Saturday, 30 April 2016

Obat Baru : Pil Google !! (Bagus Prakoso)

Kalau pusing sudang menyerang, ya cari pil, beli obat, di minum dan ces pleng rasa pusing di kepala serta merta hilang, badan terasa lebih baik. Atau saja kalau flu menyerang, cari lagi obat khusus untuk flu, yang murah hingga yang mahal, yang penting rasa sakit hilang, flu hilang, tubuh terasa lebih baik dan mampu melanjutkan kegiatan lagi.

Tapi, pernahkan kita curiga terhadap obat-obatan itu, apakakah kita secara tidak sadar telah ketergantungan obat-obat tersebut, dan apakan tidak ada efek samping dari obat-obat itu yang nyata-nyata adalah awetan dari bahan kimia ?!

Jika pada pribadi saya, jawabannya “ya”, pernah saya ketergantungan pada obat-obtan itu, saya salah seorang yang mudah terkena sakit kepala, dan akhirnya saya sakit sedikit obat, sakit lagi, obat lagi, hingga di saku saya selalu ada obat tersebut, dan pernah saya tanyakan ke beberapa orang dokter Bapak saya, penggunaan obat itu mau tidak mau memang akan berpengaruh pada ginjal, dan obat tidak pernah menyelesaikan masalahannya, hanya akan meredakan, tidak akan pernah mampu menyelesaikan sampai tuntas akar dari sebuah penyakit !

Tapi toh itu bukan kewajiban saya untuk membahas lebih lagi, bahaya, dikira saya nanti anti kemajuan, menolak perkembangan zaman, dituduh paling benar, idealis, apalagi ? banyak macamnya ! Yang akan saya tuliskan setelah ini juga akan mengandung kemungkinan yang sama, saya akan di tuduh gila, menolak perkembangan zaman, dan sama, akan banyak lagi tuduhan-tuduhan lain. Dan itu terserah pembaca, saya hanya mencoba jujur sejak dalam pikiran.

Di sisi lain ada pil baru, yang juga sama ces pleng-nya, yang dapat seketika dapat dianggap merampungi masalah, bukan masalah, lebih tepatnya adalah sebuah tanya. Tentu tanya akan selalu menuntut jawab, dimana saja, dan akan merundung siapa saja. Seseorang yang memiliki tanya akan terus mencari jawab dengan berbagai cara, salah satunya adalah meneggak pill yang bernama google, sebuah mesin pencari yang lahir oleh sebuah perkembangan zaman yang mutakhir, yang konon akan menjawab tantangan zaman yang kian bergerak pesat ke arah sebuah pembaharuan era teknologi.

Dalam hal ini, mensin pencari google saya ibaratkan sama hal nya dengan pill, sebuah pill ajaib yang di anggap canggih dan mutakhir untuk menemukan sebuah jawab, dengan cara yang kilat dan mudah. Tentunya seperti sebuah pill, ces pleng, tapi sekali lagi, pernahkan kita curiga akan sebuah hal yang instan tersebut akan berdampak negatif ?

Tak ubahnya pil yang akan menggrogoti kinerja ginjal kita, sebuah pil baru bernama mesin pencari tersebut pula akan menggerogoti semangat juang kita untuk mencari jawab. Sedangkan jawab akan memunculkan sebuah tanya baru kembali, terus dan tidak akan berhenti sampai jantung berhenti memompa aliran darah ke seluruh bagian tubuh. Senyatanya kita pahami bersama, bahwa mensin pencari tersebut memiliki keterbatasan informasi, hanya sepotong-potong saja, yang kadang dengan naif akan kita percayai sepenuhnya, dan informasi yang ada tidak akan se-gamblang buku atau bahkan pengalaman yang dialami tiap pribadi. Dengan adanya sebuah kecenderungan yang instan dan serba mudah tersebut, maka akan memunculkan sebuah permasalahan yang bernama kemalasan berfikir secara radikal, kencenderungan tersebut ada karena kemudahan akses yang di sajikan oleh sebuah mesin pencari yang di dalamnya mengandung informasi-informasi yang kadang tidak akurat dan sulit untuk di pertanggungjawabkan ke absahannya.

Itulah sepotong pemikiran pribadi saya.  Apakah itu sebuah permasalahan era modern ? apakah harus kita perangi ? atau kita dukung saja, toh semua juga telah melakukan sebuah kemalasan berfikir secara berjamaah ? Apakah pikiran saya itu benar ? Jika salah lalu bagaimana yang benar ? Bagaimana dengan kalian ? apakah nyaman saja dengan adanya kemajuan ? atau kemunduran tersebut ? Pernahkan kalian bertanya pada diri kalian sendiri ? Mari kita tanyakan pada diri kita masing-masing !


Klaten, 29 April 2016


Wednesday, 20 April 2016

Gila ! Ini kapitalis namanya ! (Bagus Prakoso)

“Hlo kan saya tidak pakai layanan itu, kok disuruh bayar, ya tidak mau lah saya”

“Tapi, Pak, di tagihan sudah tertera bahwa Bapak memakai layanan tersebut”

“Kamu sarjana ?”

“Iya, Pak”

“Apa Sarjana memang didik tuli ? Saya kan sudah katakan, bahwa saya tidak pernah memakai layanan tersebut, dan bahkan semua layanan yang ada sudah diputus semenjak tanggal 1, kok saya dibebankan pembayaran, kan tidak logis”

“Tapi, Pak..”

“Waaah tuli betul saudara ini, saya tidak memakai layanan itu, kok ngeyel, sekarang kamu cek semua akses di layanan saya, kamu prin dan saya kepingin melihat”

“Baik, Pak, tunggu sebentar”

Terdengar oleh Slamet sayup-sayup pertengkaran yang terjadi antara seorang Bapak dan pelayan sebuah kantor internet pasca bayar. Slamet yang lontang-lantung dirumah, di perintahkan oleh Omnya untuk membayar tagihan telepon dan internet, sekalian jalan-jalan pikirnya. Bapak yang tadi marah-marah menghampiri Slamet dengan muka yang masih kecut.

“Mas, disini keperluannya apa ?” Tanya kepada Slamet, seketika dengan sedikit gugup Slamet menjawab.

“Membayar tagihan, Pak”

“Mas, Mas itu masih muda, harus mulai kritis, ini kantor kapitalis, kalau Mas tidak kritis dan detail melihat tagihan, Mas bisa tertipu!”

“Masa kantor begini bagus, bersih, rapi, wangi kok penipu, Pak, itu Mas dan Mbaknya yang melayani bajunya bagus-bagus, masak nipu Pak ?”

“Waaaah, Mas pasti orang baru di Ibu Kota, dari desa pasti. Yak an ? , Jangan mudah tertipu dengan dasi dan pakaian rapi, Mas, ini semua penyamaran, sama seperti di film-film detektif itu, penyamaran. Perah liat film detektif kan ?”

“Pernah, Pak, film Conan”

Slamet menjawab asal saja, karena malas dan ingin segera mengakhiri percakapan dengan seorang yang menyeramkan itu, berambut gondrong dikucir, suara serak yang bikin sakit kuping. Tapi, sialnya lelaku paruh abad itu masih nyrocos saja.

“ Ya itu juga detif, Mas. Mereka juga sama, menyamar, dengan pakaian rapi, tapi maling, Mas! Masa, wong saya itu tidak pernah merasa menyetujui akses layanan telepon gratis, kok tiba tiba di bebankan tagihan itu, kan tidak wajar, Mas! Dan dikritik kok malah ngotot, dan lagi, Mas, layanan saya sudah diputus sebelas hari, kok masih disuruh bayar! Gila kan ? itu gila ! dikantor sebagus dan sebesar ini, masa ya kesalahan seperti itu bisa terjadi ! Bayangkan, kalok itu orang kaya yang kena, ya bayar saja, paling berapa seratus ribu, hla saya ini kere, saya pilih paket saja yang paling murah. Untung saya kere, Mas, jadi saya kritis, kalau kaya, kepala saya mungkin tumpul, Mas!”

Slamet ndak habis pikir, wong kere kok untung, siapa yang gila ? begitu pikir Slamet dalam hati!

“ Pak, silahkan duduk kembali disini, sudah saya prink an”

Bapak itu dipanggil, dan Slamet pun lega tidak mendengar suara serak itu lagi.

“Iya Pak, kami meminta maaf, ternyata memang kesalahan dari kami”

“ Tadi ngotot, sekarang minta maaf, permasalahannya bukan siapa yang salah, Mas! Tapi kenapa ini bisa terjadi di perusahaan sebesar ini ? Nasional hlo ini ! Gila ! Sengaja ? Mau mengeruk untung lebih lagi ? Ini bukan kali pertama, Mas ! Saya sebenarnya kepingin menuntut, tapi paling juga mentok di meja birokrat, nanti bisa-bisa saya di tuduh gila, ya kan ? Jangan senyam senyum saja, kamu ndak suka kan saya marah-marah seperti ini ? terpaksa kan senyummu, kalau ndak senyum kamu dipecat to ? Capek kan kamu denger orang-orang ngomel kayak saya tiap hari ? berapa gajimu ? mepet kan ? tapi tekananmu begini besar kan ? menghadapi langsung pelanggan, dimaki, capek ndak kamu dimaki tapi harus senyum ? padahal bukan salahmu, Mas ! Salah Bos mu yang kemaruk, yang pegen terus untung ! Ini namanya kapitaliseme Mas ! Kamu dianggap buruh dan kamu seperti robot ! Kamu sekolah lama dan mahal cuma untuk saya maki yang bukan kesalahan kamu ! terima tidak ? Tidak kan ? apa ayo berantem ? Tapi nanti kita masuk penjara ! repot kan ! Ini namanya kapitalisme Mas ! Saran saya kamu mending keluar saja, kalau tidak 2 tahun lagi kamu sakit stroke ! Hahahahahahaha”

Laki-laki itu terbahak-bahak, dengan serak dan kerasnya, Slamet bingung, wong tadi marah kok tiba-tiba terbahak-bahak, sampai batuk-batuk. Apa dia gila ?! ‘Ah Zaman Edan ini!!!” Begitu gumam Slamet.

“Yok, Mas, saya pulang dulu, sudah plong hati saya teriak-teriak tadi, kamu juga nanti boleh teriak-teriak seperti itu, biar tidak gila di Ibu Kota ini”

Sambil lalu Bapak-Bapak itu pergi tanpa mendengar penjelasan lebih lanjut lagi dari pelayan.



Klaten, 20 April 2016


Friday, 15 April 2016

Modernisasi Berhasil - Budaya Kita Hilang


Bahwa bukanlah kegagalan pembangun atau kegagalan modernisasi yang menakutkan, namun justru keberhasilannya. – Wolfgang Sach (1992) –
Keberhasilan modernisasi yang sedang bergulir ini akan menyeragamkan dunia dalam satu pandangan, yakni pandangan barat. Penyeragaman itu artinya akan menghilangkan kebudayaan-kebudayaan yang beraneka ragam, termasuk kebudayaan kita yang asli.
Bukan tidak beralasan ketakutan yang dikemukakan oleh Wolfgang tersebut. Tahun 1992 telah ia kemukakan hal tersebut, dan sampai sekarang untuk sekedar terbersit di benak saja kita belum. Padahal modernisasi yang sampai sekarang bergulir telah dikritik sejak 1980 oleh sebagian besar para ahli teori Pasca Pembangunan (termasuk Wolfgang). Tahun 1980, mereka menyatakan bahwa pembangunan (yang sampai sekarang masih berlangsung) telah usang dan menuju kebangkrutan sehingga memerlukan alternatif baru.
Teori Pasca Pembangunan menyajikan pemikiran bahwa pembangunan harus memperhatikan keadaan konteks lokal, budaya, dan sejarah.
Indonesia
Membaca ketakutan Wolfgang dan melihat realitas kebudayaan Indonesia sekarang, nampaknya modernisasi semakin menampakkan taring keberhasilannya. Tetapi kenapa kita tidak merasa takut, padahal adalah kita si pemilik kebudayaan yang digrogoti oleh modernisasi yang tengah digulirkan dunia barat itu.
Kenapa kita tidak takut? Ada dua kemungkinan, yakni kita adalah pemberani atau keterlaluan bodoh.
Kita tidak takut bahasa-bahasa daerah yang mulai hilang. Lihatlah baliho-baliho  bertuliskan istilah-istilah asing dengan congkaknya mengangkangi bahasa-bahasa daerah, dan kita lumrahkan hal itu. Berkembang pula kecenderungan menstratakan bahasa daerah di struktur bawah, di bawah Bahasa Indonesia yang berada di bawah Bahasa Inggris. Ngeri, tak ada yang mengkritisi bagaimana Televisi menebar paradigma Bahasa Jawa sebagai bahasa kelas rendah.
Kita tidak peduli dengan karya-karya seni kebudayaan asli kita yang bahkan untuk memiliki cita rasa menikmatinya saja kita sudah tidak mampu apalagi kemampuan untuk menciptanya. Kebudayaan asli direduksi ke dalam slogan, museum, dan tempelan upacara penyambutan pejabat.
Jika keadaan diteruskan, maka akan lahir generasi yang alpa dari kebudayaan asli, tidak berkarakter, lalu tak mampu mencipta, hanya membeli dan membeli.
Apa jadinya jika kita tidak mewarisi kebudayaan asli? Lahirlah kita menjadi masyarakat konsumen dari kebudayaan luar yang menjajah atau menghegemoni. Terus kita akan mengekor sampai kapanpun, karena mereka pemilik kebudayaan dan kita hanyalah peniru.
Sangat disayangkan, karena nenek moyang sebenarnya tidak meninggalkan suatu keadaan yang kosong budaya. Banyak peninggalan-peninggalan leluhur yang merupakan puncak pencapaian jaman, tetapi sikap kita justru merendahkan dan memngambil langkah untuk meninggalkan. Kita memilih segala yang bukan dari kita, kita sukai, kita puja, kita beli ! Sedang yang sudah kita punyai malah kita buang.
Semua telah dirancang, semua telah diprogramkan oleh negara-negara barat, melalui modernisasi.
Inilah Indonesia kini ! Dalam keadaan yang telah diramalkan oleh Wolfgang, dan akan terus berjalan di ambang keadaan yang ditakutkan Wolfgang, yakni keberhasilan modernisasi yang artinya kemusnahan kebudayaan kita.
Hancur budaya kita, maka akan hancur segala di dalamnya !


Monday, 11 April 2016

NEGERI SANG MAKELAR DAN PARA PENGHUTANG (Obin)





Akhir pekan asik buat jalan-jalan
Sinambi tetembangan cuci mata liat pemandangan


Yono pria paruh baya umurnya empat puluhan
Kukenal di warung angkringan deket kosan kala aku ngopi dan cari gorengan
Tujuannya sederhana, ganjal perut yang sedari kemarin beroskestra
Nyanyikan langgam dan balada tentang, Indonesia


Sebuah kopi hitam dengan asap mengepul kusruput perlahan
Di tangan kiri terselip sebatang rokok eceran
Yang sayangnya belum kuhisap namun sudah jatuh masuk comberan


“Ealaah!”
Yono kaget bukan kepalang
Pulang kampong niatnya liburan
Hendak muncak naik gunung!
Eeh! Katanya kebakaran
Kabut asap sempat jadi gunjingan
Santer terdengar isu serampangan
Mau dibukanya lahan perkebunan anyar


Pemerintah dan swasta bermodal “cucuk” makelaran
Berhasil ngutang bank internasional dengan agunan rimba raya


Kayu-kayu gelondongan hanyut ke perbatasan
Menyisakan bekas penebangan dan bangkai satwa
Yang masuk daftar, terancam kepunahan


Di pesisir selatan para petani gulung tikar
Sawahnya diubah jadi villa dan penginapan
Oleh orang luar, yang katanya pemilik modal
Beberapa dijadikan ruko dan perkantoran
Buat ngeruk sumber daya dan omzet milyaran


Nelayan berhenti melaut
Sebab, hasil ikan nilai jualnya kian menyusut


Nelayan gantung jala!
Petani gantung cangkul!
Dan aku? 
Cukup gantung angan!


Para pemuda pindah ke jakarta
Mengais nasi dari hasil sisa-sisa
Dan tinggal, di bawah kolong jembatan


Urusan pembangunan tak pernah surut
Belum lagi utang negara yang semakin carut-marut
Di Pati, anak Kendeng pada demo dan orasi
Para menteri dan pejabat malah nikmat, beronani


Indonesia, dulu tanahnya subur tiada tara
Airnya melimpah ruah tak pernah kekeringan
Kini tanahnya rusak, airnya tercemari
Pembangunan pabrik?
Mampunya sumbang limbah di bumi pertiwi
Sedang setan-setan galonan? Sedut-sedot sumber air artesis
Dan berhasil bikin rakyat, krisis air bersih


Belum lagi soal listrik yang katanya mulai menipis
Cukong daerah malah ACC pembangunan pabrik 
Yang pastinya butuh pasokan listrik tidak sedikit


Sumber daya listrik tidak ditambahi
Eh, ini malah diganti sistem elektrik?
Diikuti kebijakan pemadaman listrik?
Owalaah! terus digilir silih berganti to?
Katanya mau bikin pembangkit listrik anyar?
Entah pakek nuklir atawa geothermal
Sedang nuklir? Masih jadi perbincangan dan topik yang kontroversial
Geothermal? 
Kudu ngebor kawasan hutan lindung di kedalaman
Dan tak jelas kapan proyeknya dirampungkan
Makelar pendidikan obral teori, hikayat, dan kisah-kisah
Siswa dan mahasiswa dibiarkan nganggur
Dan tak sedikit yang jadi gelandangan


Makelar agama obral isu terorisme
Menyeru tuhan sambil mengasah gobang
Dan beberapa jual ceramah dengan harga jutaan


Makelar kesehatan obral ramuan
Yang katanya impor dan berkhasiat mujarab
Tapi kenapa ada AIDS, kanker, diabetes, dan masih banyak lagi ?
Penyakit, yang belum ada obatnya


Makelar kebudayaan obral pertunjukan
Beberapa malah jual naskah kuno ke Inggris dan Belanda
Sedang masyarakat? Cukup diberi suguhan televisi
Yang tak dapat dijadikan tuntunan, juga tak layak dijadikan tontonan


Si Yono jantungan! Denger kabar kakaknya kecelakaan
Bermodalkan duit pas-pasan dan kartu warga miskin
Dibawanya sang kakak ke rumah sakit
Sial tak mampu dihindar, malang tak dapat ditampik
Sang kakak meninggal di depan ruang tunggu UGD


Yono balik ke pabrik
Cari utangan, buat ngambil mayat kakak di rumah sakit
Cilaka duabelas!
Sebab ia Cuma buruh “Outsourching”
Mengharap usahanya berhasil, eh! malah dipecat dari pabrik
Tenaganya sebagai buruh digantikan oleh robot dan mesin-mesin
Yang katanya, diimpor dari luar negeri
Lebih lanjut lagi, pimpinan bilang :
“Ini semua untuk mengurangi biaya produksi!”
“Saya harap Pak Yono dapat mengerti!”
Apa yang mampu dimengerti Yono dengan semua ini, Apa?
Sambil bergumam sendiri, ia mulai berceloteh :
“Mungkin, rakyat kecil seperti saya tidak boleh berbahagia !”
“Mungkin, buruh pabrik seperti saya tidak boleh berproduksi !”
“Mungkin, masyarakat seperti saya dibikin konsumtif oleh alur globalisasi !”
“Gimana, orang seperti saya bisa konsumtif ?”
“Pemasukan saja hasil utang sana-sini !”


Biaya hidup makin menggunung
Sementara kami kesulitan menabung


Kapitalisme telah menggurat, menembus jantung pemikiran
Melahirkan makelar-makelar ingusan di tiap sektor kehidupan


Yono kehilangan kakak, dan kini harus mewarisi hutang yang ditinggalkan
Belum lagi hutang mendiang bapak, yang kalah dalam pemilihan satu tahun silam
Juga hutang Ibunya, yang terlanjur ia tebus dengan sebidang sawah


Akhir pekan ini? Alih-alih dapat santai dan tamasya
Yono dikejar-kejar dept collector
Nampaknya sang dept collector berhasil meneror


Si Yono terjangkit insomnia tiap malam
Stress! Dan milih ikutan jadi makelaran
Obral omongan dan tipu daya, buat isi perut yang keroncongan


Inilah negeriku ...
Negeri sang makelar dan para penghutang
Sejak orde baru hingga sekarang
Hutang ke World Bank dan Amerika tak mampu berkurang


Makelar senantiasa lahir
Penghutang senantiasa ada


Makelar negara obral kemelaratan
Makelar pendidikan obral pembodohan
Makelar agama obral pertikaian dan kesalahpahaman
Makelar kebudayaan obral karya-karya
Makelar kendaraan obral terror dan kecelakaan
Makelar kesehatan obral obat-obatan yang bikin ketagihan
Gadis muda yang masih remaja obral keperawanannya
Orang-orang tua berperan jadi mucikarinya
Pria gagah dan wanita modis berstatus "fresh graduation" obral ijazahnya
Perkantoran dan pabrik-pabrik obral buruh Outsourching-nya
Tengkulak obral tawar menawar
Menteri dan pejabat obral janji-janji
Petani obral sawah dan ladangnya
Nelayan obral sungai dan lautnya
Peternak obral ayam tiren dan sapi gelonggongan
Kapitalisme obral para pedagang
Dan pedagang? 
Obral apa saja ...
Yang penting untung !
Yang penting aseek !

Kami semua diwajibkan hidup jadi makelar dengan satu tujuan, “mbayar utang !”

"Jual, dagang, obral"
"Dagang, obral, jual"
"Obral, jual, dagang"
Jadi mantra yang efektif
Sebelum kami berangkat kerja pagi-pagi sekali


Kerna selama ini kami hidup di
Negeri Sang Makelar dan Para Penghutang !


Akhirnya ...
Yono meninggal dunia
Berstatus makelar
Dan mewariskan hutang-hutang
Kepada, anak cucu-nya





Pucangsawit, 9 April 2016

Saturday, 9 April 2016

Ku tanyakan pada kalian !! (Bagus Prakoso)

Kalau suatu ketika, adikku yang masih bersekolah di Sekolah Dasar pulang seusai menerima rapor dan bertanya padaku,

“Mas, kok kemarin aku menggambar hanya dapat nilai 6 di rapor”

“Kalau enam kenapa? “ kujawab

“Kan kalau bagus nilainya 10, aku hanya 6 , berarti gambarku jelek ya ? Padahal aku sudah menggambar sungguh-sungguh, sedang amir temanku, digambarkan kakaknya dapat nilai 9”

Lantas akan kujawab bagaimana pertanyaan itu ? apakah iya harus ku-jawab dengan :

“Iya, gambarmu jelek, jangan menggambar lagi, kamu tidak berbakat, jauhi pensil warna dan apa saja yang berkaitan dengan peralatan menggambar”

Begitukah ? apakah akan se-tega itu aku menghancurkan mental seorang bocah yang baru saja beberapa tahun lahir ke bumi ? Jika tidak, lantas akan ku jawab apa ? atau dengan :

“temanmu curang, jangan kau tiru ya, kamu harus terus rajin menggambar, biar lebih jago gambar nanti”

Begitu ? Jika iya, berarti aku mngajarkan pada adikku untuk menaruh benci pada temannya yang terang-terang belum mengerti apa itu benar, salah, baik dan buruk. Lalu jika tidak, dengan jawaban yang seperti apa harus ku lontarkan pada adikku yang masih se-umur jagung bahwa pengertian tentang nilai tidak sedangkal itu, bahwa nilai bukanlah sebuah deret angka-angka kosong untuk mengukur baik dan buruk sebuah pekerjaan. Bahwa penilaian tidak dapat diwakili dengan hanya angka-angka saja, yang seakan telah menjadi Tuhan, menghakimi dan memutuskan sebuah pekerjaan tanpa adanya banding. Nilai tidak se-remeh dan sedangkal itu !!

Ku tanyakan pada kalian dengan kalimat seperti apa aku harus menerangkan pada adikku yang telah menjadi korban atas ketidakmampuan Negaranya dalam menata sebuah sistem pendidikan pada tingkat dasar yang menjadikan banyak keputus asaan pada anak-anak seusianya ?

Bagaimana ? Ha ? Bagaimana ? Coba terangkan padaku yang amat sangat dungu serta tolol ini !!!
                                                                                                              

Klaten/10 April, 2016. 

Thursday, 7 April 2016

Udin, gagal jadi seniman!! (Bagus Prakoso)

Pak sapto baru saja kekenyangan, makannya lahap. Pak Sapto mengabiskan sepiring kehidupan anaknya yang sekarang pelontos kepalanya, Pak Sapto merayakan kekalahan anaknya sendiri yang terpaksa masuk akademi kepolisian yang dinilai dari segi kedudukan akan lebih layak dibanggakan di banyak orang daripada hanya menjadi seniman yang mungkin pendapatannya buat beli rokok saja susah apalagi untuk beli susu anaknya kelak.

            Selain Udin takut dikatai durhaka karena tidak mau menuruti kemauan bapaknya, dia juga selalu ingat dengan almarhum ibunya yang berpesan untuk selalu membahagiakan kedua orangtuanya dengan sunguh sungguh. Hal itulah yang menjadi senjata pak sapto saat Udin nekat tetap menjadi daripada masuk akademi kepolisian seperti yang sudah dirancang saat Udin lahir di dunia supaya dapat meneruskan karier bapaknya yang gemilang. Setali tiga uang dengan Pak Sapto, Sumirah pacar Udin pun juga selalu senada dengan Pak Sapto, memaksa  Udin untuk masuk akademi kepolisian yang menurut dek Sumirah  pekerjaan itu akan cepat membikin Udin cepat terpandang seperti bapak Udin yang punya rumah mewah beserta pembantu yang berserakan. Sebab itulah Udin memilih kalah dengan tidak ikhlas, menyerah untuk yang katanya kebahagiaan bapaknya, dan demi dek Sumirah yang sudah akan mengancam akan pergi dari Udin kalau tidak segera hengkang dari dunia kesenian yang hampir pasti membuatnya kere secara materi.

Walau di benak Udin kebahagiaan itu hadir bukan saat apa yang di inginkan itu tercapai, terlaksana dengan cara apapun, tapi di benak Udin bahagia itu saat kita mau menerima kondisi apapun yang telah kita lalui, bukan memaksakan kehendak agar yang di inginkan terjadi dan lagi menerut Udin bahagia itu muncul atas bertemunya kesadaran logika dan rasa yang serasi. Apalagi kalau kebahagiaan itu harus di tempuh dengan cara memperlakukan makhluk hidup seperti sepiring nasi yang dihidangkan hanya untuk dimakan tanpa memiliki hak sedikitpun untuk menolak tidak mau dimakan. Perhitungannya bukan karena kita sudah mengeluarkan uang banyak untuk mengolah padi menjadi nasi dan untuk menggantikan uang itu kita harus mendapatkan kenyang, tapi semestinya perhitunganya adalah ketika kita susah payah merawat pohon dan biarkan pohon itu tumbuh besar karena pohon tersebut sudah tau dia harus meneduhkan, bukannya malah dipotong dijadikan bonsai yang kita nilai dia akan lebih bagus dan harga jualnya semakin tinngi.


Bapak dan Sumirah tidak pernah mau mendengar pendapat Udin yang katanya terlalu mengandai-andai. Ya berakhirlah Udin di dalam barak pelatihan, rambutnya plontos, dan sudah tidak pernah ngopi dan ngrokok di pagi harinya seperti saat Ia masih cari-cari wacana dengan ngobrol dengan lawan sejawatnya.

2013

Wednesday, 6 April 2016

Hai Tukang Berita ! Kuseru Kamu ! (Idnas Aral)

Semoga dengan kejelekan-kejelekan tulisan ini, kau akan menemukan kebaikan.

Wahai para tukang berita, aku ingin tahu apa yang kau rasakan setelah tuntaskan tugasmu menyuapkan berita-berita kekejian kepada bocah-bocah polos di negeri ini.

Apa kau telah merasa menjadi pahlawan kebenaran? Apa kau merasa telah menjadi pendidik yang bijak? Atau kau tak merasa apa-apa, karena di benakmu yang ada hanyalah karir dan gaji.

Wahai para tukang berita, apakah kau mandul ataukah nalarmu gundul? Semoga tidak. Tetapi kenapa betapa enteng dan fasih kamu berbicara kekejian di depan berjuta pasang mata dan telinga, tanpa peduli tentang akibat. Apa tak ada sedikit saja terbersit di benakmu, bagaimana berita itu kalau didengar oleh anakm?.
Wahai para tukang berita, apa kau telah yakini tentang apa yang kau kerjakan selama ini adalah kebaikan? Si Udin yang baru TK kini telah tahu apa itu perkosa. Si Ria yang kelas lima kini pahami apa itu mutilasi. Si Ipung yang masih suka ngompol kini tahu apa itu lokalisasi. Bagaimana dengan Udinmu, Riamu, Ipungmu, apa yang ia ketahui kini? Apakah telah ia ketahui tentang kebenaran-kebenaran yang telah kau kabarkan itu?

“Minggu ini biar rating tinggi cari berita apa ya? Yang fantastis, bombastis, spektakuler, pokoknya yang menggemarkan segala indra masyarakat.”

Apa itu yang terus menerus berkelebatan di otakmu? Semoga tidak. Tetapi kenapa televisi tak henti-henti mencekok i bocah-bocah itu dengan peristiwa-peristiwa yang amat tak layak untuk perkembangan kejiwaan mereka setiap harinya?
Wahai para tukang berita, kau dianugrahi corong untuk mengabarkan. Bijaklah, bijaklah, dengan segalaku, kumohon bijaklah pada anugrah itu. Apa kau tak ingin anak-anak kita tumbuh secara murni dan manusiawi, lalu lahir sebagai pemimpin untuk membereskan segala kebobrokan yang telah diciptakan generasi kita?
Ataukah kau tak sadar bahwasanya kau hanyalah boneka yang merasa gagah tanpa sadar bahwasanya kau hanyalah sekedar perpanjangan syahwat yang mengobok-obok ibu pertiwi?

6 April 16 

Sejarah Harus ditengok ! (Idnas Aral)

Setiap peristiwa adalah suatu akibat sekaligus sebab. Sebuah jalinan yang tidak pernah terputus, tetapi seringkali kita mencoba menafsirkannya dalam fragmen-fragmen yang merdeka. 



Aku yang sekarang adalah sebab aku yang dahulu dan akan menjadi akibat untuk aku yang akan datang. 

Sejarah adalah saudara tua hari ini dan hari depan, jadi hendaknya hari ini dan hari depan senantiasa mau mendengarkan apa kata saudara tuanya. Kita selalu bermimpi untuk menjadi manusia yang berpikiran maju, selangkah atau berlangkah-langkah lebih maju. Itulah ideal katanya, tetapi tak ada pohon tumbuh tanpa akar, dan tak ada pertumbuhan yang baik tanpa akar yang kuat.

Indonesia sedang membangun, membangun? Perbaikan segala sektor ialah tujuannya, tetapi bahkan sebelum kita berbicara tentang korupsi seringkali pembangunan hanya indah pada tahap slogan dan tujuan. Apalagi jika ditambah dengan kalkulasi korupsi yang semakin menjadi-jadi dan sungguh nyata terjadi.

Tetapi malam ini, saya sedang tidak ingin berbicara tentang korupsi! Bukan lantaran korupsi tidak menjadi sebuah masalah yang mendasar dalam pembangunan negeri ini, tetapi sudah terlalu banyak perbincangan mengenai korupsi dan saya takut begitu mudah dan banyak perbincangan itu akan menjadikan korupsi sebagai sebuah hal yang tidak tabu lagi. Dan ada anggapan saya bahwa korupsi di negeri ini sudah tidak akan dapat diselesaikan oleh tindakan manusia, tetapi Tuhan sendirilah yang akan turun.

Saya ingin berbicara mengenai sejarah ! Sejarah mesti ditengok untuk sebuah langkah ke depan. Pembangunan kita sudah terlalu tidak berakar pada kebudayaan sendiri. Kebudayaan yang saya maksudkan disini adalah kebudayaan yang ideal secara praktik. Dan saya rasa tidaklah kebudayaan ideal itu kita dapatkan dari kebudayaan kita yang sekarang.

Lalu kebudayaan kita yang mana?

Kebudayaan kita yang lahir dan tumbuh secara ideal yaitu sebelum adanya kepentingan politik kebudayaan negara penjajah pada masa kolonialisme dan pascakolonialisme. Maka sejarahlah yang harus didatangi oleh para perencana-perencana pembangunan negeri ini.

JAS MERAH! Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah !
Adalah sebuah slogan yang hendaknya kita pahami dan tidak sekedar menghapal. Demikian pula dengan pelajaran sejarah yang hendaknya kita pahami intisari peristiwanya bukan sekedar penghapalan tanggal, tempat, dan pelaku peristiwa sejarah. 

Pola peristiwa, sebab akibat peristiwa, perbandingan peristiwa harus menjadi gol dari pembelajaran sejarah. Tetapi sayangnya bola seringkali melesat jauh dari gawang. Selain sejarah banyak yang dibelokkan, penyikapan kita pada pelajaran sejarah pun seringkali jauh dari kata bijak. Jadi, pengalaman adalah guru yang bijaksana tetapi kita adalah murid yang selalu membuang kebijaksanaan sang guru.

Sejarah pernah kisahkan peristiwa emas
dan yang kita tahu hanyalah bahwa emas itu berkilau
Sejarah pernah ceritakan tentang peristiwa berdarah
dan yang kita tahu hanyalah bahwa darah itu merah

22 Feb 16

Aku Emprit dan Kau Elang (Idnas Aral)

Meski karena kebesaranmu, tentu kau sangat tak perlu aku meminta maaf. Tetapi untuk tulisan ini aku tetap memilih mengawalinya dengan permintaan maaf.
Seperti malam-malam biasanya kita berkumpul untuk berbicara apa saja. Malam ini pun kita saling bercerita dan tertumpahlah segala kegelisahanku. Aku ceritakan segala pengalamanku akhir ini.
Aku mengatakan bahwasanya orang seperti kita ini ialah minoritas.
Kau berkata, “memang tak mudah menjadi elang, ia selalu terbang sendiri untuk mencari mangsa, lalu diam menyendiri di gunung. Lebih mudah menjadi burung-burung kebanyakan, hidup bergerombol dan penuh kicauan.”
Analog elang belum redakan gelisahku, karena nyatanya aku belum menjadi elang. Aku sekedar emprit yang sedang belajar bagaimana menjadi elang darimu. Betapa sungguh aku kepingin menjadi elang sepertimu.
Kau ialah elang yang senantiasa terbang sendiri mencatat kehidupan. Kau memilih berjarak dari apa yang mereka kata kewajaran. Dari ruang sepimu kau bisa merenungkan lalu melakukan apa yang musti dilakukan, bukan untukmu seorang, untuk siapa saja. Kau elang yang telah berjiwa elang, sedang aku hanya sekedar emprit yang pengen menjadi elang. Maka senantiasa aku gelisah dan gelisah.
Memang dasar aku masih emprit yang baru mencoba tinggal di sarang elang, sedikit belajar terbang sebagai elang pada ketinggian elang. Tapi sungguh aku masih sangat emprit! Maka sebab itu masih selalu aku di rundung gelisah dan hampir menyerah.
Kau sabar mendengar keluh kesahku tentang cara hidup elang yang terasing dan kesepian oleh hidup yang diperjuangkan.
Aku yang seperti kanak-kanak, kau kata, “memang seringkali kita harus seperti kanak-kanak dan kembali belajar tentang ketulusan yang menyatu bukan sekedar keikhasan yang dikata.
Aku yang penuh ketidakmampuan, kau katakan, “bahwasanya seperti pohon, kepasrahan dan dekat dengan alam, lalu tumbuh.”
Betapa benar kata-katamu itu, tapi betapa tetap aku gelisah. Kau tentu tahu segala kegelisahanku adalah sebab kualitasku yang masih minimal, tapi senantiasa sabar engkau mendengarkan. Tetap kau tunjukkan kerendahan diri untuk membesarkan diriku yang teramat kecil dan kerdil.
Aku terus mengoceh, mengeluh, berkata dan berkata. Dasar aku emprit yang sungguh emprit tanpa sadar telah kukicaukan bahwasanya perjuanganku yang baru seumur jagung ini serasa sia-sia.
Dan kau yang telah berjuang seumur beringin kuburan berkata, “kadang aku berpikir tentang hasil dari apa yang aku lakukan tidak seperti ini. Tetapi ialah rumah, mobil, dan istri cantik.”
Aku diam hanya bisa diam, aku harus diam! Nyamuk-nyamuk yang menggigiti tubuh aku pukul sangat keras, keras, keras sekali. Bukan untuk membunuh nyamuk nakal, tapi kupukul untuk menghukum diriku yang goblok.
Sungguh ternyata aku lebih rendah dari emprit , yakni aku. Aku ialah manusia yang lebih tolol dari emprit. Kukatakan apa yang aku lakukan adalah sia-sia, sungguh menyiratkan perjuangan menahunnya ialah sia-sia. Ia yang menolak tuntutan norma dan kewajaran terasing, bahkan ku telah mengasingkannya.
Aku diam, merasa bersalah. Andai punya sejuta tangan kan kupukulkan sekeras-kerasnya kepada tubuhku sendiri.
27Maret 2016

Tuesday, 5 April 2016

Surat Cintaku Kepada Dubur.( Bagus Prakoso )

Ya, Dubur, betapa aku mencintaimu, betapa aku sayang dan mangasihimu. Meski bentuk cinta, kasih dan sayang itu tidak ku wujudkan dam betuk menciummu, karena memang tidak mungkin. Begitu jauh jarak antara mulutku kepadamu, duburku.

Jangan cemburu ya, kamu tak pernah ku pakai untuk ciuman seperti mulut, kamu tak pernah ku pakai untuk makan seperti tangan, kamu tak pernah ku pakai untuk melihat luasnya cakrawala seperti mata.

Karena memang kamu adalah dubur, bukan mata, mulut ataupun tangan. Kamu punya fungsi yang lain meski memang fungsimu adalah untuk mengeluarkan tai, sisa-sisa kotoran dari pencernaanku. Tapi kalau tidak ada kamu Dubur, aku bisa sengsara, celakalah aku, perutku buncit berisi tai, yang siap meledak, dan akan terjadi ledakan tai! Sungguh akan menjadi peristiwa monumental yang akan masuk koran, LEDAKAN TAI !!

Betapun Dubur, aku kagum kepadamu, yang kadang jadi bahan olokan banyak orang, dinilai kamu adalah hina, kamu adalah barang busuk. Tapi, kamu tidak pernah ngambek dan melakukan protes. Kamu tetap professional menjalankan fungsimu sebagai dubur.

Dubur, ajarkan mereka, orang-orang itu bagaimana tiap pribadi memiliki fungsi masing-masing di dalam sebuah kelompok. Tidak bisa dituntut sama, dengan hak dan kewajiban yang sama, tidak bisa disamaratakan begitu saja.


Dubur, ajarkan mereka betapa apa aja asal masih akan bermanfaat kepada yang lain adalah baik, Dubur. Ajarkan kepada mereka agar tidak menuntut selalu sama dan seragam dengan yang lain, berilah pemahaman pada mereka tentang setiap apa saja memiliki porsi nya masing-masing, dibidangnya masing-masing, ditempat masing-masing, asal terus dan tekun dalam bidangnya, dia akan meraih pencapaian yang sama dengan yang lain. Seperti kamu, Burr..Duburrrr…Dubur yang kucintai!!! 

Monday, 4 April 2016

Senyum berbayar ! (Bagus Prakoso)

Duduklah slamet di serambi rumah, setelah tiba Ia di rumah Omnya. Setelah membuat kopi dan berganti baju, Ia selonjoran. Sambil menghisap kretek, pula Ia menghisap bau-bau Ibu Kota yang masih terasa asing bagi penciumannya.

Melihat gedung-gedung menjulang menantangi langit, kepulan asap-asap kendaraan bermotor tidak begitu kentara dalam wujud, tapi terasa sesak memenuhi nafas. Slamet sedikit meraba-raba apa itu Ibu Kota, seperti apa, dan bagaimana nanti takdir akan membawanya.

Disela-sela asap rokok yang berhembus, ada seorang tetangga depan rumah dengan gang sempit itu membuka pintu, Slamet seperti biasa dengan sigap melebarkan pipinya untuk sedikit membuka mulut dengan gigi kekuningannya, senyum selebar yang Ia mampu dan bisa, untuk menjangkau mata tetangga tersebut sehingga sang tetangga mengerti Slamet ingin berusaha menyapa dan seraya mengucap, “sugeng…eh selamat siang, Pak”

“Oh ya, siang Mas”

Seucap itu saja yang Slamet terima, tidak lebih dan kurang, Slamet kecewa, baru kali ini Ia kecewa lemparkan senyum dan sapa kepada orang. Begitu saja? gumam Slamet dalam hati, belum selesai kecewanya, lewat lagi orang, lebih muda dari yang sebelumnya, untuk menambal rasa kecewanya, Slamet lebih bersemangat lagi, kali ini bukan senyum, tapi tertawa kecil, mulutnya dibuka seluruh, supaya kelihatan ramah dan bahagia, seraya “Selamat pagi, Mas!” Slamet sampai tidak sadar Ia sedikit teriak. Pemuda itu diam, tanpa seucap apa, tanpa menoleh. Mungkin Slamet salah perhitungan, atau mulutnya kurang lebar, atau apa ? Tapi raut muka kesal tak bisa disembunyikannya.  
“Kenapa, Met ?”

“Kok saya disini menyapa orang-orang semua cuek ya ? tidak seramah di desa, senyum saya diabaikan, tidak dibalas dengan ramah, saya jengkel!!”

“Ini Ibu Kota, Met, janagan berharap ketemu senyum gratis, dulu waktu om tiba disini, sama, Om juga kaget, tidak ada senyum yang lebar disini, semua seadaanya, kalau tidak kenal sekali, apalagi tidak ada urusan yang berkaitan dengan ekonomi, ya jangan berharap dapat senyum, disini senyum itu bayar, datang saja ke mini market, mal-mal itu, atau, ya gedung gedung yang memungkinkan kamu berbelanja, kamu akan menemui senyum, semakin bergaya lagakmu, semakin lebar senyum mereka”


Sedangkan saat senyum, ada aliran darah yang mengendor, syaraf jadi tidak tegang, muatan-muatan aura negative hilang, berganti muatan aura positif, hanya senyum, belum tertawa, apalagi tertawa terbahak-bahak. Betapa bergunanya senyum, bahkan di suatu pulau lain, ada terapi tertawa, dan bayar! Betapa hilangnya diri kita, betapa tenggelamnya diri kita kepada peradaban hingga senyum dan tawa saja sulit untuk ditemukan, betapa…betapa…ah, Slamet berharap Ia pulang ke Desa. Tapi…tapi baru satu hari Slamet singgah di Ibu Kota, masak Slamet pulang tanpa hasil, ya gengsi dong sama tetangga, apalagi Wardi yang sudah sukses pulang dari Ibu Kota. Wah !!!!

4 Maret 2016, Klaten.