Sebelum menghuni Kampung Kandangan, Pak Lakon adalah juragan
daging sapi dan juga seorang jagal yang cukup terkenal. Sedari muda ia menekuni
jalan hidup yang dipilihnya. Merintis karir dari titik paling bawah di dunia
penjagalan, mulai dari tukang merawat dan mencari pakan sapi, lalu mengalami
peningkatan menjadi asisten tukang jagal, hingga akhirnya ia berhasil mencapai
puncak kesuksesan, memiliki nama besar sebagai juragan daging sapi. Ia paham
betul strategi persaingan dagang, tak-tik bisnis, dan cara mengikat konsumen.
Pak Lakon menjunjung tinggi kejujuran dan pentingnya bersikap dermawan.
Sebagaimana falsafah dagang orang Jawa, tuna
sathak bathi sanak, yang kurang lebih pengertiannya adalah tidak apa-apa sedikit
mengalami kerugian laba tetapi memperoleh keuntungan persaudaraan. Pak Lakon
memiliki sebilah pisau potong yang bernama Kyai Bencok. Benda ini ia yakini
memiliki kekuatan magis, barang keramat yang membantu Pak Lakon menaiki tangga
kesuksesan sebagai seorang jagal. Sampai ia pindah ke kampung Kandangan, pisau
ini masih ia bawa, sebagai benda kesayangan sekaligus kebanggaan, bukti
kejayaan di masa lalu, bagaimana ia pernah mengalami kesuksesan yang sekarang
hanya tinggal kenangan.
Bagi
Pak Lakon, hidup tidak sekadar untuk menumpuk keuntungan besar dari usaha
dagang. Perputaran uang dan lancarnya kegiatan jual-beli tergantung pada
kepercayaan pelanggan, hubungan baik dengan relasi bisnis dan juga tetangga
sekitar harus senantiasa dijaga. Menjadi seorang juragan merupakan sebuah
berkah yang patut disyukuri dengan segenap kesadaran, bahwa kelebihan rejeki
harus diimbangi dengan berbagi kepada sesama. Sebagian hasil jualan daging sapi
ia gunakan untuk mengadakan pesta, sebulan sekali atau setiap selapan dina dalam konsep hitungan
kalender Jawa, pada hari kelahiran Pak Lakon. Ia percaya tentang kekuatan lain
yang turut serta ambil bagian dalam hidupnya, memiliki peran yang tidak kalah
penting sebagaimana hal-hal lain yang kasat mata.
Menggelar
pementasan wayang kulit, kadang karawitan atau klenengan, untuk dinikmati bersama rekan-rekan bisnis dan juga
tetangga sekitar rumahnya, merupakan salah satu cara Pak Lakon berbagi. Sebuah
pertunjukan seperti wayang kulit merupakan pementasan mahal, tidak semua orang
mampu membayar untuk menghadirkan rombongan kesenian ini. Pak Lakon sebagai
orang yang memiliki harta lebih, ia memiliki kemampuan untuk menanggap wayang
kulit yang dapat disaksikan dan dinikmati orang-orang disekitarnya. Pada
masa-masa itu, jamak terjadi, seorang saudagar mengadakan acara wetonan, sebulan sekali di hari
kelahirannya. Secara fungsi praktis, acara semacam ini merupakan bentuk
pencitraan diri sebagai orang sukses, bukti keberhasilan hidup dari sisi
finansial yang perlu ditunjukkan kepada orang lain.
Tetapi
di luar fungsi praktis tersebut, acara semacam ini adalah bagian dari
kepercayaan orang Jawa untuk menghaturkan rasa syukur kepada Sang Pencipta. Melalui
acara ini pula, Pak Lakon mengadakan syukuran sekaligus sebagai wujud sedekah
kepada orang lain, ia juga membagikan
makanan dan pakaian kepada orang-orang yang ia rasa membutuhkan, sembari
menyuguhkan pementasan wayang kulit dengan menghadirkan dalang-dalang pilihan. Tradisi
yang senantiasa dijaga oleh Pak Lakon, akhirnya menjadikan namanya terkenal,
baik di lingkungan bisnis daging sapi maupun di mata rakyat jelata yang
kebagian sedekah dan mereka yang sering datang jika ia menggelar acara.
|
Teater
Sandilara. Pak Lakon sedang menceritakan masa lalunya,
dalam
sebuah adegan naskah DOM karya Bambang Widoyo SP
|
|
|
Predikat Juragan Terpandang Dan Jagal Kondang Kini Tinggal Kenangan
Jaman berganti tata nilai
sosial, cara pandang, gaya hidup, dan pola pikir masyarakat mengalami
perubahan. Segala aspek mengalami goncangan, dari strata sosial paling atas
hingga lapis bawah, lambat laun mulai mengalami dampak dari perubahan tersebut.
Ada yang berusaha mempertahankan keyakinan lama, ada yang mencoba beradaptasi
dengan keadaan baru, dan ada pula yang segera putar haluan, mengikuti arah
angin yang dirasa lebih menguntungkan. Tidak
terkecuali di dunia dagang, ketika “kebebasan” diagungkan demi semakin lancar
dan luasnya jangkauan aktifitas jual-beli. Prinsip ekonomi juga mengajarkan,
“dengan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya”, bahkan
pelajaran ini telah ditanamkan sejak sekolah menengah pertama. Hal ini disadari
atau tidak, akhirnya membuat sebagian besar pengusaha melakukan berbagai cara
untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Pandangan baru ini juga membuat
masing-masing pedagang daging sapi menghalalkan segala cara demi mendapatkan
laba besar dengan modal kecil. Banyak pedagang melakukan kecurangan. Sapi
betina, sapi sakit, sapi mati, dagingnya dijual bebas di pasar, terkadang ada
juga yang mencampur dengan daging babi, yang secara sekilas tidak dapat
dibedakan, apalagi bagi mereka yang tidak mengerti detail perbedaan keduanya.
Ada juga yang menyuap dinas kesehatan agar tidak perlu memeriksa kelayakan
daging yang akan dijualnya.
Pak
Lakon yang tetap bertahan dengan caranya, ternyata tidak mampu melawan arus
besar yang sedang mengalir. Konflik internal di dalam keluarga terjadi.
Anak-anak Pak Lakon memiliki pandangan lain soal tata cara bisnis. Perbedaan
inilah yang akhirnya memicu perselisihan antara Pak Lakon dan anak-anaknya.
Mereka menuduh bahwa kemunduran usaha daging sapi disebabkan oleh sikap Pak Lakon yang masih
mempertahankan cara lama dalam berdagang. Mereka juga tidak setuju dengan kebiasaan
Pak Lakon mengadakan pesta dan berbagi kepada para tetangga yang membutuhkan,
hal itu dianggap sebagai pemborosan. Benturan
pandangan inilah yang membuat Pak Lakon memilih untuk mundur dari dunia yang
sudah bertahun-tahun dirintis, ia tidak kuasa menyaksikan segala bentuk
kecurangan, ia merelakan usaha dagang daging sapi dikelola oleh anak-anaknya
yang lebih meyakini cara baru dalam berbisnis, hingga akhirnya, Pak Lakon menghuni kampung
Kandangan, entah menyingkir karena terpaksa dan tidak ingin menyaksikan sesuatu
yang tidak sesuai dengan hati nuraninya, atau sebenarnya disingkirkan oleh
anak-anaknya yang ingin menjalankan usaha dagang dengan cara mereka. Masa
kejayaan Pak Lakon sudah berakhir, nama besar sebagai juragan terpandang dan jagal
kondang sekarang hanya tinggal kenangan. Mau tidak mau harus ia hadapi kenyataan,
menjadi salah seorang kaum terbuang yang menghuni kampung Kandangan. Perlahan ia
mulai menyadari keadaan baru yang harus diterima dengan lapang dada, baginya
lebih baik tersingkir bila memang sistem dagang yang ditawarkan oleh pemikiran
moderen ternyata bertentangan dengan keyakinan dirinya.
Sadarkah Kita
Kemana Muaranya?
Pak
Lakon merupakan salah satu contoh dari sekian banyak orang yang menjadi korban
perubahan. Ya, korban, sebab kebanyakan dari masyarakat kita lebih meyakini
tata nilai dan pandangan dari luar, sesuatu yang asing kita beri tempat dengan
dalih modernisasi, tidak peduli bagaimana dampak yang akan terjadi, sehingga
orang-orang seperti Pak Lakon yang masih memegang prinsip-prinsip kearifan
lokal, baik lahir maupun batin, dengan sadar untuk apa itu perlu dijaga dan
dijalankan, sering kali akan kita anggap kuno dan tidak mau mengikuti jaman. kita
juga tidak peduli pada sebab akibat, mengapa sampai ada masyarakat yang tidak
mendapat tempat, tersingkir, bahkan terasing dari mimpinya sendiri.
Terkadang
tanpa sadar kita hanya akan menganggap peristiwa semacam itu adalah seleksi
alam, biarlah jadi korban, mereka yang tidak mau tunduk pada perubahan. Kita menyalahkan
orang-orang yang masih meyakini pilihan hidupnya dengan memegang teguh ajaran
leluhur, terjepit keadaan karena tidak mau mengubah pola pikir mengikuti apa
yang jaman baru inginkan. Kita menyangka produk-produk asing, baik itu barang
maupun buah pikir sebagai bentuk pembaruan yang harus diikuti, tetapi kita lupa
dan tidak sadar, terlebih lagi mencoba berpikir, kemana muara aliran arus besar
yang kita kira dan yakini sebagai sebuah pembaruan, yang sudah menelan banyak
korban, golongan kecil masyarakat, saudara sebangsa kita sendiri.
Barangkali
negara memang tidak akan pernah melindungi masyarakatnya sendiri, menyerahkan
aset serta masyarakatnya untuk dikuasai bangsa asing, atas nama pergaulan antar
bangsa, pasar bebas, dan masuknya investor asing yang semakin gencar menanamkan
modal, didukung pula dengan pendidik yang mengajarkan rumus-rumus asing soal
kehidupan yang belum teruji, apakah pas dengan masyarakat kita, tapi tidak
memberikan pendidikan untuk mencintai dan menggali budaya sendiri, sebagai
penguat karakter identitas bangsa di setiap etnis yang ada di negara ini, sehingga
setiap tahun akan lahir sarjana-sarjana dan murid-murid baru yang memandang rendah budayanya sendiri, menganggap
yang dari luar adalah yang terbaik bagi hari depan, berlari meniru segala
sesuatu yang disangka lebih baik dan perlu segera diikuti, tidak peduli jika
label mereka nantinya hanyalah budak, jongos penggerak kepentingan dagang pihak
asing. Akhirnya, di masa yang akan datang, bisa jadi akan kita saksikan, tidak
ada lagi tempat tersisa untuk kita berdiri dan berlindung yang lebih aman dari
kampung kandangan.
*ditulis dalam rangka pementasan Teater Sandilara, naskah “DOM” karya
Bambang Widoyo SP yang akan dilaksanakan pada tanggal 27 dan 28 Juni 2019, di
sanggar Teater Tesa, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret,
Surakarta.
Surakarta, RabuPahing 26 Juni 2019
Joko Lelur
Mantri Carik Di Teater Sandilara