Setyo termangu-mangu, kertas dan alat gambar berserakan di sekitarnya. Sudah beberapa hari Setyo menghabisken waktu dengan menggambar, menggambar, menggambar, tapi tak lupa merokok dan makan, pun juga minum. Meski terlihat sebagai seorang yang depresi, sebab telah hilang raut bahagia dari diri Setyo, ia tetap kuat makan, merokok dan juga minum.
Sudah beberapa hari Setyo tidak pulang ke indekosnya. Ia memilih tidur bersama Lèk Tilem di kios buku. Tanpa sepatah kata pun, Setyo membuka mulut hanya untuk merokok, makan, dan minum. Dan yang cukup aneh, selama beberapa hari semenjak Setyo termenung dengan kertas gambarnya, Lèk Tilem tidak pernah melihat Setyo ke kamar mandi, tidak kencing, tidak buang air besar, dan pula tidak mandi. Bau tubuhnya memang belum begitu mengganggu bagi Lèk Tilem dan juga Slamet. Tapi... kentutnya yang naudzubillah kurang ajar, tiada bunyi, tetapi benar menusuk hidung, betul-betul jahanam.
Tapi pun, Lèk Tilem dan juga Slamet segan untuk memaksa Setyo ke kamar mandi. Mereka mencoba maklum. Tapi Slamet diam-diam mencari tahu, apa penyebab Setyo sampai begitu, menggambar sepanjang waktu. Sebab setahu Slamet, pun Lèk Tilem, Setyo tidak memiliki kecenderungan terhadap karya rupa. Ia lebih sering menghabiskan waktunya untuk wara-wiri, jalan-jalan, makelaran, atau kadang-kadang bermusik di waktu luang. Ia lebih suka guyonan, bercerita tidak jelas, bahkan sedih baginya adalah orang lain.
Lèk Tilem dan Slamet mencoba berprasangka baik. Siapa tahu, ndilalah Setyo jatuh cinta dengan sebuah karya seni rupa sehabis melihat pameran lukis atau ke museum lukis, dan tiba-tiba Setyo memutuskan untuk menjadi seorang perupa mutakhir, kenamaan. Tapi kok wagu, seni ya seni, mandi dan buang air itu kan juga manusiawi, masa iya pekerja seni tidak manusiawi.
Usut di usut benang yang kusut, eee ternyata Setyo ini sedang patah hati. Slamet menemui kenyataan pahit, perempuan yang digandrungi Setyo telah dipangku, dipeluk, dicium oleh mas mas nyeni. Dasarnya mbaknya yang digandrungi Setyo ini nyentrik bin nyeni, ya seperti tutup ketemu tumbu, sambel ketemu lele dan nasi. Ya saling melengkapi dan klop. Sebab itulah muasal Setyo berusaha belajar menggambar, menggambar, menggambar sepanjang waktunya, karena dendam kesumat sama mas-mas nyeni yang memiliki pengikut sampai ribuan di media sosial. Setyo berusaha untuk tidak menjadi dirinya, dalam arti, ia lari dari bakatnya, kecenderungannya, kesukaannya, dan kecintaannya.
Aduh, kok sampai begini tragis si Setyo, pikir Slamet dan Lèk Tilem. Setelah mendengar cerita yang dituturkan Slamet dari hasil investigasinya, Lèk Tilem pun putar otak, cari cara untuk menghibur hati Setyo yang gundah gulana. Pelan-pelan Lèk Tilem mengumpulken kenekatannya....
"Ealaaaah, Tyooo... Setyoo, kok cuma urusan perempuan saja bikin kamu limbung setengah mati, apa yang kamu lakukan itu kalah jauh sama tukang nasi goreng..."
Hening, diam, usaha Lèk Tilem sepertinya akan berbuah gagal. Setyo diam, tapi... lamat-lamat ia memandang Lèk Tilem, wajahnya berubah merah, Setyo seperti hendak marah.
"Hlooo iya, bener itu kalah sama tukang nasi goreng.... Ah cemen, masalah remeh begitu kok..." Slamet berusaha, kini pandangan Setyo menuju Slamet. Slamet sedikit tegang, tatapan Setyo makin dalam, "duh mati aku," pikir Slamet.
"Begini hlo, Tyo... Setyo... maksudnya, coba kamu perhatikan tukang nasi goreng di pinggiran jalan, ada nasi goreng surabaya, tegal, china, atau chinesefood, beragam, ta. Tapi mereka jualnya di Solo, di Jawa Tengah. Mereka itu berdaulat, atau sekurang-kurangnya nasi gorengnya yang berdaulat. Meski di daerah lain, nasi goreng itu tetap setia pada dirinya, teguh, teteg, dan tatag. Tidak meninggalkan surabayanya, tegalnya, cinanya. Meski bahan pokok tetap sama; nasi, cabe, dan bumbu-bumbu yang hampir mirip, tapi yang membedakan takarannya, cara pengolahan, bahkan wajannya. Dan nasi goreng itu berdaulat, tidak gentar dan takut meski di Solo, tapi tetep ngeyel membawa cita rasa tegal, misalnya. Sebab, Set, selera itu akan menemukan pasangannya, selera tidak akan berdiri sendiri.
Hla kamu itu mbok ya o niru nasi goreng ta, berdaulat sama Setyomu, bersetia sama dirimu, kecenderunganmu, sebagai Setyo. Nanti ta, kamu pasti akan menemukan orang yang cocok dengan cita rasa yang kamu miliki. Begitu pula nasi goreng, yang berdaulat atas dirinya sendiri, membawa dirinya tetap dan ajek sebagai dirinya, kemana pun nasi goreng itu pergi. Tidak luntur dan malah ikut lebur menjadi yang selain dirinya. Jadi, kamu itu kalau tidak suka dengan menggambar ya ndak usah, itu gambarmu dilihat malah seperti setan semua, malah dikira orang kamu sedang menerawang kios ini, mencari-cari dedemit untuk diusir. Sudah, ta... sudah, Tyo...."
Wajah Setyo perlahan berubah. Tiba-tiba ia terkekeh, ngguyu, ngakak, terbahak-bahak.
"Sampean hlo, Lèk, kok lucu menasihati saya. Apa tadi? Kalah sama nasi goreng? Setiap rasa akan menemukan jodohnya? Selera tidak berdiri sendiri? Hla sampean itu sudah berapa lama tidak ditemukan siapa pun, sesama kere kok menasihati!"
Den Bagus
Klaten, 30 September 2018