Thursday, 27 June 2019

DEN SETRA : KAUM REVOLUSIONER YANG DIASINGKAN


                Sejarah panjang suatu peradaban bangsa sering kali mencatat nama-nama tokoh yang memiliki jasa besar tetapi menjadi pesakitan politik diakhir cerita hidupnya, seakan-akan tidak ada artinya apa yang pernah diperbuat untuk kemajuan dan kepentingan umum, usaha mewujudkan kebaikan bagi semua golongan, bukan hanya diri pribadinya. Kebaikan memang bukan tabungan sosial, penyelamat diri dari ancaman mara bahaya di hari tua. Seorang tokoh bangsa memiliki resiko besar menjadi korban politik, terlebih lagi bagi mereka yang terjun langsung dalam kegiatan politik praktis. Lawan-lawan politik akan selalu berusaha menjatuhkan, menggeser kedudukan dengan berbagai macam cara sebagai jalan tercapainya tujuan.

                Den setra, seorang tokoh bangsa yang meletakkan dasar pondasi berdirinya negara, ia harus menghadapi kenyataan pahit, dilengserkan dari kedudukannya di pemerintahan hingga diasingkan karena dianggap pemikirannya dapat mengancam kepentingan penguasa baru. Peristiwa pilu yang wajar terjadi bagi orang-orang di dunia perpolitikan. Dukungan massa sebagai sumber kekuatan telah dimatikan, mereka yang dulu menaruh kesetiaan diri kepada Den Setra ikut dihabsi nyawanya, sebagian lagi yang mencari aman memilih untuk ikut bergabung bersama kubu yang menang atau menjadi pengikut penguasa baru. Kita sama-sama paham, kejujuran dan pemikiran luhur tidak ada artinya di panggung politik. Pertemanan dan kesetiaan berdasar atas kepentingan, bukan soal hati nurani yang memandang baik buruknya suatu pilhan dan tindakan.


Teater Sandilara. Pak Lakon & Mbah Jaga,
dalam sebuah adegan naskah DOM karya Bambang Widoyo SP



Tersingkir Sebagai Tahanan Politik Di Kampung Kandangan
               
                Merasa tidak mendapat perlakuan baik membuat Den Setra merasa semakin terpuruk, bagaimana tidak, seorang tokoh bangsa harus menerima kenyataan disingkirkan oleh pihak lain yang merupakan saudara sebangsa. Hanya karena perbedaan kepentingan dan perluasan kekuasaan, orang harus saling tendang, mengorbankan hak-hak sesama, melupakan tugas dan kewajiban sebagai aparatur negara, serta bertindak semena-mena tanpa memikirkan dampak.
               
                Kampung Kandangan menjadi tempat pengasingan bagi Den Setra, di tempat inilah ia harus tinggal bersama kaum-kaum yang tersisih dari pergulatan hidup, ia seakan terkurung di sebuah kandang yang membatasi ruang geraknya, hidup bersama manusia sisa-sisa peradaban, limbah buangan pembangunan orde baru yang tidak masuk hitungan dalam kelas sosial. Den Setra sengaja dijauhkan di tempat tersembunyi, penguasa baru khawatir jika suaranya sampai terdengar maka rakyat akan bergejolak dan bangkit kesadaran dirinya, melawan doktrin-doktrin orde baru yang telah mengelabuhi masyarakat lewat jargon-jargon pembangunan di segala aspek.

                Mantri Suntik atau biasa dipanggil Mas Mantri oleh penduduk kampung Kandangan merupakan utusan dari pemerintah pusat, tugasnya adalah mengawasi gerak-gerik Den Setra di tempat pengasingan. Mas Mantri tahu siapa Den Setra dan sadar seberapa besar jasanya terhadap bangsa dan negara ini, tetapi atas nama tugas dan pekerjaan ia melenyapkan kata hati nuraninya, segala perkataan dan pendapat Den Setra soal bagaimana seharusnya anak bangsa bertindak sama sekali tidak dihiraukan, hingga tersiar kabar yang disampaikan juga oleh Mas Mantri kepada Den Setra bahwa sebentar lagi ia akan dipindahkan. Kampung Kandangan masuk dalam daftar tempat yang akan digusur demi kepentingan industri, mereka yang melawan dan bertahan untuk tinggal akan dihabisi, aparat bersenjata sudah bersiaga di luar kampung Kandangan.

                Den Setra harus dipindahkan, sebab jika keberadaannya sampai diketahui masyarakat dan suaranya tersiar oleh para wartawan yang meliput penggusuran dapat menjadi mala petaka bagi penguasa, untuk itu Mas Mantri segera menjemput Den Setra sebelum hari eksekusi. Bagaimana selanjutnya nasib penduduk kampung Kandangan menjadi kekhawatiran baru bagi Den Setra, sebab ia menyaksikan langsung kondisi masyarakat pinggiran setelah ia dilengserkan dari posisinya, dampak buruk kebijakan dan kekuasaan rezim orde baru.


*ditulis dalam rangka pementasan Teater Sandilara, naskah “DOM” karya Bambang Widoyo SP yang akan dilaksanakan pada tanggal 27 dan 28 Juni 2019, di sanggar Teater Tesa, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
             


Surakarta, Kamis Pon 27 Juni 2019






Joko Lelur
Mantri Carik Di Teater Sandilara

LANDA BAJANG : TUMBAL PEMBANGUNAN ORDE BARU


                Mendengar cerita orang-orang tua dan mengetahui dari berbagai sumber soal kehidupan masyarakat sekitar di masa orde baru, Orang-orang yang dianggap berpotensi menimbulkan ancaman bagi negara disingkirkan, diasingkan, dan tidak jarang dihabisi nyawanya. Bagaimana sudah menjadi hal yang wajar bagi masyarakat di masa itu, menyaksikan mayat tergeletak di pinggir jalan, di sudut kampung, atau di tempat keramaian yang biasa digunakan untuk aktivitas. Bukan tanpa alasan, tindakan represif pemerintah semacam itu adalah untuk menunjukkan kepada masyarakat, bahwa negara tidak main-main kepada siapa saja yang mencoba mengganggu roda pemerintahan.

                Preman kampung dan para pelaku kriminal kelas rendah tidak luput dari operasi pembantaian, tanpa proses peradilan, tanpa ditimbang besar kecilnya kesalahan, tanpa kenal siapa yang melakukan eksekusi mati tersebut, tanpa tahu siapa yang memberi perintah untuk melakukannya. Jika itu benar negara yang melakukan, artinya demi pembangunan, nyawa rakyatnya adalah ongkos untuk membayarnya, lalu apa gunanya pemerintah? Tetapi jika itu dilakukan seorang teroris atau agen kepentingan yang menjual jasa pelenyapan nyawa, apa alasan dibalik tindakan tersebut? Ada kepentingan apa yang menjadi dasar? Siapa yang memesan jasa? Dan, di mana perlindungan negara terhadap rakyatnya? Mengapa pemerintah diam saja?

                Landa Bajang, salah seorang preman, residivis kambuhan yang keluar masuk penjara, menghuni kampung Kandangan guna mencari suaka, berlindung dari kejaran aparat bersenjata yang setiap saat siap menyergapnya. Prapti, istri Landa Bajang pada waktu-waktu tertentu rutin mengunjunginya. Mereka harus terpisah karena keadaan dan pilihan hidup Landa Bajang. Pekerjaan di dunia hitam memang penuh resiko, nyawa yang menjadi taruhan, ancaman keselamatan mengintai setiap saat. Terpisah ruang dan waktu, akhirnya menimbulkan konflik antara Landa Bajang dan istrinya. Konflik mulai muncul karena masing-masing dari mereka memiliki pandangan dan keyakinan hidup yang tidak lagi sejalan.

Teater Sandilara. Landa Bajang,
dalam sebuah adegan naskah DOM karya Bambang Widoyo SP



Buronan Yang Lari Dari Kenyataan

                Menjadi seorang preman pastinya memiliki alasan dan latar belakang tersendiri, secara umum kita tahu, motif ekonomi yang menjadi latar belakang mengapa seseorang masuk ke dunia hitam. Sama halnya Landa Bajang, ia menganggap dunia resmi dan pekerjaan yang sah di mata hukum, tidak lebih bersih dari pada para pelaku kriminal yang selalu mendapat cap negatif, bahkan ketika sudah tidak lagi menjadi preman. Pandangan sinis masyarakat tidak semudah itu hilang, terkadang hal inilah yang membuat para pelaku memutuskan untuk tetap bertahan di dunia hitam.

                Landa Bajang melihat ketidakadilan, baik yang dilakukan masyarakat sekitarnya maupun negara. Ayahnya seorang pejuang, bekas tentara yang ikut berperang pada masa kemerdekaan. Setelah negara ini berdiri, tata kelola kebijakan negara dan pembangunan bangsa dimulai. Ayah Landa Bajang terlupakan dari sejarah, jasa-jasanya tidak tercatat dalam daftar orang-orang yang ikut andil mengusir penjajah, di hari tua ia terpaksa bekerja kepada orang lain untuk menyambung hidup, menjual jasa keamanan sebagai penjaga gudang Nyah Bawang. Bagi Landa Bajang, hal tersebut merupakan bentuk ketidakadilan sosial, tiada beda ketika dijajah orang asing, justru sekarang bangsa sendiri yang menjajah. Negara menutup mata dengan membuat kebijakan-kebijakan yang tidak menguntungkan rakyat kecil, tidak terkecuali para bekas pejuang kemerdekaan. Landa Bajang menganggap lebih baik menjadi seorang preman, secara terang-terangan berada diposisi salah, dari pada menjadi seorang yang bergelut di dunia resmi tetapi melakukan cara-cara curang dan lebih hina dari seorang penjahat.

                Prapti, istri Landa Bajang, akhirnya memutuskan untuk berpisah, tidak bisa lagi mendampingi Landa Bajang, ia menginginkan kehidupan normal dan menjalin hubungan dengan Genjik, salah seorang mantan preman, rekan Landa Bajang. Penghianatan istri dan kawannya tersebut menimbulakan kebencian teramat mendalam terhadap keadaan. Di kampung Kandangan ia merasa semua hal yang ia miliki telah hilang, semua yang ia anggap berharga tidak ada artinya lagi, hanya di tempat ini, di kampung Kandangan, jiwa raganya menanti putusan takdir, menunggu apa yang akan terjadi pada dirinya sebagai seorang buronan yang diintai kematian.




*ditulis dalam rangka pementasan Teater Sandilara, naskah “DOM” karya Bambang Widoyo SP yang akan dilaksanakan pada tanggal 27 dan 28 Juni 2019, di sanggar Teater Tesa, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
             


Surakarta, Kamis Pon 27 Juni 2019






Joko Lelur
Mantri Carik Di Teater Sandilara

Wednesday, 26 June 2019

KRESNA GAMBAR : LAKU HIDUP SENIMAN DAN PERLAWANAN TERHADAP JAMAN


Teater Sandilara. Mbah Jaga & Kresna Gambar,
dalam sebuah adegan naskah DOM karya Bambang Widoyo SP


                Kresna Gambar, seorang duda yang menekuni profesi sebagai tukang gambar. Bercerai dengan istrinya yang tidak bisa menerima keadaan hidup seorang seniman. Serba kekurangan dan sangat jauh dari kata mewah, sebab jasa lukis atau gambar tangan mulai jarang diminati, hanya kalangan tertentu yang mau dan mampu menghargai karya seni, baik secara moral maupun material. Kresna Gambar nasibnya juga tidak ubahnya seperti Pak Lakon, Den Setra, dan juga Landa Bajang, menjadi orang kalah yang digilas kenyataan. Terpaksa menghuni kampung Kandangan, tidak ada lagi rumah yang bisa ia gunakan sebagai tempat pulang. Sehari-hari Kresna Gambar menjalani hidup dengan menggambar dan menjual hasil karyanya. Pagi keluar kampung mencari tempat-tempat yang ramai dikunjungi orang, barangkali ada yang berkenan membeli apa yang telah ia tawarkan.
               
                Perubahan jaman serta kecanggihan teknologi sedikit banyak berpengaruh terhadap penghasilan Kresna Gambar. Sebelum poster cetakan pabrik membanjiri lapak-lapak pedagang kaki lima, orang yang memiliki keahlian menggambar sangat dibutuhkan jasanya. Gambar tokoh pewayangan dan lain sebagainya hanya dapat diperoleh dari seorang tukang gambar. Meski demikian yang terjadi, Kresna Gambar tidak putus harapan dan meninggalkan profesi yang ia cintai, bagi dirinya, menggambar adalah laku hidup, tugasnya sebagai hamba Tuhan, bukan semata profesi yang mulai sepi dan ditinggalkan konsumen.

                Kresna Gambar menemukan dirinya di dunia seni lukis, soal rejeki dan besar kecilnya penghasilan adalah urusan Tuhan. Berada di kampung Kandangan setelah tersingkir dari kehidupan sebelumnya membuat Kresna Gambar semakin yakin tentang pilihan hidup. Nilai kemanusiaan tidak dapat dibeli, kepekaan sosial, sikap kritis, dan akibat yang akan terjadi karena jalan yang ditempuhnya sangat ia sadari. Tidak ada kekecewaan di hatinya atas apa yang telah terjadi. Kebebasan berpikir dan kemerdekaan dalam berkarya adalah hal yang paling utama, bukan semata mengerjakan barang pesanan untuk meraih pendapatan sebanyak-banyaknya, meskipun ia sendiri harus hidup dan berada pada posisi sulit secara ekonomi di jaman sekarang, tetapi Kresna Gambar paham soal laku dan peran hidupnya lewat dunia gambar.




Antara Hobi, Profesi, dan Rejeki

                Ada harga mahal yang harus dibayar seseorang atas jalan hidup yang dipilihnya. Kehilangan, keterasingan, dan cap sosial harus siap dihadapi oleh mereka yang berani memilih jalan lain, jalan yang tidak ditempuh masyarakat umum, mulai dari cara pandang, profesi yang ditekuni, hingga besar kecilnya pendapatan sering menjadi faktor yang memunculkan opini di tengah masyarakat. Golongan minoritas atau orang yang keluar dari padangan umum, biasanya akan terkucil dan mengalami tekanan sosial. Sadar tidak sadar, opini dan ujaran yang terlontar di tengah hidup bermasyarakat, yang mungkin itu dianggap sederhana ketika disampaikan dimuka umum, bisa jadi, dalam kadar tertentu hal itu mempengaruhi atau menyinggung orang lain. Meski baik buruk suatu pendapat atau obrolan sifatnya relatif juga. Maksudnya, soal kesenian, sering kali masyarakat kita menganggap tidak ada manfaatnya menggeluti bidang ini, kesejahteraan hidup yang diperoleh tidak sebanding dengan apa yang dikorbankan,  terkadang malah dibandingkan dengan profesi lain yang lebih menjanjikan secara materi.

                Kresna Gambar mengerti perbedaan antara, hobi, profesi dan rejeki. Ketiga hal tersebut sebenarnya tidak terpisahkan, saling terkait dan saling memberi pengaruh sebab akibat. Tugas manusia adalah menjalani hidup sebaik-baiknya dengan mengenali potensi diri serta menjaga kecintaan terhadap sesuatu yang diyakininya. Hobi yang terus-menerus ditekuni, entah karena bakat atau minat, lambat laun bisa membuat seseorang menjadikannya sebagai profesi, yang tentu derajatnya lain dengan hobi yang hanya dilandasi rasa senang dan sebagai kegiatan sambilan untuk mengisi waktu luang. Pada tahap profesi, ketahanan dan kecintaan seseorang juga akan mengalami ujian, terlebih lagi ketika di hadapkan dengan peruntungan dan rejeki atas apa yang dipilihnya sebagai profesi. Goncangan keyakinan akan terjadi ketika hidup bersama masyarakat umum, bagaimana masyarakat sering melakukan kekejaman dan teror terhadap orang-orang yang memiliki cara pandang berbeda. Sebab standar kesejahteraan dan di kepala mereka adalah soal kekayaan, pangkat dan jabatan, sementara kesenian bukan  alat untuk meraih hal-hal tersebut, kecuali mereka yang mau dan memang sengaja menjadikan kesenian sebagai proyek pengucur dana anggaran, seperti yang marak terjadi di jaman sekarang.

                Orang-orang seperti Kresna Gambar tidak peduli, apakah jaman baru dan masyarakatnya dengan segala fenomena kehancuran di segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, akan menggilas habis keyakinan dan rejekinya. Mereka yang sadar bahwa kesenian adalah soal nurani dan jalan hidup yang dipilih, sama sekali tidak akan terpengaruh, semudah itu menyerah dan menggantungkan nasib pada seleksi calon pegawai negeri sipil, atau secepat itu menempatkan diri sebagai jongos perusahaan, hanya karena khawatir besok tidak bisa makan, tidak bisa membeli barang-barang mewah keluaran terbaru, tidak memiliki tempat tinggal, tidak bisa tampil sempurna di acara kondangan, tidak bisa mengadakan hajatan besar-besaran, dan banyak hal yang sebenarnya bukan kebutuhan pokok sebagai sarana hidup manusia, tetapi mampu membuat kebanyakan orang gampang meninggalkan kesenian, atau kegiatan lain yang pernah dipilihnya sendiri, dan mungkin tidak disertai dengan kesadaran sejak awal mula.


*ditulis dalam rangka pementasan Teater Sandilara, naskah “DOM” karya Bambang Widoyo SP yang akan dilaksanakan pada tanggal 27 dan 28 Juni 2019, di sanggar Teater Tesa, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
             


Surakarta, Kamis Pon 27 Juni 2019






Joko Lelur
Mantri Carik Di Teater Sandilara

Tuesday, 25 June 2019

PAK LAKON : BENTURAN BATIN AKIBAT PRINSIP DAGANG JAMAN BARU


                 Sebelum menghuni Kampung Kandangan, Pak Lakon adalah juragan daging sapi dan juga seorang jagal yang cukup terkenal. Sedari muda ia menekuni jalan hidup yang dipilihnya. Merintis karir dari titik paling bawah di dunia penjagalan, mulai dari tukang merawat dan mencari pakan sapi, lalu mengalami peningkatan menjadi asisten tukang jagal, hingga akhirnya ia berhasil mencapai puncak kesuksesan, memiliki nama besar sebagai juragan daging sapi. Ia paham betul strategi persaingan dagang, tak-tik bisnis, dan cara mengikat konsumen. Pak Lakon menjunjung tinggi kejujuran dan pentingnya bersikap dermawan. Sebagaimana falsafah dagang orang Jawa, tuna sathak bathi sanak, yang kurang lebih pengertiannya adalah tidak apa-apa sedikit mengalami kerugian laba tetapi memperoleh keuntungan persaudaraan. Pak Lakon memiliki sebilah pisau potong yang bernama Kyai Bencok. Benda ini ia yakini memiliki kekuatan magis, barang keramat yang membantu Pak Lakon menaiki tangga kesuksesan sebagai seorang jagal. Sampai ia pindah ke kampung Kandangan, pisau ini masih ia bawa, sebagai benda kesayangan sekaligus kebanggaan, bukti kejayaan di masa lalu, bagaimana ia pernah mengalami kesuksesan yang sekarang hanya tinggal kenangan.

                Bagi Pak Lakon, hidup tidak sekadar untuk menumpuk keuntungan besar dari usaha dagang. Perputaran uang dan lancarnya kegiatan jual-beli tergantung pada kepercayaan pelanggan, hubungan baik dengan relasi bisnis dan juga tetangga sekitar harus senantiasa dijaga. Menjadi seorang juragan merupakan sebuah berkah yang patut disyukuri dengan segenap kesadaran, bahwa kelebihan rejeki harus diimbangi dengan berbagi kepada sesama. Sebagian hasil jualan daging sapi ia gunakan untuk mengadakan pesta, sebulan sekali atau setiap selapan dina dalam konsep hitungan kalender Jawa, pada hari kelahiran Pak Lakon. Ia percaya tentang kekuatan lain yang turut serta ambil bagian dalam hidupnya, memiliki peran yang tidak kalah penting sebagaimana hal-hal lain yang kasat mata.

                Menggelar pementasan wayang kulit, kadang karawitan atau klenengan, untuk dinikmati bersama rekan-rekan bisnis dan juga tetangga sekitar rumahnya, merupakan salah satu cara Pak Lakon berbagi. Sebuah pertunjukan seperti wayang kulit merupakan pementasan mahal, tidak semua orang mampu membayar untuk menghadirkan rombongan kesenian ini. Pak Lakon sebagai orang yang memiliki harta lebih, ia memiliki kemampuan untuk menanggap wayang kulit yang dapat disaksikan dan dinikmati orang-orang disekitarnya. Pada masa-masa itu, jamak terjadi, seorang saudagar mengadakan acara wetonan, sebulan sekali di hari kelahirannya. Secara fungsi praktis, acara semacam ini merupakan bentuk pencitraan diri sebagai orang sukses, bukti keberhasilan hidup dari sisi finansial yang perlu ditunjukkan kepada orang lain.

                Tetapi di luar fungsi praktis tersebut, acara semacam ini adalah bagian dari kepercayaan orang Jawa untuk menghaturkan rasa syukur kepada Sang Pencipta. Melalui acara ini pula, Pak Lakon mengadakan syukuran sekaligus sebagai wujud sedekah kepada orang lain,  ia juga membagikan makanan dan pakaian kepada orang-orang yang ia rasa membutuhkan, sembari menyuguhkan pementasan wayang kulit dengan menghadirkan dalang-dalang pilihan. Tradisi yang senantiasa dijaga oleh Pak Lakon, akhirnya menjadikan namanya terkenal, baik di lingkungan bisnis daging sapi maupun di mata rakyat jelata yang kebagian sedekah dan mereka yang sering datang jika ia menggelar acara.


Teater Sandilara. Pak Lakon sedang menceritakan masa lalunya,
dalam sebuah adegan naskah DOM karya Bambang Widoyo SP


               

Predikat Juragan Terpandang Dan Jagal Kondang Kini Tinggal Kenangan

                Jaman berganti tata nilai sosial, cara pandang, gaya hidup, dan pola pikir masyarakat mengalami perubahan. Segala aspek mengalami goncangan, dari strata sosial paling atas hingga lapis bawah, lambat laun mulai mengalami dampak dari perubahan tersebut. Ada yang berusaha mempertahankan keyakinan lama, ada yang mencoba beradaptasi dengan keadaan baru, dan ada pula yang segera putar haluan, mengikuti arah angin yang dirasa lebih menguntungkan.  Tidak terkecuali di dunia dagang, ketika “kebebasan” diagungkan demi semakin lancar dan luasnya jangkauan aktifitas jual-beli. Prinsip ekonomi juga mengajarkan, “dengan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya”, bahkan pelajaran ini telah ditanamkan sejak sekolah menengah pertama. Hal ini disadari atau tidak, akhirnya membuat sebagian besar pengusaha melakukan berbagai cara untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Pandangan baru ini juga membuat masing-masing pedagang daging sapi menghalalkan segala cara demi mendapatkan laba besar dengan modal kecil. Banyak pedagang melakukan kecurangan. Sapi betina, sapi sakit, sapi mati, dagingnya dijual bebas di pasar, terkadang ada juga yang mencampur dengan daging babi, yang secara sekilas tidak dapat dibedakan, apalagi bagi mereka yang tidak mengerti detail perbedaan keduanya. Ada juga yang menyuap dinas kesehatan agar tidak perlu memeriksa kelayakan daging yang akan dijualnya.

                Pak Lakon yang tetap bertahan dengan caranya, ternyata tidak mampu melawan arus besar yang sedang mengalir. Konflik internal di dalam keluarga terjadi. Anak-anak Pak Lakon memiliki pandangan lain soal tata cara bisnis. Perbedaan inilah yang akhirnya memicu perselisihan antara Pak Lakon dan anak-anaknya. Mereka menuduh bahwa kemunduran usaha daging sapi  disebabkan oleh sikap Pak Lakon yang masih mempertahankan cara lama dalam berdagang. Mereka juga tidak setuju dengan kebiasaan Pak Lakon mengadakan pesta dan berbagi kepada para tetangga yang membutuhkan, hal itu dianggap sebagai pemborosan.  Benturan pandangan inilah yang membuat Pak Lakon memilih untuk mundur dari dunia yang sudah bertahun-tahun dirintis, ia tidak kuasa menyaksikan segala bentuk kecurangan, ia merelakan usaha dagang daging sapi dikelola oleh anak-anaknya yang lebih meyakini cara baru dalam berbisnis,  hingga akhirnya, Pak Lakon menghuni kampung Kandangan, entah menyingkir karena terpaksa dan tidak ingin menyaksikan sesuatu yang tidak sesuai dengan hati nuraninya, atau sebenarnya disingkirkan oleh anak-anaknya yang ingin menjalankan usaha dagang dengan cara mereka. Masa kejayaan Pak Lakon sudah berakhir, nama besar sebagai juragan terpandang dan jagal kondang sekarang hanya tinggal kenangan. Mau tidak mau harus ia hadapi kenyataan, menjadi salah seorang kaum terbuang yang menghuni kampung Kandangan. Perlahan ia mulai menyadari keadaan baru yang harus diterima dengan lapang dada, baginya lebih baik tersingkir bila memang sistem dagang yang ditawarkan oleh pemikiran moderen ternyata bertentangan dengan keyakinan dirinya.


Sadarkah Kita Kemana Muaranya?

                Pak Lakon merupakan salah satu contoh dari sekian banyak orang yang menjadi korban perubahan. Ya, korban, sebab kebanyakan dari masyarakat kita lebih meyakini tata nilai dan pandangan dari luar, sesuatu yang asing kita beri tempat dengan dalih modernisasi, tidak peduli bagaimana dampak yang akan terjadi, sehingga orang-orang seperti Pak Lakon yang masih memegang prinsip-prinsip kearifan lokal, baik lahir maupun batin, dengan sadar untuk apa itu perlu dijaga dan dijalankan, sering kali akan kita anggap kuno dan tidak mau mengikuti jaman. kita juga tidak peduli pada sebab akibat, mengapa sampai ada masyarakat yang tidak mendapat tempat, tersingkir, bahkan terasing dari mimpinya sendiri.

                Terkadang tanpa sadar kita hanya akan menganggap peristiwa semacam itu adalah seleksi alam, biarlah jadi korban, mereka yang tidak mau tunduk pada perubahan. Kita menyalahkan orang-orang yang masih meyakini pilihan hidupnya dengan memegang teguh ajaran leluhur, terjepit keadaan karena tidak mau mengubah pola pikir mengikuti apa yang jaman baru inginkan. Kita menyangka produk-produk asing, baik itu barang maupun buah pikir sebagai bentuk pembaruan yang harus diikuti, tetapi kita lupa dan tidak sadar, terlebih lagi mencoba berpikir, kemana muara aliran arus besar yang kita kira dan yakini sebagai sebuah pembaruan, yang sudah menelan banyak korban, golongan kecil masyarakat, saudara sebangsa kita sendiri.

                Barangkali negara memang tidak akan pernah melindungi masyarakatnya sendiri, menyerahkan aset serta masyarakatnya untuk dikuasai bangsa asing, atas nama pergaulan antar bangsa, pasar bebas, dan masuknya investor asing yang semakin gencar menanamkan modal, didukung pula dengan pendidik yang mengajarkan rumus-rumus asing soal kehidupan yang belum teruji, apakah pas dengan masyarakat kita, tapi tidak memberikan pendidikan untuk mencintai dan menggali budaya sendiri, sebagai penguat karakter identitas bangsa di setiap etnis yang ada di negara ini, sehingga setiap tahun akan lahir sarjana-sarjana dan murid-murid baru  yang memandang rendah budayanya sendiri, menganggap yang dari luar adalah yang terbaik bagi hari depan, berlari meniru segala sesuatu yang disangka lebih baik dan perlu segera diikuti, tidak peduli jika label mereka nantinya hanyalah budak, jongos penggerak kepentingan dagang pihak asing. Akhirnya, di masa yang akan datang, bisa jadi akan kita saksikan, tidak ada lagi tempat tersisa untuk kita berdiri dan berlindung yang lebih aman dari kampung kandangan.




*ditulis dalam rangka pementasan Teater Sandilara, naskah “DOM” karya Bambang Widoyo SP yang akan dilaksanakan pada tanggal 27 dan 28 Juni 2019, di sanggar Teater Tesa, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
             


Surakarta, RabuPahing 26 Juni 2019






Joko Lelur
Mantri Carik Di Teater Sandilara