Monday, 12 December 2016

Pabrik, ada katarsis disana.

21 Mei, kami (Teater Sandilara) mulai kembali berpentas, mengakrabkan diri dengan panggung, setelah beberapa bulan kami latihan dengan naskah ‘Mlarat’. Setelah hampir satu tahun kami tidak berpentas lagi. Pabrik, Sukoharjo, yang saat itu menjadi tempat kami berpentas. Kami punya kenangan yang tidak akan dilupakan dengan Desa Pabrik. Karena secara tidak langsunglah Desa Pabrik adalah awal mula kami, adalah salah satu yang secara tidak langsung turut menjadi saksi atas kelahiran kami. Kerna pada tanggal 23 Desember 2013, tiga tahun yang lalu kami kali pertama berpentas, menetapkan diri sebagai kelompok tetaer, bersepakat bersama bahwa Sandilara adalah Teater, karena ‘kecelakaan’ yang terjadi yang disebabkan oleh permintaan Desa Pabrik kepada Idham Ardi untuk berpentas disana. 

Sebelum berpentas, seperti biasa, dari pagi hingga petang kami mempersiapkan kebutuhan-kebutuhan pelengkap, ada yang memsak untuk konsumsi, usung-usung gamelan, mempersiapkan tata lampu, tata pannggung dan lain sebagainya. Hingga pada malam hari, kami menempati posisi masing-masing dari tanggungjawab kami, para pemain memulai makeup, Mas Bei memimpin kelompok karawitan ‘kurawa’ mencoba notasi-notasi sebagai pengiring pementasan, dan untuk menarik perhatian warga sekitar, bahwa pementasan akan segera dimulai, sembari Mas Bei mendengar tabuhan-tabuhan para pengrawit, Mas Bei mempersiapkan kemenyan, sebuah ubo rampe khusus yang selalu dipakai Mas Bei dalam mempersiapkan gamelannya. 

Jam setengah 8, kami telah siap untuk berpentas, pemain telah pada posisi masing-masing. Suara gamelan dari kelompok karawitan ‘kurawa’ terus memenuhi suasana di tempat kami berpentas, para warga sudah mulai duduk bersiap akan menikmati sajian dari kami, ada pula beberapa yang yang baru datang, satu persatu. Malam itu pementasan tidak hanya dari kami, namun ada ‘Teater Dalan Cilik’ , anak-anak dari desa Pabrik yang dipimin oleh Idam. Mereka, ‘Teater Dalan Cilik’ telah kali kedua berpentas, melakonkan pementasan yang sama, setelah sebelumnya di Desa Mojo Gedang, Karangayar, di kediaman Mbah Paiman dalam tajuk Gerilya Budaya oleh Tanggul Budaya. Dan malam itu, mereka memulai mengawali pementasan sebelum kami, mereka tampil lebih awal daripada kami. Mereka yang berumur rata-rata kurang dari 15 tahun, yang masih kanak-kanak, melakonkan pementasan dengan lepas, meski sedikit demam panggung, tapi mereka menyajikan pementasannya dengan apik, khas kanak-kanak yang malu-malu, tapi menarik. Mereka mencoba menyampaikan tentang hilangnya lahan bermain mereka kini, sempitnya tanah lapang untuk mereka melakukan permainan secara bersama, karena tanah lapang telah diganti dengan rumah-rumah, pabrik-pabrik dan bangunan-bagunan lainnya. Memang kini masa kanak-kanak semakin lama semakin dipersingkat, lahan bermain degantikan dengan alat bermain yang canggih, telepon pintar, yang secara tidak sadar menghilangkan masa berkelompok bagi anak-anak, tidak hanya di perkotaan, daerah pinggiran kota pun semakin lama semakin terkena arus kemajuan zaman yang bergerak mundur. 

Usai pementasan dari Teater Dalan Cilik. Maka saatnya kami untuk naik panggung, mempertanggungjawabkan apa yang telah kami mulai sejak awal latihan, menyampaikan apa yang ingin kami sampaikan lewat naskah ‘Mlarat’ karya dan sutradara Idnas Aral. Para pemain telah siap pada posisi masing-masing. Adegan pertama dimulai, Lindri sebagi Marni mulai dengan dialog ‘Mlaaaaraaaaaaaaaat’ , lalu disambut oleh Ajima sebagai Bagong dengan  “Enek opo to Mar, ngopo kursine ?”. Dan selanjutnya adegan demi adegan terlewati. Mlarat, adalah sebuah usaha dari kami untuk menggambarkan sebuah kemlaratan dari sebuah keluarga miskin, yang mempunyai seorang anak, anak tersebut karena kebiasaan judi nya menggadaikan motor milik temannya, dan karena kalah maka Anak dari keluarga Bagong dan Marni si Samsul tidak dapat membayar motor temannya yang telah digadaikannya, dan mau tidak mau, Bagong lah yang harus bertanggungjawab melunasi hutangnya, karena tanggungjawab nya sebagai kepala keluarga dan seorang Bapak. Samsul yang kelewat manja, dahulunya pernah di belikan motor namun juga raib karena judi, dan motor itu di dapat dari hasil menjual tanah keluarga Pak Bagong. Kami ingin mencoba mewartakan tentang kejadian yang memang banyak terjadi, bahwa untuk mengikuti perkembangan zaman, tuntutan pendidikan bahkan gengsi, tanah-tanah pertanian harus rela di jual, entah dalam skla besar atau beberapa ratus meter saja. Dan akibatnya banyak, tanah-tanah yang seharusnya dapat menjadi sumber produktifitas, malah raib, hilang produktifitasnya dengan banyak cara, tanah yang semestinya menjadi lanah bermain anak-anak hilang karena dijual. Begitulah Mlarat, kemlaratan, menghempit, menjepit, hingga Bagong merelakan dirinya kembali menjadi seorang maling demi sebuah rasa tanggungjawab, yang akhirnya Bagong tertangkap, di bakar hidup-hidup oleh masyarakat, dihakimi tanpa ada sempat untuk membela, begitulah nasib yang mlarat di Negara ini, tak punya nilai tawar barang sedikit saja, sedang sang pemilik modal, dapat melenggang di kursi empuk, meski telah mencuri demi alasan ketamakan, meski telah terbuki, toh bisa lari ke negara tetangga yang jelas akan melindungi. 

Gambaran singkat mengenai naskah Mlarat. Pementasan usai malam itu, yang tentu banyak evaluasi yang harus kami benahi untuk perjalanan pementasan kami berikutnya. Namun, ada yang menarik, ada yang tidak terduga seperti biasa. Pementasan usai, penonton bertepuk tangan. Dan sambil meninggalkan tempat duduknya, ada seorang Ibu yang berucap “Ah lumayan, isoh di-nggo sinau nang omah, ben karo anak-anak iki do ngerti” yang artinnya kurang lebih, ‘”ah lumayan, bisa untuk bahan pelajaran dirumah, dan agar anak-anak yang menonton ini juga faham”. Ada seorang peonton yang menyataan dengan spontan, tidak terduga, bahwa apa yang kami sampaikan akan digunakan sebagai bahan belajar, belajar untuk menyikapi dan memahami keadaan. Kami cukup kaget, bahwasanya apa yang kami sajikan dapat tersampaikan dan diterima sebagai sebuah bahan pemikiran. Bahwa benar itu yang ingin kami capai, tapi itu hanya sebatas ingin, dan ketika ada kata spontan tersebut, kami bahagia dan lega. Karena awal kami memutuskan berpentas di kampung adalah karena kami sumpek dengan gedung pertunjukan resmi, karena kami menganggap tidak ada lagi pertunjukan yang menampakan keadaan yang nyata, keadaan yang sebenarnya, meski toh kami juga belum benar-benar dapat mepertunjukkannya, namun kami terus berusaha dan mencari, berusaha ngudari benang-benang kusut yang ada dikepala kami, mengolahnya dalam sebuah bentuk laku, mewujudkannya dengan pertunjukan teater karena itu yang kami yakini dapat menjadi sebuah jembatan antara wacana di kepala dan penyampaiannya kepada khalayak luas. 

Begitulan pementasan Mlarat kali pertama, yang kami pentaskan di tempat yang bersejarah bagi kami, di Desa Pabrik, tempat awal kami berpentas, mula kami meyakini akan terus berpentas di desa-desa hingga berakhir apa yang kami yakini. Mlarat di Pabrik, menemukan katarsisnya, pensucian yang semoga di alami oleh yang menyaksikan, menjadi saksi atas niat dan usaha kami untuk tidak lekas bunuh diri dengan segera.



2016-12-10
Slamet Bedun

Saturday, 3 December 2016

MARI BUNG NULIS KEMBALI (Mas Sinis)

 Apa yang sedang terjadi Mas Bei?
Ada berita apa hari ini Den Bei?
Apa yang anda pikirkan sekarang Mas Sinis?
apa pertanyaanmu itu berarti cinta? aku balik bertanya

Itu bukan berarti cinta. Kalimat-kalimat diatas bukan pertanyaan dari perempuan yang dicintai sebagai bentuk perhatian, atau kalimat tak terduga yang datang dari perempuan manis yang akhir-akhir ini sering saya ditulis. Pertanyaan basa-basi itu muncul dari kolom yang ada di setiap akun jejaring sosial yang saya miliki. Sebenarnya kolom itu tidak wajib di isi karena tidak akan menambah nilai kelulusan kuliah atau seperti program bahasa Inggris yang wajib diikuti kawan saya dikampusnya sebagai syarat tugas akhir. Tapi apa sesederhana itu menyikapi suatu hal yang dirasa sepele dan tidak penting? Hampir setiap anak muda khususnya, bisa dipastikan memiliki akun jejaring sosial dan pasti berjumpa dengan pertanyaan serupa.
Ya, tidak semua anak muda sinting seperti saya, memikirkan hal kecil dan sepele, lalu menganggap benda mati layaknya makhluk bernyawa. Seperti Sheldon James Plankton dalam film kartun Spongebob, memiliki istri komputer dan dapat diajak berdialog seperti wanita pada umumnya. Karena kebetulan saya punya kelemahan sentimentil terhadap perempuan, kata teman-teman lemah dalam urusan negosiasi jika dihadapakan dengan wanita, sering membiarkan ketika harus menindak dan selalu menuruti ketika harus menolak, maka saya manfaatkan kelemahan, menganggap pertanyaan dikolom itu datang dari perempuan, lalu saya segera menulis sebagai jawaban.

Apa yang sedang terjadi Mas Bei?
Setinggi apapun pendidikan, kebanyakan dari kita melupakan pelajaran paling dasar, bahkan sangat dasar yang diperoleh sewaktu duduk dibangku sekolah dasar, yaitu membaca dan menulis. Untuk yang beruntung menyandang predikat mahasiswa, gejala ini terjadi karena terlalu sopan mematuhi etika akademik, urusan mengutip sumber data ketika mengerjakan skripsi dan lainnya, sampai terbawa sikap itu ketika sudah lulus dari perguruan tinggi, akhirnya takut mengungkapkan isi kepala sendiri, menuangkannya dalam tulisan, itu hanya dugaan saja semoga tidak benar.
Mungkin juga akibat dari kemajuan teknologi, berbagai macam alat komunikasi beredar dalam genggaman setiap orang dijaman ini, sehingga buku dan pena bukan lagi sarana utama mengabadikan peristiwa. Sebagian besar dari kita cenderung memiliki kegemaran mengutip, mengambil tulisan orang lain dari blog atau postingan yang banyak beredar didunia maya, sedangkan si penulisnya sama sekali belum tentu ia kenal baik secara karya maupun personalnya. Kemudian memberi sedikit komentar pribadi sesuai kebutuhan, lalu mengupload atau membagikannya. Muncul sebagai postingan baru diakun yang dimiliki, sambil menunggu pemberitahuan seberapa banyak yang menyukai dan mengomentari.
Terkadang saya curiga apa benar dibaca? Katakanlah sebuah postingan dari blog yang diupload, misalnya rata-rata memakan waktu tiga sampai lima menit untuk selesai membaca, tapi belum ada satu menit diunggah sudah ada pemberitahuan “si A menyukai kiriman anda” . Pikiran baik saya mengatakan, paling di-like dulu baru dibaca, dibuka keseluruhan postingan itu, semoga demikian, karena si penulis sudah susah payah menyampaikan gagasan dan ide kepada orang lain lewat tulisan, pekerjaan yang jarang dilakukan oleh generasi kita sekarang ini. Sangat sayang kalau hanya dijadikan penghias beranda, kartu absensi daftar hadir eksistensi dunia maya, atau senjata debat kusir ketika diskusi berita yang ditulis media masa.
Dunia maya memang penuh kemungkinan. Bagi saya like bukan berarti cinta, artinya menyukai belum tentu memahami, belum tentu dibaca isi keseluruhan dari apa yang dibagikan, karena pengunggah dan para penyuka kadang sama tololnya, tidak sadar atau mungkin hal seperti itu sudah lumrah, menyukai dan membagikan semudah menggeser jari telunjuk dilayar ponsel, bahkan lebih sulit mencari upil dilubang hidung yang perlu proses dan teknik khusus. Konyol dan tolol memang, tapi umum dilakukan dijaman sekarang, tidak perlu susah menulis memeras kepala menata kata, puas ikut membagikan berita yang sedang pepuler dimasyarakat, agar tidak ketinggalan jaman, turut bertasipasi sebagai masyarakat jejaring sosial yang aktif.
Ya, sepertinya kita masih hidup dalam jaman edan, harus ikut gila agar terlihat seperti manusia normal pada umumnya. Ronggowarsito pernah berkata dalam Serat Kalatidha “sak bejo-bejone wong lali, isih bejo uwong sing eling lan waspada”, demikian juga dalam hal ini, seberuntung-beruntungnya dan sebangga-bangganya tengkulak berita dunia maya, masih lebih beuntung orang yang mau dan diberi kesadaran untuk menulis sendiri apapun itu.

Ada berita apa hari ini Den Bei?
Para tengkulak berita mulai mereda, menyusut seiring berkurangnya debit air didaerah-daerah rawan banjir. Kegiatan bagi-bagi artikel gerakan “Wiro Sableng” sudah  tidak nampak diberanda. Barangkali sudah menerima cukup imbalan pahala atas tugasnya menyampaikan pesan kebaikan dari surga. Itu hanya salah satu contoh dari sekian banyak tema berita yang dibagikan teman-teman jejaring sosial kita pekan ini. Ramai dibicarakan, ramai dicari, dan ramai dibagikan. Dari pengangguran sampai mahasiswa yang katanya berpendidikan ikut meramaikan khasanah bagi-bagi berita. Baiklah kalau kaum penganggur, mereka butuh bahan untuk obrolan sesama penganggur. Tapi kalau mahasiswa? Katanya calon penerus pembangunan bangsa, kok cuma bisa membagikan postingan? Apa sudah lupa pelajaran sekolah dasar, membaca dan menulis? Keluar banyak uang untuk kuliah dan pendidikan selama ini, tentunya dapat banyak pengetahuan dan sudut pandang, apa kurang untuk dijadikan pisau, alat bedah fenomena yang ada dimasyarakat.
Banyak persoalan disekitar yang dilewatkan, luput dari perhatian kita, karena kita lebih tertarik menyimak dan mengikuti sesuatu yang besar, yang sengaja diciptakan untuk kaum-kaum instan, dalam hal ini sebuah pemberitaan. Mungkin kalau wartawan sekarang ini tidak menulisnya karena alasan tidak menjual, ya sudah, kalau urusan dokumentasi tulis dan berita derajatnya sama dengan jualan celana dalam dipasar malam. Sebenarnya sayang sekali kalau komponen-komponen kecil penyangga kebudayaan luput dari perhatian, keberadaannya penting sebagai fondasi dasar bangunan sebuah negara, perlu dicatat barangkali selesai kita tulis kantung-kantung kebudayaan itu telah hilang atau dihilangkan karena berbagai alasan, apa tidak sayang?
 
Apa yang anda sedang pikirkan Mas Sinis?

Generasi kita generasi distributor yang dimanjakan kemajuan teknologi informasi, tanpa menggeser pantat data-data yang diinginkan tersaji dengan cepat. Generasi kita generasi yang payah soal mengolah, asal kutip tanpa saringan, ahli hisap tanpa filter. Generasi kita generasi makelar, pandai mengambil peluang untuk eksistensi diri dan keuntungan materi, tanpa susah menanam dan berproses asal comot asal pungut, akhirnya hanya bermuara pada urusan jual beli. Generasi kita generasi yang krisis kepercayaan diri, malu atau enggan menulis kegiatannya sendiri, tapi juga malas membaca tulisan-tulisan yang tidak menarik untuk ia bagikan dijejaring sosial, karena tidak sedang hangat dibicarakan. Generasi kita generasi serampangan. Kegiatan pengamatan, membaca dan menulis hanya kita lakukan ketika pengajar mengharuskan sebagai syarat kelulusan. Generasi kita generasi praktis, merasa menjadi kritis kalau ikut menyoroti fenomena besar yang ditulis media masa. Generasi kita memang generasi instan, tapi takut bayangan hari depan, tidak sabar menanam, merawat dan mengolah, apa yang sebenarnya sudah dimiliki dan mampu dilakukan.

Apa yang sedang terjadi Mas Bei?
Ada berita apa hari ini Den Bei?
Apa yang anda pikirkan sekarang Mas Sinis?
Ya, teruslah kau datang
dengan segala pertanyaan, 
wahai mesin waktu. 
tapi tulisanku bukan berarti cinta.
(Mas Sinis)


Surakarta, 3 Desember 2016

Friday, 2 December 2016

Komunitas Tanggul Budaya: Menyelenggarakan Latihan Rutin “Nembang” (Idnas Aral)


Gelombang kebencian, saling serang opini, dan bertebaran prasangka, kami tetembangan. Racun Jakarta sedang menyebar luas menjangkiti para muda, kami tetembangan. Racun yang melumpuhkan tindakan tapi terfantasikan seakan sudah berbuat sesuatu melalui jempol dan membagikan tulisan, kami tetembangan.

Kamis, 1 Desember 2016, Komunitas Tanggul Budaya menggelar latihan perdana nembang. Lembaran fotokopian tulisan tangan berisi Gambuh dan Sinom dari serat Jaka Lodhang, dibagikan dan dimulailah latihan. Mbak Lestari ‘Cempluk’, yang telah bersedia untuk mengajari dan sudi menjadwalkan seminggu sekali untuk memperkenalkan dan ndandani cengkok kami yang serampangan.

Adalah upaya kami membangun tanggul kebudayaan dalam diri sedikit demi sedikit, meski terbata..
Memang hanya segelintir orang, hanya belasan yang melibat diri untuk belajar nembang macapat malam itu. Tidak lebih dari separo dari jumlah undangan sms dan ajakan yang disebarkan. Tetapi justru akan mengagetkan kalau yang mau ikut adalah banyak orang. Dan pula tidak akan kaget kalau nanti akan ada banyak yang marah jika warisan leluhur ini diaku oleh negara lain (seperti di beberapa kasus terakhir).

Soal hal semacam ini memang telah menjadi ironi yang menjadi cemilan harian bangsa ini, ketika berbicara mengenai kebudayaan. Hal-hal yang berkenaan dengan kebudayaan dan tradisi terudiksi keberadaannya di dalam slogan, event, dan proker-proker. Padahal memiliki kebudayaan adalah mengenai mempelajari, menggunakan, dan mengambil kearifannya. Pula bukan sekedar mencomot nilai-nilai tradisi untuk ditempelkan dalam paket pertunjukannya.

Masih ada di desa-desa, latihan-latihan rutin semacam ini, meski tidak banyak terekspos, mereka ada, bukan pula mengenai sebuah pertunjukan, tetapi sebuah intensitas. Denyut kebudayaan semacam itulah yang oleh Komunitas Tanggul Budaya coba geliatkan. Harapannya adalah untuk menjadi sebuah wadah yang menjembatani generasi tua dan generasi muda untuk belajar bersama menggali apa yang dimiliki oleh kebudayaan sendiri.


Sebuah usaha: Tidak sekonyong-konyong merasa telah menjaga kebudayaan.

Ini tentang belajar, kami berproses, dan latihan nembang ini adalah salah satu bentuk yang lahir dari kegelisahan yang telah didiskusikan. Gayung bersambut ketika Mbak Lestari ‘Cempluk’ berkenan untuk mengajari. Kami menikmati proses belajar itu, dan tulisan ini ingin menyampaikan perihal itu.

Penyampaian ini adalah sebuah ajakan untuk kawan-kawan yang ingin terlibar belajar nembang bersama. Tetapi jika ada sebuah pertanyaan, ini untuk apa, akan tidak gampang kami menjawab. Sebab ini tentang menjalani, tentang sebuah belajar menjaga intensitas, tentang pencarian kembali cita rasa terhadap hasil kebudayaan sendiri. Sedang tentang sebuah goal atau manfaat praktis, memang tidak dirumuskan dalam penyelenggaraan latihan rutin ini.

Lalu ketika ada sebuah pertanyaan, kenapa kami mengajak kawan-kawan untuk terlibat, dan akan terus mengajak. Jawabnya ialah karena komunitas ini bernama Komunitas Tanggul Budaya. Kekuatan sebuah tanggul kebudayaan tentunya akan bertambah ketika semakin banyak dan terbagi kesadaran pada individu-individu untuk membentengi kebudayaan sendiri.

Nota bene: Kami Komunitas Tanggul Budaya mengundang siapa saja yang berkenan.

Pojok Sejarah,

Surakarta, 2 Desember 2016

Thursday, 24 November 2016

Surat Terbuka untuk Kawan yang Wartawan (Idnas Aral)

"Kidung Balik Sangkan Paran" oleh Lawu Warta

Sebab kita sudah berkawan cukup lama dan sebab ini adalah surat terbuka, tentunya aku sisihkan perasaan ewuh pekewuh pergaulan. Tanpa keterbukaan tidak ada perkawanan dan tanda adanya surat ini tidak akan ada yang tercatat, dan peristiwa yang lewat, hanya akan menjadi sesuatu yang lewat, begitu saja.


Tempo waktu, ketika terlibat dalam suatu acara 40 hari Joko “Bibit” Santoso, telah kukirimi kau sebuah press rilis dan undangan untuk meliput. Pula telah kusebar ke media-media massa yang lain, konten acara kami, kebudayaan. Kami memang perlu perananan media massa untuk sebuah gerakan kebudayaan. Ada keyakinan para pencari berita akan datang pada acara itu.

Keyakinan itu bukan lantaran, aku memiliki kemampuan “lobiying” sebagaimana biasa digunakan para organisator event, tetapi sebab ini mengenai sosok yang tidak sembarangan, ini mengenai kualitas! realitas! intensitas! Serta lahir dia di Solo, besar dia di Solo, Berkarya dia di Solo.

Melalui Pesan dari WA, saya terima kabar begini:

jek// sori banget, nang ***** berita budaya rapayu.//......dadi ki tak omongi sik ben ora diarep-arep.

Aplikasi WhatsApp atau WA yang baru saja saya instal- sebab kebutuhan menghubungi para wartawan- itu yang berbicara padaku, jadi saya mengurungkan niat untuk membalasnya dengan: lha po koranmu kui restoran cepat saji ta bro kok urusan e gur payu opo ra payu. Aku urungkan sebab itu sebuah chatingan tidak ada frekuensi satu ruang, tidak ada nada suara, sangat terbatas dan penuh reduksi kemesraan. Akupun cukup membalas: Ok! Rapapa bro!

"Pertanyaanku pada Generasi Pecundang" oleh Reakses
Dan malam itu berjalan tanpa ada peliputan oleh media massa, sepengetahuanku. Jadi memang berita tentang kebudayaan itu memang tak laku, tentu mereka telah lebih tahu. Tetapi jikalau itu event dari pemkot yang berlabel kebudayaan tentulah pasti mereka liput. Lalu masyararakat luas yang membaca, “o even kebudayaan i yang megah seperti ini.” Dan masyarakat yang sebenarnya berpotensi untuk membuat pristiwa kebudayaannya sendiri menjadi minder untuk membuat peristiwa budayanya sendiri, sebab tidak ada dana besar sebagaimana even kota. Dan merekapun berduyun-duyun untuk selfie dan ber-hastag.

Sung Boga Raga Jiwa karya Eri Aryani

Itulah yang selalu dilawan Pak Bibit semasa hidupnya, ia membuat gerakan gerilya budaya, ialah untuk membangkitkan semangat berkesenian di kampung-kampung dalam kesederhanaan. Agar potensi-potensi, kekuatan-kekuatan kebudayaan yang memang secara esensial dimiliki masyarakat tidak hilang. Istilah Gerilya adalah istilah perang, secara kebudayaan kita memang sedang berperang atau lebih tepatnya diserang, dan sebelum kita berhenti menjadi konsumen dari kebudayaan luar yang masuk melalu televisi dll, perang belum selesai.

Kebudayaan memang bukan mengenai jualan, bukan tentang laku tidak laku, kebudayaan adalah mengenai daya tahan suatu bangsa, mengenai masa depan suatu bangsa, dan payu ora payu adalah mengenai barang dagangan.

Malam itu berjalan cukup khidmat, orang-orang dari berbagai lapisan, generasi, profesi, wilayah hadir, melibat sebagai satu kesatuan, dan memang itulah kebudayaan, itulah peristiwa kebudayaan, dari masyarakat untuk masyarakat, bukan bermula dari perincian anggaran dana untuk goal atau offside. Baru kali itu kutemui seniman tua-muda kumpul satu level: dalam segala artian, Bahkan kujumpai salah satu aktor kawakan dari Teater Sahita, Mbak Cempluk sempat membantu isah-isah. Sampai acara selesai dan ditutup dengan doa dari Eyang Lawu Warta yang membuat merinding bahkan menangis para yang hadir.

penampilan Teater Delik
Yang sudah memang berlalu sudah tapi jangan biarlah sudah, sebab bisa-bisa kita lupa sejarah. Dan surat terbuka ini kuakhiri tanpa penutupan, biar benar-benar terbuka tanpa penutup.


NB: Surat ini saya tulis kala telah turun tekanan darahku yang sempat meninggi dan demam tinggi yang sudi turun dan tentunya ditulis dengan rasa cinta yang teramat.
Ibu-ibu Teater Sangir
Jaga Malam oleh Zenit
Lurung Kala Bendhu oleh Teater Warung
Syukuran kelahiran sapi milik teater Ruang
Maju Tak Gentar oleh Sangir 'Anak-anak'

Saturday, 22 October 2016

Dari Gedangan untuk Indonesia.


Hari kemerdekaan Bangsa Indonesia yang jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945, yang di proklamirkan oleh sang Dwi Tunggal, Sukarno dan, Hata. Yang hingga kini terus dirayakan oleh para masyarakat Indonesia dalam tiap taunnya, dirayakan dengan berbagai cara, mulai dari lomba, jalan santai, sepeda santai, dangdutan, jogetan, mengecat marka jalan, mengecat pagar rumah, mengibarkan bendera di halaman-halaman tiap rumah, upacara pengibaran bendera, dan Tirakatan.   

Tirakatan yang sebiasanya dilakukan pada malam tanggal 16 Agustus untuk memperingati dan memaknai kembali arti kemerdekaan yang sudah dinikmati oleh bangsa Indonesia yang pada tahun 2016 ini sudah menginjak angka 71 tahun. Biasanya para warga masyrakat melek hingga hari berganti pada tanggal 17 Agustus, mereka berkumpul disuatu tempat menyusun sebuah acara, yang dimaksut untuk ikut merayakan kemerdekaan Indonesia. Dan Teater Sandilara pun tidak ketinggalan dalam tirakat itu, dalam usaha itu, dalam upaya memaknai kembali arti kata merdeka, mepertanyakan kembali apakah kita telah benar-benar merdeka 100 prosen, kalau kata Tan Malaka.

15 Agustus, sebagian dari kami (Teater Sandilara) telah sampai di Desa Gedangan, Salam, Karangpandan, untuk memenuhi sebuah tugas, yaitu berpentas mengisi acara tirakatan yang diadakan oleh Desa Gedangan. Tidak seperti pentas Mlarat sebelum-sebelumnya, sehari sebelum di mulainya pementasan kami telah mencoba hadir di Desa Gedangan, karena memang kami harus menjalankan tugas lain, yaitu mencoba berkolaborasi dengan anak-anak Desa Gedangan, latihan bersama, untuk pementasan yang akan diadakan pada tanggal 16 Agustus di hari berikutnya. Kami terkejut dengan antusiame dari warga Gedangan yang mau latihan Teater untuk ikut dipentaskan di dalam acara tirakatan esok harinya. Latihan berjalan, anak-anak senang, tertawa, serius dalam latihan, betapa antusiame tersebut belum pernah kami dapatkan di Desa yang lain. Selesai latihan, kami leha-leha, santai, menyruput kopi, merokok, terlibat obrolan dengan warga Desa Gedangan. Sampai pada malam harinya, kami lebih lagi terkejut, sekelompok warga lain hadir, di pimpin oleh Bapak RT, mereka ingin juga seperti anak-anak, latian Teater, ingin juga berpentas, untuk tanggal 16 nya. Antusiasme yang belum biasa kami dapatkan pada desa-desa sebelumnya. Meski malam telah larut, udara dingin, dengan gontai kami menyanggupi latihan lagi. Kali ini beberapa dari kami juga melibatkan diri di panggung, dua dari kami ikut pula berpentas, menyemarakan pementasan, ikut dalam pementasan. Latihan berjalan, singkat, beberapa jam saja, dengan cara penuangan dialog, para pemain hanya diberi batasan-batasan dialog, dan arah dari pementasan, sebelihnya akan dibiarkan saja terjadi diatas panggung, luwes, tidak di haruskan sama dengan latihan sebelumnya, tapi tetap dalam batasan. Dan latihanpun usai pada dini hari.

Memang kami cukup lelah dan kuwalahan menghadapi antusiasme warga Desa Gedangan, namun, kami bahagia, kami mendapat kejutan yang tidak pernah kami bayangkan sebelumnya, di tengah malam, para warga masih berniat untuk latihan Teater, masih mengusakan untuk tidak tidur demi sebuah pertunjukan Teater, apalagi Bapak RT yang jelas usianya sudah tidak muda lagi, namun masih memiliki semangat juang yang tinggi, untuk bertahan, menahan kantuk demi sebuah latihan Teater.  Selalu ada saja kejutan yang hadir yang diberikan Tuhan kepada kami, disetiap Desa yang berbeda, pula akan menghasilkan peristiwa berbeda, selalu berubah, meski dengan naskah yang sama, tapi dengan pristiwa yang berbeda.

Malam hari nya, 16 Agustus. Warga mulai sayuk-sayuk berdatangan, acara di mulai, petama dengan sambutan, shalawatan dari Ibu-Ibu, dan sampai pada dimulainya pementasan, yang pertama kali adalah anak-anak Desa Gedangan, dengan satu kali saja pertemuan latihan, mereka melakonkan pementasan dengan baik, semua terhibur, anak-anak sendiri senang, mungkin pula orang tua dari anak-anak mereka pun bangga dengan anak-anaknya yang berpentas. Dan anak-anak tersebut semoga mulai terpercik, bertanya akan status kemerdekaan yang mereka banggakan, mulai berfikir, apakah mereka telah benar-benar merdeka pada setiap harinya.

Dan seterusnya adalah giliran kami mementaskan Mlarat. Pemain pertama muncul, Marni, yang disambut dengan riuh penonton, belum pula dialog dimulai, warga sudah riuh dengan kemunculan Marni, tidak seriuh biasanya, kemunculan seorang pemain perempuan di adengan pertama seperti guyuran air di tengah padang pasir. “Mlarrrrraaaaaaaaaaaaaaaaaat” Marni mulai dengan dialog pertama, Bagong masuk ke dalam panggung, adengan berjalan, ada energi yang lain lagi, yang membuat seluruh tim pementasan merasa disutik oleh kekuatan dari para penonton, para pemainpun bermain seperti kesurupan, lepas, kedekatan dengan penontonpun semakin terlihat, improvisasipun terlihat begitu taktis dan mesra, tidak lagi canggung seperti pementasan sebelumnya. “Pabrik kui asu” , dialog Bagong dilontarkan, dan para penonton mengiyakan dialog tersebut, mungkin karena mereka pernah terlibat dalam suasana Pabrik, menjadi pekerja pabrik, kena PHK, pencopotan buruh-buruh. Dialog tersebut begitu menyatu dengan warga Gedangan, dialog itu begitu meriah saat di ucap di Gedangan, yang mungkina adalah warga Gedangan akrab dan terkena imbas negatif atas kegiatan Pabrik-Pabrik ber-idiom kapitalisme. Dan malam itu Mlarat benar-benar akrab dengan penonton, mlarat merasa nyawiji , jadi satu kesatuan, hadir, menjadi peristiwa, seperti sebuah proyeksi atas keseharian warga Gedangan. Betapa lebih lagi kami bahagia, ada beberapa warga yang mondar-mandir kamar mandi, kebelet pipis karena tidak habis habisnya tertawa, bahagia, katarsis dalam pementasan Mlarat. Pementasan Mlarat usai, Marni menjadi primadona hari itu, warga jatuh cinta dengan Marni.

Yang ketiga, dan terakhir adalah pementasan oleh Pak RT dan anak buahnya, Pak RT yang berperan sebagai Jokiwiw, memakai jas merah, peci hitam, duduk diatas kursi empuk, dan anak buahnya duduk dibawahnya. Mempertanyakan kemerdekaan, menayakan siapa diri mereka, siapa sejatinya mereka, apakah benar mereka telah menjadi bangsa Indonesia seutuhnya, yang merdeka seratus persen. Dan Pak RT yang menjadi tokoh utamapun, dengan satu kali latihan, sama sekali tidak canggung dengan panggun, tidak mau kalah pula melakukan improvisasi-improviasi, pengembangan-pengembangan dialog yang sebelumnya diberikan, meski hampir-hampir banyak mengulur waktu dan hampir keluar dari koridor yang sebelumnya diberikan, tetapi dapat dikuasai dan selesai dengan apik, warga senang 3 kali, kami lebih lagi, berkali-kali.

Tirakat sendiri dapat dimaknai juga sebuah usaha, sebuah laku , untuk mencapai sebuah tujuan, untuk menuju pada. Dan malam itu, adalah usaha warga Desa Gedangan untuk memaknai kembali arti kemerdekaan, kembali lagi mengingatkan bahwa hari itu, bangsa Indonesia telah merdeka selama 71 tahun. Memang, kalau di logika, sama sekali tidak wajar, memperingati dan memaknai kemerdekaan kok dengan panggung pertunjukan, dengan pementasan-pementasan, dengan shalawatan, nyanyi-nyanyi, tapi, itulah cara warga Desa Gedangan, dan ribuan Desa lain dalam merayakan sebuah hari jadi kemerdekaan bangsa mereka, meski harus lagi dipertanyakan, sudah merdekakah bangsa kita hari ini. Cara-cara itu adalah untuk tetap menjaga silaturahmi, kerukunan antar manusia di dalam Desa tersebut, berkumpul, melakukan sebuah kegiatan demi kemaslahatan bersama, adalah suatu upaya, tirakat untuk mencoba terus merdeka. Dan memang, itulah cara warga masyrakat kampung untuk nyengkuyung anak kecil bernama Indonesia. Indonesia terbilang anak kecil kalau di bandingkan dengan kampung-kampung lebih dahulu lahir daripada Indonesia. Dan semoga Indonesia sebagai Negara paham akan hal itu, bahwa Negara Indonesia selayaknya tidak menginjak-injak terhadap kepada yang lebih tua, kepada desa-desa di Indonesia, yang nantinya bisa kuwalat!

Pula kami, melakukan sebuah tirakat, sekelompok muda-mudi yang berusaha untuk membenahi diri, dengan cara yang kami yakini dan senangi, dengan apa saja, yang mungkin dianggap tidak logis dan wajar. Memperbaiki diri kok dengan berpentas, berteater, berkelompok yang sama sekali tidak ada keuntungan dari segi uang. Tapi inilah usaha kami, tirakat kami, menuju pada yang sejati, yang tidak palsu, yang tidak pernah ingkar janji, yang memberi kami daya setiap hari, gairah yang tak henti-henti, yang memberi bukti bahwa ada energi yang tidak akan mampu kami petakan, yang selalu luput dari jangkauan imaji kami. Dan kami mencoba selalu percaya terhadap apa yang kami kerjakan hari ini, kemarin, esok dan semoga seterusnya. Bahwa kami yakin, apa yang kami lakukan akan mempunyai pengaruh terhadap masa yang akan datang, meski tidak logis tidak wajar. Tapi inilah kami hari ini, kami yang selalu mempunyai pengharapan bahwa kehidupan akan lebih baik.

Bagoes
  


12 oktober 2016. 

Wednesday, 7 September 2016

Politik Bisa Saja Suci (Inug Wijaya)

POLITIK BISA SAJA SUCI

Politik itu tai kucing. Pandangan negatif terhadap politik yang menghujat dirinya sebagai kotoran binatang sering kita dengar dan bahkan mungkin pernah kita ucapkan. Bukan tanpa sebab kita merendahkan politik yang notabene merupakan salah satu bidang kelilmuan di ranah sosial yang pada kenyataannya sering disalahgunakan oleh para penggunanya untuk melindungi kepentingan pribadi mereka. Hal ini menyebabkan fluktuasi di dalam alam demokrasi ini.

Bukan suatu kesalahan ilmu politik ketika masyarakat merasa dirugikan dengan adanya bidang keilmuan ini. Toh ilmu ini juga sebenarnya memiliki manfaat dan daya guna yang besar bagi kita. Misal, ketika menghadapi keadaan dimana kita diharuskan untuk mengutamakan sebuah kepentingan yang berdampak besar bagi diri kita dan/atau orang lain, dengan catatan bahwa kepentingan tersebut masih dalam kirodor yang jelas dan tanpa merugikan orang lain. Di saat ini kita boleh saja menggunakan politik, karena memang tujuan adanya ilmu politik adalah untuk itu.

Lalu, mengapa kita menghujat politik? 

Bila kita akan menjawab pertanyaan ini, kita tidak dapat terlepas dari subjek ilmu politik. Salah satunya yaitu politisi. Mereka adalah praktisi utama dalam menjalankan roda politik, yang dalam hal ini kita memberikan batasan pada konteks pemerintahan dan kenegaraan. Pada keadaan ini, melalui pemilihan umum yang telah disepakati sebagai salah satu bentuk demokrasi sebagai sarana yang digunakan masyarakat untuk memilih wakil mereka yang duduk di pemerintahan, dengan maksud sebagai jembatan untuk kepentingan-kepentingan mereka, sering kali terjadi pengingkaran terhadap kesepakatan yang muncul saat mereka terpilih sebagai seorang wakil. Hal ini tentunya membuat gerah para pendukung mereka yang merasa dicurangi dan bahkan yang bukan pendukung mereka akan semakin bersemangat melempar hujatan.

Politik bisa saja suci. Pasti bisa dan akan selalu terbuka kesempatan untuk membenahi ini. Titik pembenahan ini tidak melulu pada teori-teori yang banyak diperdebatkan oleh para pakar, namun pada diri kita itu sendiri. Bagaimana cara kita menggunakan politik sebagai sebuah kebaikan untuk kehidupan manusia. Bukan menggunakannya sebagai kendaraan untuk menumpas kepentingan lain, namun untuk melakukan kompromi dan mencari alternatif pada perbedaan yang terjadi. 

Terima kasih.