21 Mei, kami (Teater Sandilara) mulai kembali berpentas,
mengakrabkan diri dengan panggung, setelah beberapa bulan kami latihan dengan
naskah ‘Mlarat’. Setelah hampir satu tahun kami tidak berpentas lagi. Pabrik,
Sukoharjo, yang saat itu menjadi tempat kami berpentas. Kami punya kenangan
yang tidak akan dilupakan dengan Desa Pabrik. Karena secara tidak langsunglah
Desa Pabrik adalah awal mula kami, adalah salah satu yang secara tidak langsung
turut menjadi saksi atas kelahiran kami. Kerna pada tanggal 23 Desember 2013,
tiga tahun yang lalu kami kali pertama berpentas, menetapkan diri sebagai
kelompok tetaer, bersepakat bersama bahwa Sandilara adalah Teater, karena
‘kecelakaan’ yang terjadi yang disebabkan oleh permintaan Desa Pabrik kepada
Idham Ardi untuk berpentas disana.
Sebelum berpentas, seperti biasa, dari pagi hingga petang
kami mempersiapkan kebutuhan-kebutuhan pelengkap, ada yang memsak untuk
konsumsi, usung-usung gamelan,
mempersiapkan tata lampu, tata pannggung dan lain sebagainya. Hingga pada malam
hari, kami menempati posisi masing-masing dari tanggungjawab kami, para pemain
memulai makeup, Mas Bei memimpin
kelompok karawitan ‘kurawa’ mencoba notasi-notasi sebagai pengiring pementasan,
dan untuk menarik perhatian warga sekitar, bahwa pementasan akan segera
dimulai, sembari Mas Bei mendengar tabuhan-tabuhan para pengrawit, Mas Bei
mempersiapkan kemenyan, sebuah ubo rampe khusus
yang selalu dipakai Mas Bei dalam mempersiapkan gamelannya.
Jam setengah 8, kami telah siap untuk berpentas, pemain
telah pada posisi masing-masing. Suara gamelan dari kelompok karawitan ‘kurawa’
terus memenuhi suasana di tempat kami berpentas, para warga sudah mulai duduk
bersiap akan menikmati sajian dari kami, ada pula beberapa yang yang baru
datang, satu persatu. Malam itu pementasan tidak hanya dari kami, namun ada
‘Teater Dalan Cilik’ , anak-anak dari desa Pabrik yang dipimin oleh Idam.
Mereka, ‘Teater Dalan Cilik’ telah kali kedua berpentas, melakonkan pementasan
yang sama, setelah sebelumnya di Desa Mojo Gedang, Karangayar, di kediaman Mbah
Paiman dalam tajuk Gerilya Budaya oleh Tanggul Budaya. Dan malam itu, mereka
memulai mengawali pementasan sebelum kami, mereka tampil lebih awal daripada
kami. Mereka yang berumur rata-rata kurang dari 15 tahun, yang masih kanak-kanak,
melakonkan pementasan dengan lepas, meski sedikit demam panggung, tapi mereka
menyajikan pementasannya dengan apik, khas kanak-kanak yang malu-malu, tapi
menarik. Mereka mencoba menyampaikan tentang hilangnya lahan bermain mereka
kini, sempitnya tanah lapang untuk mereka melakukan permainan secara bersama,
karena tanah lapang telah diganti dengan rumah-rumah, pabrik-pabrik dan
bangunan-bagunan lainnya. Memang kini masa kanak-kanak semakin lama semakin
dipersingkat, lahan bermain degantikan dengan alat bermain yang canggih,
telepon pintar, yang secara tidak sadar menghilangkan masa berkelompok bagi
anak-anak, tidak hanya di perkotaan, daerah pinggiran kota pun semakin lama
semakin terkena arus kemajuan zaman yang bergerak mundur.
Usai pementasan dari Teater Dalan Cilik. Maka saatnya
kami untuk naik panggung, mempertanggungjawabkan apa yang telah kami mulai
sejak awal latihan, menyampaikan apa yang ingin kami sampaikan lewat naskah
‘Mlarat’ karya dan sutradara Idnas Aral. Para pemain telah siap pada posisi
masing-masing. Adegan pertama dimulai, Lindri sebagi Marni mulai dengan dialog
‘Mlaaaaraaaaaaaaaat’ , lalu disambut oleh Ajima sebagai Bagong dengan “Enek opo to Mar, ngopo kursine ?”. Dan
selanjutnya adegan demi adegan terlewati. Mlarat, adalah sebuah usaha dari kami
untuk menggambarkan sebuah kemlaratan dari sebuah keluarga miskin, yang
mempunyai seorang anak, anak tersebut karena kebiasaan judi nya menggadaikan
motor milik temannya, dan karena kalah maka Anak dari keluarga Bagong dan Marni
si Samsul tidak dapat membayar motor temannya yang telah digadaikannya, dan mau
tidak mau, Bagong lah yang harus bertanggungjawab melunasi hutangnya, karena
tanggungjawab nya sebagai kepala keluarga dan seorang Bapak. Samsul yang
kelewat manja, dahulunya pernah di belikan motor namun juga raib karena judi,
dan motor itu di dapat dari hasil menjual tanah keluarga Pak Bagong. Kami ingin
mencoba mewartakan tentang kejadian yang memang banyak terjadi, bahwa untuk
mengikuti perkembangan zaman, tuntutan pendidikan bahkan gengsi, tanah-tanah pertanian harus rela di jual, entah dalam skla
besar atau beberapa ratus meter saja. Dan akibatnya banyak, tanah-tanah yang
seharusnya dapat menjadi sumber produktifitas, malah raib, hilang produktifitasnya
dengan banyak cara, tanah yang semestinya menjadi lanah bermain anak-anak
hilang karena dijual. Begitulah Mlarat, kemlaratan, menghempit, menjepit,
hingga Bagong merelakan dirinya kembali menjadi seorang maling demi sebuah rasa
tanggungjawab, yang akhirnya Bagong tertangkap, di bakar hidup-hidup oleh
masyarakat, dihakimi tanpa ada sempat untuk membela, begitulah nasib yang
mlarat di Negara ini, tak punya nilai tawar barang sedikit saja, sedang sang
pemilik modal, dapat melenggang di kursi empuk, meski telah mencuri demi alasan
ketamakan, meski telah terbuki, toh bisa lari ke negara tetangga yang jelas
akan melindungi.
Gambaran singkat mengenai naskah Mlarat. Pementasan usai
malam itu, yang tentu banyak evaluasi yang harus kami benahi untuk perjalanan
pementasan kami berikutnya. Namun, ada yang menarik, ada yang tidak terduga seperti
biasa. Pementasan usai, penonton bertepuk tangan. Dan sambil meninggalkan
tempat duduknya, ada seorang Ibu yang berucap “Ah lumayan, isoh di-nggo sinau nang omah, ben karo anak-anak iki do
ngerti” yang artinnya kurang lebih, ‘”ah lumayan, bisa untuk bahan
pelajaran dirumah, dan agar anak-anak yang menonton ini juga faham”. Ada
seorang peonton yang menyataan dengan spontan, tidak terduga, bahwa apa yang
kami sampaikan akan digunakan sebagai bahan belajar, belajar untuk menyikapi
dan memahami keadaan. Kami cukup kaget, bahwasanya apa yang kami sajikan dapat
tersampaikan dan diterima sebagai sebuah bahan pemikiran. Bahwa benar itu yang
ingin kami capai, tapi itu hanya sebatas ingin, dan ketika ada kata spontan
tersebut, kami bahagia dan lega. Karena awal kami memutuskan berpentas di
kampung adalah karena kami sumpek dengan gedung pertunjukan resmi, karena kami
menganggap tidak ada lagi pertunjukan yang menampakan keadaan yang nyata,
keadaan yang sebenarnya, meski toh kami juga belum benar-benar dapat mepertunjukkannya,
namun kami terus berusaha dan mencari, berusaha ngudari benang-benang kusut yang ada dikepala kami, mengolahnya
dalam sebuah bentuk laku, mewujudkannya dengan pertunjukan teater karena itu
yang kami yakini dapat menjadi sebuah jembatan antara wacana di kepala dan
penyampaiannya kepada khalayak luas.
Begitulan pementasan Mlarat kali pertama, yang kami
pentaskan di tempat yang bersejarah bagi kami, di Desa Pabrik, tempat awal kami
berpentas, mula kami meyakini akan terus berpentas di desa-desa hingga berakhir
apa yang kami yakini. Mlarat di Pabrik, menemukan katarsisnya, pensucian yang
semoga di alami oleh yang menyaksikan, menjadi saksi atas niat dan usaha kami
untuk tidak lekas bunuh diri dengan segera.
2016-12-10
Slamet Bedun