungan akan kebutuhan yang terus meningkat, maka akan terbentuk suatu ketergantungan pasar yang semakin berdampak pada peningkatan jumlah impor.
Apabila demikian lantas bagaimana?                                                                    
Apabila kita melihat pasar dunia, sangat bisa dipastikan negara kita akan menjadi negara yang kalah saing dibanding negara yang sudah lebih banyak memiliki modal. Untuk sepuluh sampai dua puluh tahun kedepan, bukan hal yang mustahil jika di kemudian hari para rakyat akan tercekik kebutuhan yang semakin melambung. Dimulai dari para buruh dalam negeri yang di-PKH lantaran pabrik dalam negeri yang tak tak mampu lagi bersaing.
Tidak selesai sampai di sana, derita masih dilanjutkan dengan buruh menegah perusahaan asing yang hanya memilikii penghasilan pas-pasan untuk kehidupan berkeluarga. Ketidakmampuan menghadapi tuntutan kemajuan zaman yang serba canggih akan menjadi salah satu akhir ironi dimana penggantian dengan SDM dari luar yang dianggap lebih ahli akan terjadi. Puncak kehilangan yang paling parah yakni kehilangan hak atas tanah mereka sendiri karena ketidakmampuan mencukupi kebutuhan sandang pangan yang secara masif merujuk ketergantungan pada bangsa lain.

Bukan bermaksud melawan propaganda dengan propaganda lain. Karena akan menjadi lebih buruk apabila api dilawan dengan api, kebakaran yang makin dahsyat hanya akan melahap hutan dan menyisakan abu. Kami hanya mengambil secuil kisah untuk dibagi dan ditelaah bersama.

Sunday, 14 August 2016

Mas Bei menantang hujan di Klodran.


Klodran, 16 Juli 2016. Tepat pukul 18.45, hujan turun rintik, para pemain sedang melakukan make up, dan para awak pementasan lain sedang santai menyeduh kopi, merokok, omongan ngalor ngidul, nguwang abab. Turunnya hujan bukan menjadi hal pertama kali bagi kami (Teater Sandilara) dalam melakoni sebuah prosesi pementasan, dan bukan pertama kali pula kami tanpa mempersiapkan rencana “kalau turun hujan” , meski panik, hari itu kami selalu percaya, bahwa hujan adalah baik, karena toh hujan sangat ditunggu oleh petani, dan ribuan orang yang sangat membutuhkan hujan yang akhirnya akan meresap ke tanah, dan di butuhkan untuk berbagai kebutuhan orang banyak.

Maka, meski dengan sedikit gugup, kami terus percaya bahwa Tuhan selalu bermaksut baik dalam tiap-tiap peristiwa yang terjadi. Sembari menunggu para pemain siap dengan dandannya Mas Bei duduk di tengah jalan, menatap langit dan merasakan hujan, “menantang hujan” katanya, tapi bukan menantang dalam arti adalah berani, melainkan adalah cara meminta dengan metode lain, cara menundukan diri dengan maksut yang sama, meminta kemurahan Tuhan, bahwa memang kalau hujan harus turun, biarlah turun, kalau memang harus deras ya deras saja, kami tak ingin mendikte Tuhan barang sedikitpun. Tapi yang kami minta adalah, kebahagiaan, keceriaan, manfaat, yang semoga melingkupi pentas yang akan dan harus terjadi pada malam itu, karena kami telah menyanggupi akan berpentas pada malam itu, jadi toh kami yakin Tuhan tidak akan mengecewakan penonton pada malam itu, meski harus turun hujan dan bahkan badai. Kami percaya, bahwa di balik maksut baik akan terjadi hal baik.

Dan terpaksa hujan harus reda, tinggal sisa basah di jalan, tentunya bukan karena Mas Bei, tapi Tuhan ingin berhenti, ya berhenti. Yang dipahami Mas Bei sebagai, bahwa memang harus turun hujan, agar hawa kembali segar, agar jalan tidak penuh dengan debu, agar kalau-kalau ada angin yang cukup besar, penonton tidak kelilipen matanya oleh debu jalanan, agar tidak sumuk. Begitulah Mas Bei memaknai turunya hujan, sebagai berkah untuk pementasan kami pada malam itu.

Para penonton pun mulai berdatangan dari berbagai arah, anak-anak tidak mau tertinggal berada di garda terdepan untuk ikut menjadi saksi atas pementasan kami pada malam itu, beberapa lain asik diatas motornya, menggendong anak sambil menyuapi camilan, sudah macam pasar malam atau wayangan saja. Ada dua penjual kaki lima yang hadir, ikut meramaikan pementasan kami, anak-anak mengerubungi, asik jajan. Syukur, kalau hadirnya kami juga berarti rezeki bagai pihak lain, kami turut bahagia.

Para pemain mulai hadir pada posisi masing-masing. Suara Gamelan dari kelompok “Kurawa” mulai bertalu-talu, tanda akan di mulai pementasan, tanpa dikomando, penonton sudah faham, bahwa pementasan akan segera dimulai. Adegan pertama dimulai, diikuti adengan lain, adegan demi adegan dilewati, dalam setiap adegan muncul gelak tawa, celotehan penonton menanggapi para pemain, pemain dengan sedikit ragu dan malu mulai ikut panas, memunculkan improvisasi-improvisasi, mencoba mesra dan komunikatif dengan penonton.

Itu hal yang cukup baru yang dilakukan oleh kami, mulai menanggapi apa yang dicelotehkan penonton, mulai berinteraksi dengan penonton, mulai melibatkan penonton dalam pementasan. Yang dirasa kurang patut kalau dipraktekkan di kalangan akademisi, di gedung-gedung kesenian yang sewajarnya, tapi, mau tidak mau, di dalam dusun, pementasan teater tak ubahnya adalah ketoprak, adalah ludruk, yang aktor-aktornya harus pandai ber-improvisasi, ber-mesra-an dengan penonton, itu akan terlihat menarik, sama kalau di dalam ruang pertunjukan resmi, artistik yang luar biasa, dan musik yang “bersih” adalah sangat menarik, sama saja, keduanya adalah selara, dan selara ? ah tak tau kami siapa yang membimbing selera tersebut. Yang pasti, kami akan mencoba lentur, seperti air, yang akan ikut dalam setiap wadah yang kami tempati, dan yang semoga kami tidak lupa bahwa kami adalah air, kami adalah sebuah kelompok seni tetaer, tetap dalam idiom-idiom yang kami rasa ideal dalam proses pengerjaan sebuah pementasan, tidak melupakan penonton dan semoga kami pula tidak melupakan disiplin berkesenian yang ideal bagi kami.

Pementasan berakhir, tukang ketik naskah, 
sekaligus pembawa acara, mulai memperkenalkan satu persatu para yang terlibat dalam pementasan tersebut, dan syukur, para tukan foto dan video pun tidak lupa diperkenalkan. Dengan iming-iming pembagian stiker para anak kecil pun diundang maju ke depan, ditanyai mulai dari siapa para pamain yang baru saja berkenalan, siapa kami, apa judul naskah yang kami mainkan, dan syukur, kalau banyak dari mereka yang tidak ingat, lupa, salah dan ngawur, tetap dibagi stiker, karena salah adalah jalan menuju benar, dan ngawur adalah awal dari keberanian untuk merdeka, tapi setidaknya para bocah itu tau kalau salah, besok siapa tau benar, toh benar salah juga setipis rambut dibagi tujuh. Yang terpenting mereka sudah berani, dan mereka tidak ngamuk kalau dipersalahkan, itu sudah lumayan. Dan tanpa kami sangka, yang tidak berani maju ke panggung, yang malu, yang tidak punya kesempatan, setelah selesai mereka berebut stiker yang kami bawa, kami kaget dan bahagia, kami gembira, kalau di-rupiahkan tidak seberapa, tapi antusiasme meraka benar -benar tak kami sangka, sampai pada akhirnya ada seorang anak yang paling malu, diantar Ibunya mendatangi salah satu dari kami, anaknya kepingin stiker dan belum dapat, ah betapa bodohnya kami, betapa malunya kami, bahwa stiker itu habis, betapa pandirnya kami yang menyangka bahwa stiker itu tidak akan selaris pada malam itu. Anak itu lumayan kecewa, dan kami sangat kecewa, karena tidak dapat memenuhi permintaan yang begitu sederhana, beberapa lembar stiker.

Setelahnya kami melakukan ritual biasa, usung-usung, mengepak barang, gamelan, tata lampu dan setting panggung. Dan ada yang berucap “hari ini nampak berbeda, ada energi lain lagi yang hadir” begitu kata salah seorang pemain.  Memang selalu ada hal baru setiap pementasan yang terjadi, meski dengan naskah yang sama, tapi pasti tiap tempatnya membawa cerita lain lagi, membawa rindu lagi, membawa kenangan yang berbeda lagi. Mungkin, yang berbeda pada malam itu ialah bahwa para pemain mulai sadar kehadiran penonton, mulai menganggap penonton adalah juga bagian dari pementasan, mulai berinteraksi dengan penonton, meski dengan ragu-ragu dan malu. Namun, malam itu adalah sebuah pertanda bahwa kami terus belajar dan belajar, oleh adanya kemungkinan baru, oleh adanya peristiwa baru dan kejutan-kejutan baru yang hadir pada setiap pementasan. Meski malam itu kami sedikit kaku dan malu memulai interaksi dengan penonton, dan belum seluwes teater pendahulu-pendahulu kami yang berpentas pula di dusun-dusun, kami akan terus belajar dan mencoba, untuk menjadikan setiap pertunjukan kami adalah sebuah peristiwa, adalah sebuah kehadiran. Bukan sekedar ada, tapi hadir sebagai sesama manusia, sedulur, yang mencoba nyawiji dengan penonton.

Begitulah malam itu, mesra, permulaan baru lagi, kemungkinan baru lagi. Semoga kami masih terus memiliki kesempatan untuk membenahi apa yang kami rasa kurang dalam setiap pementasan. Semoga, kami hanya mampu semoga, dan kalian para pembacalah yang akan menjadikan nyata atas semoga ini.

Terimakasih telah membaca sampai akhir !!





Monday, 8 August 2016

Tips dan Trik untuk adu domba (10 menit langsung bisa) -Bagus Prakoso


Anda culas, rakus, pemakan segala, tidak pernah merasa puas, maruk, gila harta, tahta,  tidak punya hati, merasa senang dengan orang yang bermusuhan, dan akan mengambil untung dari segala kekacauan yang terjadi ? Jika semuanya itu adalah anda, atau paling tidak setengahnya, maka anda sangat beruntung jika membaca tulisan saya, karena saya akan memberikan tips dan trik yang ampuh untuk mengadu domba, yang nantinya akan berdampak kekacuan dan anda akan dapat mengambil untung dari segala apa yang terjadi atas kekacuan tersebut. Mari simak, berikut tips dan trik nya :

Mula-mula yang harus anda siapkan adalah, dana, uang, kucuran dana ini amat penting untung kegiatan adu domba anda nantinya.  Jumlahnya… ya tergantung target yang ingin anda capai, jika dalam skala besar, dalam lingkup besar, maka uang yang harus anda siapkan pula cukup besar, dan saya sarankan anda jangan sendiri, bentuk sebuah kelompok, yang fungsinya juga akan mengucurkan dana untuk anda. Anda tawarkan saja, jika adu domba tersebut berhasil maka anda para donatur akan mendapatkan keuntungan juga dari keributan yang akan terjadi.

Yang kedua, setelah asupan dana dirasa telah cukup, maka bentuklah minimal dua kelompok dibawah kendali anda, tapi jangan sampai anda sendiri yang turun tangan untuk membentuk kelompok-kelompok tersebut, cari orang lain lagi, sebisa mungkin rahasiakan identitas anda dari kelompok-kelompok yang anda bentuk tersebut.

Ketiga, kedua kelompok tersebut, atau lebih tanamkan idologi yang bertolak belakang, contoh, kelompok pertama menyukai cabai, dan kelompok kedua menyukai bayam. Jangan lupa, buat keduanya sangat fanatik baik terhadap cabai maupun bayam. Hingga pada akhirnya kelompok cabai menyalahkan bayam, dan pula sebaliknya. Biarkan mereka saling menuduh satu sama lainnya. Berikan pengertian ke kelompok cabai bahwa bayam itu tidak bermanfaat, makar, harus ditumpas, dan sebaliknya. Maka dengan sendirinya mereka akan saling berbenturan satu sama lainnya, saling ngotot satu sama lainya, sampai-sampai mereka kehilangan akal untuk berfikir bahwa ada kemungkinan untuk berdamai dan saling mengerti satu sama lainnya. Dan mereka akan pula lupa bahwa mereka adalah sesama manusia, mereka akan lupa bahwa mereka adalah satu bangsa, suku, dan ras, dan kesibukan mereka adalah hanya untuk menyalahkan satu sama lainya.

Dan yang terakhir, untuk mempermanis itu semua, baiknya anda mempunyai sebuah media, baik cetak maupun elektronik, untuk menayangkan perkelahian mereka, debat, tulisan yang jelasnya akan saling serang satu dengan lainnya. Maka anda akan mendapat keuntungan lain lagi, orang-orang yang berada di luar kelompok yang anda buat, akan melihat, dan akan berasumsi satu sama lainnya, akan pro dan kontra dengan sendirinya, akan berpendapat di media-media sosial yang mereka miliki tanpa anda kelola, mereka akan membantu anda membuat kekacauan yang lebih besar, akan bergabung pada kelompok cabai ataupun kelompok bayam.

DAAAN BOOOOOOOMMMMMM !!! KEKACUAN SKALA BESAR AKAN TERJADI, DAN ANDA AKAN MENIKMATI, BAHWA NYAWA HANYALAH SEBUAH HETUNGAN MATEMATIS SAJA !

Selamat mencoba, semoga anda diberkahi oleh yang maha mencipta !

9 Agustus 2016 

Ladrang Westminster. Slendro Sanga - Keluarga Karawitan Kurawa (SMP Neg...

Friday, 5 August 2016

Teater Sandilara : Masa Bermain !

23 Juli 2016, kembali naskah Mlarat dipentaskan ke 3 kalinya oleh Tetaer Sandilara yang betempat di Desa Dawan, Karangayar. Hari itu merupakan kali ketiga kami (Teater Sandilara) berpentas di tempat tersebut, 3 tahun lalu pentas pertama dengan judul ‘Geng Toilet’ waktu itu hujan turun cukup deras, kira-kira pukul 7 malam, dan baru reda sekitar pukul 8 malam, yang kedua adalah naskah ‘lelayu’ , ada cerita menarik pula, salah satu pemain kehilangan kendali dan set dengan bentuk warung ambruk saat pementasan sedang berjalan, dan akhirnya pemainpun saling berinisiatif untuk improvisasi, pentas berjalan terus, sebagaimana mestinya, penonton tetap saja riang dan gembira.

Namun, pada pentas ke tiga kami, dengan naskah Mlarat, ada hal yang lebih lagi tidak pernah kami sangka dan duga sebelum-belumnya, bermimpipun tidak. Pukul, 19.14 hujan turun rintik, kami menanggapinya dengan kewajaran, meski pula sedikit gugup. Gamelan-gamelan kami tutupi dengan alas sekenanya, agar tidak terkena hujan, kami berteduh, para pemain sedang asyik dengan make-up nya. Beberapa yang lain masih santai saja dengan menghisap rokok, penonton mulai berdatangan, sedikit kagum, hujan turun tapi penonton tetap saja hadir. Kami semakin terbakar.

“Jam 8 kita pentas” ada suara sedemikian, lantas kami siap-siap pada posisi masing-masing, pada tanggungjawab masing-masing. Gamelan di pindah, ditempat yang teduh, penonton bukannya makin surut, tapi makin banyak yang hadir. Hujan turun, tapi api malah semakin menyala, bau menyan semakin menyengat, menteror pemain, para awak pementasan pun juga penonton. Para pemain siap pada posisi masing-masing, sudah macam perdandingan bola, hujan bukan menjadi suatu alasan untuk gagal merumput pada malam itu.

Gamelan dipukul, hujan bukan makin surut malah semakin deras, penonton tidak beranjak ! gila ! Pemain memantapkan diri, satu demi satu adegan terlewati, di bagian tengah, hujan makin deras saja, penonton masih saja tetap tidak beranjak. Ada yang membawa paying, menggunakan alas untuk duduk yang dijadikan tutup kepala untuk beramai-ramai, ada pula yang rela ber-basah kuyup untuk mejadi saksi atas peristiwa kecil kami.

Jangan ditanya keadaan para pemain, mereka basah kuyup, ada satu yang menggigil akibat dingin, tapi, penonton tetap diam, menyaksikan, mereka tertawa, saling lempar omong, bebas. Malam itu sangat romantis khas bocah-bocah kampung, yang suka merayakan hujan, dengan bermain bola, menari, berlari, berteriak. Dan itu kami lakukan pada malam itu, bukan hanya kami pun juga penonton, kami semua seperti kembali ke umur 8 tahun, bebas, tanpa apa saja yang menjadi beban pada pikiran kami. Kami semua benar-benar seperti bocah, seperti kanak-kanak, yang dalam hal ini kanak-kanak adalah tidak terlalu dipusingkan akan berbagai macam hal tetek bengek urusan remeh temeh.

Bagaimana tidak, kami berpentas, di bulan-bulan dengan curah hujan yang pasti akan turun, tanpa adanya tenda, tanpa sewa pawang hujan, tanpa bikin rapat untuk membuat rencana “jika hujan nanti” , kalau hujan ya basah ! Sesederhana itu, tidak rumit, tidak pusing oleh rasa takut yang dimiliki oleh kebanyakan orang dewasa, terlalu banyak berimbang malah tidak bergerak.

Benar ! kami, Teater Sandilara adalah sekumpulan bocah ingusan, kami adalah kanak-kanak, setiap hari kami rasai adalah hari bermain, mencoba,mencoba, berjuang, mencari, terus mencari, sampai kami lelah nanti, sampai tubuh tak mampu lagi menopang jiwa kanak-kanak kami. Kami, Teter Sandilara menolak untuk menjadi dewasa, menolak menjadi penakut, pendendam, mudah marah, terlalu banyak berimbang.

Lihat itu, lihat anak anak kecil desekitar kalian, mereka belajar naik sepeda, jatuh, bahkan ada yang berdarah, menangis sebentar, lalu nekat mencoba naik sepeda lagi, ah gila ! Itu, lihat bocah-bocah itu, mereka berlari berebut layangan, sampai adu jotos di pematang, tapi besok berebut lagi dengan orang yang sama lagi, tapi paginya mereka berboncengan naik sepeda lagi, bersama, ke sekolah. Itu lihat bocah bocah itu, menyukai perempuan, tak dihiraukan, nekat cari perempuan lain, gila !

Biar saja kami akan jaga rasa kanak-kanak kami, kalau keputusan kalian adalah untuk menjadi dewasa, kami tidak akan juga ambil repot, tapi jangan pernah pula ambil repot terhadap masa kanak-kanak kami, karena kami ingin selamanya tertawa, di tengah kesedihan kami, di tengah ketiadaan kami, ditengah rasa cinta kami, di tengah lingkaran di malam hari, dengan dingin yang menusuk, tapi kami rayakan dengan sinar rembulan,  dan dengan tawa yang lepas. Tidak mengada-ada, tidak saling merendahkan untuk menjadi unggul. 

Silahkan saja tuduh kami adalah pelarian-pelarian! Memang, kami tengah lari dari sebuah kepungan norma yang sakit, kami tengah lari dari zaman yang semakin tidak beradab, kami tengah lari dari kejaran-kejaran kapitalisme, konsumerisme, adu domba dalam skala besar, dari ketidaksadaran masal akan nilai leluhur. Kami memang sedang lari hari ini, tapi kami lari untuk kembali, karena jalan yang kami pilih adalah jalan yang melingkar, maka kami sedang berlari untuk kembali, terus seperti itu, kami lari, dan kembali lagi pada masyarakat yang nyata, dan bukan masyarakat “quickount” !


Dan tak lupa, kami ucapkan, terimakasih sang pemimpin semesta alam, aku mencintaimu atas yang mereka kataka petaka malam itu !

Wednesday, 3 August 2016

Cerpen: Impian dan Kepastian (A. Nain)

Langit mendung, kilat bergejolak, dan  nampaknya, hujan akan memuntahkan kepastian!
Hhmm?! Untuk apa harus takut menghadapi sebuah kepastian? Sepertinya aku harus belajar berpura-pura diam hingga akhirnya akan diam tuk selamanya. Kini tiada lagi satu halpun yang kumiliki dan tiada satupun yang musti diperjuangkan, harapan itu kini tinggal sebuah cerita; tentang penantian akan hadirnya kepastian yang telah pasti dan musti dirasakan oleh setiap makhluk yang bernyawa. Kenapa harus takut kehilangan sementara sedari awal kita tak pernah memiliki apa-apa, kenapa harus menyembunyikan dengan seribu dusta bila nantinya segala kebenaran akan terungkap dan justru semakin menyakitkan ketika terbongkar.

Mungkin ini tulisan terakhirku, mungkin juga bisa menjadi yang pertama siapa yang tahu? Lagipula, aku tak memiliki satupun alasan untuk tetap mempertahankan apapun atawa siapapun yang kucintai, tidak sesuatupun. Mungkin, aku ini orang terbodoh yang pernah dilahirkan. Orang bodoh yang melulu mengharapkan kebahagiaan akan hadir dan menjamahku, biarpun aku tahu dan mengerti bahwa mimpi semacam itu hanyalah dusta. Hidup ini terlalu singkat, bila hanya digunakan untuk melakukan hal yang tak berguna lagi membuang-buang waktu. Sementara waktu adalah harta satu-satunya yang kumiliki saat ini. “Aku berada di titik nadir”.

Semua ini seharusnya tak perlu terjadi, buat apa Tuhan menyiksaku dengan berbagai macam hal dan peristiwa yang tak harusnya kuharap dan impikan, karena akhirnya semua hal yang berawal dari ketiadaan akan berakhir kepada ketiadaan, lantas dosa apa yang telah kuperbuat hingga Tuhan menyiksaku dengan umur panjang. Jika boleh meminta, aku akan meminta untuk tak pernah dilahirkan, dan jika boleh memohon aku akan memohon kepastian ini dipercepat datangnya, semua yang berawal dari tiada memang haruslah kembali ke ketiadaan.

Impian, harapan, cita-cita, hanyalah fatamorgana yang begitu menyilaukan, silau dan memabukkan. Hingga terkadang kita lupa bahwa semuanya akan kembali kepada hari yang biasa, aku memang sudah tak memiliki impian apapun saat ini, selain pergi meninggalkan kalian semua dalam kedamaian dan  terlepas dari kedustaan. Yaa, kedustaan yang selalu aku ucapkan, hanya untuk menghibur hatiku, sendirian yang dalam penantian. Kedustaan yang membuatku tersadar tuk melepaskan semua mimpi dan cita-cita, kedustaan yang selalu membuatku bersemangat hanya untuk menciptakan topeng suka cita agar kegundahan dan kegelisahan ini tak mempengaruhi mereka-mereka yang tak tahu menahu tentang diriku. Dan diriku, yang selama ini hanya berada dalam penantian tentang kepastian akan hadirnya ketetapan dari-Nya, ketetapan yang akan membuat mereka kecewa, patah hati, tak bersemangat dan ingin menemaniku selama yang mereka bisa, namun itu semua hanyalah topeng-topeng dari mereka yang ingin menghiburku dalam menanti terbitnya gelap.
Tidak, tentu tidak. Tidak perlu aku melakukan pembunuhan ataupun bunuh diri terhadap diriku sendiri. Sebab, segala kepastian itu sebentar lagi akan datang kepadaku tanpa perlu kukejar. He..he..he.. tawa getir yang membahana dalam jiwaku inilah yang membuatku mengerti. Setidaknya biarpun aku harus pergi, ada beberapa hal yang harus kulakukan sebelum pergi ini jadi realita.

Maka, jadilah aku yang sekarang. Seorang pria yang tak memiliki harapan apapun lagi tentang dunia. Seorang pria, yang tak lagi percaya tentang impian. Pria, yang telah mampu menerima dirinya “seutuhnya” sebelum tak dapat dan takkan sempat mengucapkan perpisahan. Akan kujalani seluruh tanggung jawab ini sebelum pergi, dan mungkin suatu saat nanti. Takkan ada lagi yang akan mengingatku dan mengirimkan karangan bunga ke tempat persinggahanku yang terakhir.

Aku cuma berdo’a ketika kepastian itu datang, aku benar-benarlah sendiri, hingga tak ada satu manusia-pun yang menjadi repot karena pergiku itu, sungguh takkan merubah dunia ini menjadi lebih baik, atawa lebih buruk. Semua kan terasa romantis, indah, biarpun yang ada hanya kesunyian. Sunyi yang membungkamku dalam kegelapan yang abadi. He..he..he.. kunikamti rasa pusing yang teramat dahsyat yang membenamkanku dalam imaji tentang cinta yang romantis, tentang kebahagiaan yang tiada akhir, dan tentang kepastian yang sebentar lagi datang.

Aku tak lagi dapat berpikir tentang cinta ataupun berpengharapan untuk hadirnya, aku juga tak lagi berharap tentang dunia sempurna, yang kelak akan ditinggali kita berdua, sementara kita terduduk melihat anak-anak kita bermain dengan riang, dan menikmati secangkir kopi hitam ataupun teh panas sembari diiringi dengan obrolan-obrolan yang renyah dan menggugah semangat kita untuk tetap bertahan hidup dalam dunia yang pasti, dengan segala ketidakpastiannya.

 Hhmm, iya-iyaa!! mungkin kau memang benar Cukring, “Semua hal di dunia ini akhirnya akan menjadi sesuatu yang lalu!”. Hal yang lalu, yang takkan layak lagi diperbincangkan ataupun dikenang, karena memang tak pantas buat itu. Hanya akan meninggalkan bekas luka dan sakit hati, hanya akan memperburuk keadaan dengan meninggalkan sayatan-sayatan dibatinku, sebab aku telah tak berdaya dan terkalahkan oleh kepastian itu.

Aku telah memiliki rencana, akupun telah memiliki selembar kertas putih dan pena yang akan kutuliskan didalamnya sebuah nama. Yaa, mungkin hanya sebuah nama, nama seseorang yang sangat kucintai untuk saat ini. Namun, apalah dayaku. Aku benar-benar ingin membahagiakannya kendatipun aku hanyalah orang terburuk buat kelangsungan hidupnya, dan bila dia menerima tawaran bodohku, tentulah yang didapatinya hanyalah penyesalan. Penyesalan tiada akhir yang akan membawanya jatuh sakit kemudian menyusul orang-orang macam aku yang telah menerima kedamaian.

Aaargh..! Tak terasa kini pipiku telah basah mengurai lagi segalanya. Segala pengalaman yang menyesakkan, namun telah kupilih tuk kulakukan agar aku tak lagi membuatnya menderita. Keputusasaanku, kuingin mengajaknya membicarakan semuanya, namun selalu tak pernah jadi suatu hal yang baik dan menyenangkan, dia begitu jujur dan bodoh, meski dia tahu kejujurannya hanya akan menambahkan luka didalam hatiku, dia tetap saja akan mengucapkannya, karena dia tak tahu ketakutan macam apa yang menghantuiku dan dengan segera njelma jadi kepastian yang tak lagi dapat dipungkiri dunia ini. Aduuh.. duuh.. [agak merintih], sepertinya sakit kepalaku makin mejadi-jadi dan pandanganku mulai kabur menatap tulisan-tulisan yang sepertinya tidak akan rampung kutulis.

Heei, sebelum aku mendapati kepastian itu bolehkah aku bertanya tentang apa-apa yang harus kuperbuat dan kupersiapkan untuk menerima takdir? Tenang saja, hanya pertanyaan simpel yang takkan membuatmu menjadi sakit kepala macam diriku, pertanyaan Pertama: pantaskah manusia hidup, sementara sepanjang hidupnya hanya akan membuat kerusakan, dan saling menyakiti satu sama lain? Kedua:  Apakah di dunia ini ada sebuah kebahagiaan yang benar-benar membuat seorang manusia merasa bahagia? Ketiga: Dapatkah seorang manusia hidup tanpa mengenakan topeng-topeng kepalsuan dan dusta? Keempat: Dimanakah perjalanan manusia akan berlanjut, ketika seorang manusia telah menemui ketetapannya? Dan terakhir: Apakah saat seorang manusia menghadapi ketetapan yang sebentar lagi menghampirinya dengan simpul senyum yang begitu indah, sesuatu yang dicintai dan diinginkannya akan datang lagi?

He..he..he.. Lalu aku mulai berpikir. Gila!. Andai saja aku dapat menikmati ulang tahunku yang ke-23, atau aku masih diberi kesempatan oleh-Nya untuk melihat kembang api saat tahun baru tiba. Atau mungkin, aku akan disiksa dengan umur panjang yang kunikmati sendiri dan benar-benar sendiri, hingga akhirnya aku lupa bagaimana cara untuk berkomunikasi dengan makhluk lain. Lantas hal apakah yang akan kulakukan tuk mengisi penantian yang benar-benar melelahkan dan memuakkan itu?

Ugh!..kini kesadaranku mulai hilang, dan penglihatanku telah sepekat malam, malam yang begitu kelam tanpa ada satupun cahaya dari bintang-bintang. Urrghh!! suaraku makin serak.. Dadaku tiba-tiba menjadi sesak, semakin sesak, semakin sesak, sesak yang tak dapat kugambarkan dengan ungkapan apapun. Lalu, tibalah udara di kerongkonganku, lalu kuucapkan kedua kalimat secara terbata-bata…Dan, bayangmu muncul, lagi, lagi, dan lagi…ingin kuucap kata berpisah, “selamat tinggal!, selamat jalan! atau terima kasih!” namun lidahku kelu, mati rasa, dan telah kaku nampaknya, kemudian… Bruuk!!!... badanku rebah...

Lamat-lamat, kudengar langkah kaki seseorang, setengah berlari, menghampiri tubuhku, diiringi hujan yang dibawa dibelakangnya…
***
Sekretariat Teater Tesa, 11 – Maret – 2015.