Sunday, 27 March 2016

Aku Ingin Lupa (Mas Sinis)

Andai saja aku bisa lupa tentu menyenangkan, kesalahan dan pengingkaran janji akan mendapat pemakluman, lalu kita dengan tenang melewatkan setiap tanggung jawab yang sudah disepakati diawal perjalan. 

Siapa pula yang kuasa menuntut orang lupa? dibunuh pun kalau orang lupa ya sudah tanya berhenti akhirnya. Entah sudah menjadi kebiasaan pura-pura lupa atau memang benar sudah rusak ingatannya.

Selalu selesai perkara setelah kita berkata "maaf aku lupa". Lalu besok membuat rencana baru, eksekusi mimpi-mimpi bersama, dan lagi-lagi terhenti kata "lupa", begitu seterusnya berulang-ulang.

Aneh memang, karenanya aku ingin sekali-sekali, bahkan sering menderita lupa, agar lepas dari tagihan janji, sembunyi dari ucapan dimuka pertemuan yang menjadi tanya dikemudian hari.

Tapi tidak juga, R. Ng Ranggawarsita berkata "masih beruntung orang yang ingat dan waspada".

Menjadi ingat memang berat karena harus menyaksikan orang-orang lupa dan tanggung jawab bersama akhirnya hidup dalam otaknya sendiri. Aku ingin lupa.

-220913-

Bule itu ganteng ! tapi kamu tidak ! (Bagus Prakoso)




“Selamat datang di Ibu Kota, Met, selamat menikmati Ibu Kota”

Slamet yang baru pertama kali datang di Ibu Kota di jemput oleh sepupunya. Ia akan mengadu nasib, mencari peruntungan untuk mencari pekerjaan, seorang sarjana pertanian yang tak punya ladang yang terpaksa ke Ibu Kota untuk mencari sisa-sisa pekerjaan di Ibu Kota.

“Banyak ya balihonya, ada telepisi-telepisi besar banyak khusus buat iklan”

“Hlo, di solo apa tidak ada?”

“Ada, tapi tidak sebanyak ini”

Slamet mulai pembicaraan dengan sepupunya di dalam mobil, Ia melihat banyak papan-papan iklan, yang lebih banyak dari kota asalnya, Solo.

“Tukang Iklannya bule-bule ya, Om”

“Iya dong, Ibu Kota, sasarannya internasional, dan wajah-wajah bule kan lebih sip, lebih menjual Met!”

Memang, wajah bule selalu dipandang lebih sip, lebih sedap dipandang mata, putih-putih, hidung macung, badan tinggi tegap, gagah tanpa cacat. Dan Slamet, yang bekulit sawo matang cenderung hitam menilai dirinya jelek, tidak ada potongan gagah sama sekali, dekil lagi.

Tapi, Slamet kembali berfikir.

“Hlo, tapi kenapa harus bule yang dipandang gagah dan cantik, kenapa harus bule yang berhidung mancung yang dianggap cantik dan ganteng, apa yang hidung pesek itu pasti jelek, yang pendek pasti tidak gagah, yang hitam sudah tentu tidak ganteng ? Hla siapa yang menentukan itu ? kok bisa begitu ? atas dasar apa dan dengan metode seperti apa itu dapat dinyatakan benar ? atas perintah siapa kita bersepakat dengan hal-hal sedemikian rupa ? kenapa juga yang gondrong lokal selalu dianggap tidak wajar, tapi kok bule yang gondrong dianggap sah-sah saja ? orang Indonesia brewokan dicurigai teroris, bule brewokan dianggap tatanan gaya modern? Siapa ? siapa yang menentukan itu semua”

Slamet grundel entah ke siapa, sepupunya bingung, ndak tau apa yang dikatakan Slamet. Dan sepertinya Slamet akan repot tingggal di Ibu Kota akibat pikirannya yang asing di belantara kebalau riuh Ibu Kota.



Klaten, 27032016.


Saturday, 26 March 2016

Kita Bangun Jurang Jejaring Sosial (Mas Sinis)


Aku tak mengingkari kemajuan jaman, tak hendak pula kembali kejaman purba, dimana kita tak perlu mengejar karir dan prestasi agar sebagai manusia unggul kita diakui.

Dulu nenek moyang membangun jembatan agar mereka yang terpisah jurang dan sungai dapat berjumpa, bertanya kabar, duduk bersama dan bercerita.

Tapi kini kita ciptakan sendiri jurang yang menjadi jarak diantara kita, melewati jembatan jejaring sosial untuk berkomunikasi meski hanya terpisah dinding toilet.

Aneh, meski sadar atau tidak kita telah menjadi orang asing karena kemajuan jaman, tapi kita tetap menikmatinya karena kita adalah manusia moderen.

Aku terima saja daripada dianggap manusia gila bila memprotes peradaban baru dan tak mengikuti, walau kita menjadi malas bertemu karena lebih nyaman menggenggam tekhnologi tanpa kaki melangkah dan untuk menyapa atau kelak berkata "aku mencintaimu" harus lewat dunia maya, sejenak meninggalkan dunia nyata, padahal lidahku masih dapat mengucap kata dan kaki masih sanggup berjalan menghampirimu.

15 September 2013 pukul 21:42

Untuk Para Penyeru Gerakan Sosial (Mas Sinis)



Wahai para penyeru pergerakan sosial atau apapun, sebelum kau terlena dimanjakan dana bantuan sampai akhirnya lumpuh ketika dana tak lagi turun, sebelum kau berkoar tentang slogan-slogan dan himbauan hasil pikiran orang lain, cobalah turun keselokan, mari belajar pada tikus tanah, dia bergerak dalam sunyi, bertahan dalam pengap udara, berlari menembus gelapnya selokan kota, tanpa pamrih terlihat, berbuat lebih banyak, tanpa memburu pengakuan sebagai yang terhebat, meski dianggap sumber penyakit perusak paham dan tatanan oleh kalian makhluk-makhluk yang mengatasnamakan kumpulan resmi.

Dibalik kebanggaan mu menjadi tikus piaraan, dalam kandang penuh makanan, kau hanya menjadi obyek kepentingan, pandai berkoar dan memberi penyuluhan seperti majikan pemilik kandang, tapi pergerakanmu mati seketika saat jatah makan rutin tak datang dari atasan, karena suatu perkumpulan hanya tempat mencari makan dan nama besar bagimu, bukan melakukan tindakan berkelanjutan, semua hanya bermuara pada kepentingan pribadi.

-260913-

Friday, 25 March 2016

Masih kah ada percaya diantara kita ?

Lagi, masih di tempat yang sama di Desa Semin, disuatu tempat sekelompok masiswa melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Tetapi dengan peristiwa yang berbeda.
Disuatu adzan ashar pertama di Desa tersebut, sekolompok mahasiswa berlarian menuju masjid untuk melakukan shalat ashar jamaah, ada yang memang sudah menjadi rutinitas sehari-hari untuk salat jamaah, pula ada yang menjaga nama agar dipandang baik oleh warga.

Ada yang mencuri fokus pandangan saya ketika akan masuk kedalam masjid yang berisi beberapa warga. Hand Phone (hp)  warga tergeletak di luar pintu masjid, berderet rapi seakan ditata untuk dijual. Di dalam hati saya bertanya, kenapa hp hp tersebut berjejer diluar masjid. Sampai didalam masjid dan bahkan di sela-sela bait doa yang saya ucap ketika salat, pertanyaan tersebut menganggu pikiran saya, bahkan saya sendiri yang bukan pemilik merasa ketakutan, apakah tidak akan hilang tadi hp hp yang dijajarkan, yang seakan mengundang maling.

Selesai salat, saya segera keluar masjid, ingin rasanya segera menyelesaikan rasa penasaran yang mengganggu pikiran tersebut. selang beberapa saat, para pemilik hp tersebut keluar dan mengambil hp tersbut. Saya yang haus jawaban, segera bertanya,

“ Hlo, Pak, kok hp nya ditaruh di luar? Apa ndak takut hilang”

“ Oh, Mas KKN, hla saya ndak bisa mematikan deringnya Mas, daripada nanti didalam nganggu, toh didalam masjid tidak pake hp. Kalau soal maling, ya ndak mungkin, disini ini ndak ada maling, Mas, sepeda motor saja di taruh di halaman rumah, dengan kuncinya masih menempel”

“Kuncinya masih nempel Pak ? hla kok kayak ngundang maling”

“hla kenapa takut, maling itu ndak ada disini, semua nya sudah bisa makan dan cukup, ya ndak ada maling to, terakhir ada maling itu 4 tahun yang lalu, itupun langsung ketangkep, hla bukan warga sini, mau lari malah bingung sendiri cari jalan, malah terperosok ke lubang, ya ketangkep”

Betapa kepercayaan masih tebal disana, betapa sedikitnya rasa takut untuk kehilangan yang timbul di benak warga. Betapa sangat berbebalik posisi tersebut dengan peradaban maju yang terjadi kota kecil maupun besar, dan bahkan di pinggiaran kota yang memakan sisa-sisa remah peradaban modern dengan tanpa saringan. Pada peradaban masa kini kepercayaan antar individu begitu tipis, rasa curiga selalu dipupuk atas nama motif ekonomi. Bahkan sampai berbuat baik saja masih dicurigai akan berbuntut meminta imbalan, meski kadang yang terjadi adalah demikian.

Tetapi, di peradaban era kini, rasa percaya yang semakin terkikis kian memperburuk kedaan, kata “jangan-jangan, kalau-kalau” selalu menjadi dasar atas rasa ketidak percayaan yang ada. Seperti jika saat akan berbuat baik “jangan-jangan nanti saya dicurigai yang bukan-bukan” yang pada akhirnya akan membatalkan niat baik tersbut. Krisis kepercayaan antar individu tersebut pula memicu duga dan prasangka, bahwa yang disekitar kita semua adalah maling, adalah garong, yang kapan dan bagaimana saja akan siap merampas dan merampok apa yang kita miliki.

Pikiran yang polos, dan prasangka baik, yang akan menyelamatkannya, seperti kejadian di masjid tersebut, betapa polosnya karena tidak mampu mematikan dering, hp hanya di gletakan saja diluar, di taruh saja begitu. Karena memang mereka berfikir, tidak ada yang mengambil, kalau toh hilng, berarti bukan diantara yang menghuni Desa tersebut yang mengambil, karena mereka telah saling percaya, bahwa yang disekitar mereka tidak akan yang berniat maling atau menggarong. Pula, pikiran yang polos dan prasangka baik tersebut yang kemudian akan membebaskan diri dari ketakutan-ketakutan rasa kehilangan, rasa percaya akan menuntut diri untuk bebas dari ketakutan-ketakutan yang justru aka membebani tiap pribadi untuk melaju ke depan.

Apakan saya, kamu, anda, kalian dan kita masih sering takut dan tidak percaya satu sama lainya? Yang akhirnya membebani pribadi masing-masing atau bahkan kelompok? Jika iya, maka saya juga yang tengah mengajak diri saya sendiri mengajak kalian untuk membebaskan ketakutan-ketakutan tersebut !!!

Idnas Aral.


Thursday, 24 March 2016

Teater Dalan Cilik

 "Perlawanan terhadap kapitalisme adalah kebertahanan kita untuk mampu menggunakan semua dari apa yang sudah kita miliki secara optimal" -ASHAD KUSUMA DJAYA-
Gadget semakin canggih dan tersebar luas ke berbagai kalangan. Tren tersebut semakin memudahkan penggunanya mengakses informasi dari dunia maya. Perkembangan teknologi tersebut membawa dua kemungkinan sekaligus, yaitu kemungkinan positif dan negatif. Semua tergantung pada kebijakan penggunaannya.
Dewasa ini, gadget mulai marak dipergunakan oleh anak-anak, layaknya orang dewasa. Gadget ialah alat bantu komunikasi, tetapi apapun yang tidak berada pada waktu yang tepat tentunya akan berakibat tidak tepat pula. Anak-anak belum memiliki kesiapan secara mental dalam menyerap informasi secara bebas.
Terlepas dari perihal arus informasi dunia maya, diakui atau tidak, gadget adalah salah satu faktor yang mengurangi minat penggunanya untuk berinteraksi secara langsung. Kemampuan bersosial seseorang terbentuk dari pengalamannya dalam melakukan interaksi secara langsung dari sejak masa kanak-kanak.
Kebudayaan kita selalu menekankan masyarakatnya untuk “srawung”, yaitu bersosial, berkomunal, dan menjunjung tinggi gotong royong. Perubahan dan perkembangan teknologi semestinya dapat bersinergi dengan kebudayaan sendiri. Ialah mustahil jika kita menolak perubahan dan mempertahankan cara hidup seperti masa lalu. Tetapi berkembang tanpa berpijak dari kebudayaan sendiri akan membentuk masyarakat yang tidak produktif dan cenderung konsumtif. Maka segala hal baik yang berakar dari kebudayaan sendiri harus menjadi nada dasar dari segala perkembangan. 
Sangatlah memungkinkan, pemanfaatan jejaring sosial dunia maya sebagai penunjang budaya “srawung”, tetapi kesadaran penuh untuk pemanfaatan ke arah tersebut belum tertanam pada generasi muda. Karena pentingnya menjaga kebudayaan sendiri belum menjadi prioritas dalam penggunaan jejaring sosial di kalangan generasi muda. Apalagi ditambah semakin mudah masuknya kebudayaan luar melalui dunia maya. Sehingga bisa diindikasikan sebagai proses interaksi kebudayaan tanpa filter. Maka hasil dari interaksi kebudayaan sudah tidak lagi bisa dikatakan sebagai akulturasi tetapi lebih tepat dikatakan sebagai hegemoni kebudayaan.
Kembali pada perihal anak-anak dan wilayah bermain yang aman untuk perkembangan karakternya. Masa kanak-kanak adalah masa bermain, dan di dalam permainan yang positif, anak-anak akan mendapatkan pengalaman. Bermain tidaklah selamanya berada pada kutub yang berbeda dengan belajar. Dalam permainan anak bisa mendapatkan pelajaran, dan pelajaran dapat diproses anak dengan metode bermain. Bermain dan belajar adalah komposisi penting bagi perkembangan kejiwaan anak, dimana keduanya sama pentingnya.
Ruang belajar anak telah menjadi prioritas kurikulum yang diprogram oleh institusi pendidikan formal, sedangkan ruang bermain anak belum banyak diperhatikan. Padahal, ruang bermain secara kuantitas waktu lebih banyak porsinya dibanding waku belajar. Bagi orang tua yang sadar dan mampu secara ekonomi, mereka memprogramkan anaknya pada   lembaga-lembaga bimbingan belajar atau les. Tetapi tidak sedikit yang membiarkan anaknya bermain ataupun berinteraksi tanpa pengawasan, antara lain menonton televisi, mengakses internet di warnet, dan bermain gadget.

Karakter yang kuat tidak mungkin terbentuk jika segala sudut pandangnya telah terhegemoni hal-hal di luar dirinya. Jika terus menerus anak menjadi objek konsumen ekspresi dari segala akses media masa (terutama televisi), maka akan mereduksi kretifitasnya. Anak-anak ialah individu-individu pembentuk bangsa di masa depan. Lemahnya karakter suatu bangsa akan membentuk bangsa tersebut menjadi bangsa yang konsumtif. 
Melihat beberapa permasalah di atas, kami berinisitaif membuat sebuah ruang bermain aman dan menunjang kreatif anak di Dukuh Pabrik, Desa Wirun, Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo. Ruang bermain tersebut berada di dalam bentuk proses latihan teater. Di dalam ruang latihan Teater, anak akan dilatih dengan metode bermain yang merangsang kreatifitas anak.
Sanggar Teater Dalan Cilik adalah sanggar seni teater yang menyediakan ruang ekspresi anak melalui proses kerja kreatif teater. Di dalam proses kreatifnya menuju sebuah pertunjukan, Teater Dalan Cilik akan menitikberatkan latihan pada bentuk-bentuk permainan yang positif untuk perkembangan kejiwaan dan jasmani anak. Output pertunjukannya juga akan digarap dalam bentuk permainan yang dirangkai dengan laku dramatik khas anak dan pesan-pesan moral dalam tataran nalar anak pula.  
Selain metode bermain yang baru, permainan tradisi juga kembali diperkenalkan dalam latihan. Karena di dalam permainan tradisi terdapat unsur-unsur komunal, ekspresif dan imajinatif. Selain itu permainan tradisi juga menjadi media untuk mempertahankan Bahasa Jawa yang mulai ditinggalkan oleh generasi muda.   

Sanggar Teater Dalan Cilik adalah salah satu upaya pembentukan karakter anak dengan membekali kreatifitas generasi penerus bangsa,

PUISI PUISI OBIN

Aku tak lagi mampu menulis sajak

Aku tak lagi mampu menulis sajak, ketika di depan mataku kulihat anak-anak berjuta
Dari balita hingga umur remaja menenteng kaleng kecil, berisikan recehan . .
Meminta belas kasih dan uluran tangan dermawan yang tak sengaja melintasi jalanan

Sementara disebelahnya anak-anak seumuran berjalan beriringan
Dengan seragam dan perangkat sekolah yang lengkap
Menjejakkan kaki di bumi yang sama dengan harapan dan cita-cita

Apakah berlebihan jika aku merindukan belaian lembut seorang ayah atau ibunda?
Apakah berlebihan jika aku memiliki harapan, cita-cita, juga janji kehidupan yang baik?
Apakah berlebihan jika aku merasa sendiri, terkucilkan, dan tertolak oleh hidup ini?

Aku tak kuasa menahan segala pedih perih
Dan kini sudah mulai jerih, aku jalani hidup ini
Aah, sungguh aku tak lagi mampu menulis sajak

Ketika para demonstran, menjahit mulutnya sendiri, protes! Mogok makan!
Dan akhirnya terkulai lemas, tanpa daya, tanpa tujuan hidup, dan tanpa apa-apa
Sebab . . birokrat negara terlalu aniaya, selalu mengedepankan ego dan ambisi semata

Aku tak lagi mampu menulis sajak, saat kulihat . .
Beribu-ribu rakyat negeri ini, antre! menunggu jatah sembako yang tak seberapa
Sementara hari esok, masih jadi misteri, dan menimbulkan pertanyaan senada . .
Besok antre dimana lagi yaa?
Besok, mau makan sisa-sisa siapa yaa?
Besok, kita bisa makan, atau harus lagi berpuasa?

Alangkah tak berdayanya aku . . jika dihadapkan pada realita hidup di negeri ini
Apa lagi yang bisa dilakukan seorang penyair, jika kata-kata diuapkan di udara
Jadi polusi, dan limbah ibukota . . tak ada lagi yang bisa kami lakukan untukmu

Kecuali, ikut antre bersama-mu . .
Ikut berpuasa hingga batas waktu yang belum ditentukan, kapan berbukanya?
Kemudian, orang-orang berdasi itu merayu, membujuk, dan menampakkan kepedulian

“Iyaa, tunggulah sebentar lagi! Kami akan berupaya agar semua membaik”.
“Pemerataan kehidupan yang layak akan diraih dengan pembangunan”.
“Yang harus dilakukan, hanyalah bersabar, tinggal sedikit lagi”. Tai Kucing!!

Maaf, bukan bermaksud mengumpat dan mengutuki sistem dan tata aturan yang ada
Hanya saja, saya sudah tak tahan menahan kentut di celana, dan ingin segera berak
Iyaa? agar tidak menjadi penyakit tentunya, sebab kotoran itu . . harus segera dibuang

Iyaa! Supaya fisik kita sehat, psikis kita tidak terganggu, dan . .
Pencernaan kita lancar! Selanjutnya kita terbebas dari yang namanya sakit perut
Kemudian menari, melompat kegirangan, sampai terjatuh, dan akhirnya . . ma-ti

HA-HA-HA! Alangkah dungu dan tak bergunanya aku, Aku butuh berak-walau sejenak
Aku tak lagi mampu menulis sajak, tika para gadis dijajakan, dan hilang kehormatannya
Para lelaki bertubuh kekar tak berdaya, hanya dijadikan robot bernyawa yang diperah
Sedang diriku? Turut serta diperah sumber hidupnya tuk kemudian ditelantarkan, lagi??

Aku tak lagi mampu menulis sajak, saat tembok-tembok kardus dirubuhkan
Dan anak kecil beserta para wanita di barisan depan, menolak penggusuran
Setelahnya, berdirilah mal-mal metropolis yang menawarkan gemerlap dunia

Sungguh silau mata ini . . sungguh lemah jiwa ini . . sungguh, tak berguna aku ini . .
Hanya mampu memotret kehidupan kelam yang tergusur oleh gemerlapnya dunia indah
Hanya dapat menonton dan mengelus dada (simbol keprihatinan), hanya bisa diam . .

Diam? Ayolah . . kalian juga tau mulutku hingga berbusa memperjuangkan itu
Kalian juga lihat aku berdiri di garis depan, mengepalkan tangan kiriku
Tapi apa guna itu semua, hanya menguap di udara, jadi umpatan tak berdaya

Aku tak lagi mampu menulis sajak, tika para koruptor dibebaskan berwisata
Mengunjungi tempat-tempat hiburan, menghibur diri mereka hingga puas, tertawa-tawa!
Sementara, para penegak hukum hanya mampu melihat dan umbar pencitraan

Tapi sudahlah, tak ada baiknya juga aku berterus terang . .
Sebab sudah tak ada lagi terang yang bisa menjadi baik di negeri ini . .
Akhirnya sampailah aku pada simpulan dari gelisah yang menderaku ini, bahwa:
. . . Aku tak lagi mampu menulis sajak . . .

Kartasura, 12 Agustus 2015

TUHAN, KENAPA KAU ANUGERAHKANKU CINTA?
Pernahkah kau merasa mati, sendiri, dan ingin pergi? Semua rasa sakit yang mendera tak pernah bisa menghilang begitu saja
Kau tau aku sangat mencintaimu, namun seketika itu juga kau membunuhku dengan perasaan yang sama
Cinta dan benci, sungguh tipis sekali beda dua hal yang bertentangan itu
Bersamamu seperti menjadi orang yang sekarat, yang berbahagia sebelum perginya
Kamu memang satu-satunya orang yang kucintai, mungkin hingga saat ini
Dan kamu juga orang yang menyelamatkanku dengan cara membunuh hatiku
Kau adalah racun, sekaligus juga penawarnya
Apa yang selama ini ditawarkan cinta? Apa buah dari percintaan kita selama ini?
Dan apakah itu cinta sejati?
Mencintaimu itu . . mungkin merupakan sebuah kutukan
Iyaa, kutukan karena siapapun yang pernah mencintaimu pada akhirnya mereka mati karenamu, mati olehmu, atau mati sebab melindungimu . .
Beberapa dari mereka memang benar-benar mati, kau tau? Mati raganya, dan sukmanya menuju nirwana . .
Ada juga yang mati hati dan perasaannya, jiwanya telah menghilang, dan sekarang dia hanya jadi seorang mayat hidup yang tak punya tujuan, dan tak menginginkan apa-apa, kecuali membalaskan dendam kepadamu karena sudah kau bunuh
Kau tau seberapa besar inginku memuliakanmu, melindungimu, menjagamu, memelukmu setiap harinya, mengecupmu mesra sebelum mengawali kegiatan, dan tidur disampingmu memberikan mimpi indah padamu setiap hari, sedang kau bersandar di pundakku dengan tersenyum semanis bidadari
Hahahahaha, alangkah bodohnya aku ini, tolol, dungu, idiot, tak punya otak
Memang benar aku orang bodoh,karena hanya orang bodohlah yang masih mempertahankan cintanya padamu, sementara kau sendiri telah menghunuskan sembilu ke dalam dadanya, menancapkannya dalam-dalam lantas pergi meninggalkannya
Memang benar aku ini orang tolol, orang tolol yang masih percaya bahwa kita masih bisa hidup berbahagia, padahal kamu telah merenggut semua kebahagian kita, mengatainya impian tolol, sampah, omong kosong, tak berguna, lantas membuangnya ke comberan
Memang benar aku ini orang dungu, yang selalu menungguimu di temapt ini berharap suatu saat nanti kau akan kembali, padahal kau yang telah membuat kita tak bisa bertemu lagi, kau hidup di bumi sedang aku telah lama mati, kaubunuh!
Aku memang orang idiot, orang idiot yang tidak sadar dan tidak menegrti bahwa dia telah terbunuh, jiwanya mengembara sendirian, sedang jasadnya hidup di dunia menjadi zombie
Dan mungkin aku ini tak punya otak, karena saat itu aku hanya diam dan menerima semua pisau dan sembilu yang kau tanjapkan, malah menggenggamnya erat-erat
Sungguh, kau telah mengakhiri hidupku tanpa perlu menembak hancur kepalaku, sungguh racun yang kau tusukkan pada waktu itu telah membunuhku perlahan-lahan dan sekarang hanya masalah waktu aku kan benar-benar mati nantinya
Aku tak mempunyai harapan apa-apa lagi, aku merasa tak berguna lagi hidupku ini, aku hanya menunggui kematianku dating menghampiri
Tuhan? Apakah kau mendengarkanku? Apakah kau masih peduli padaku?
Apakah aku boleh berbahagia? Apakah ada kehidupan yang membahagiakan sedang menungguku? Apakah aku boleh memohon padamu? Apakah aku layak tuk berbahagia? Apakah dosaku hingga kau menghukumku dengan hukuman yang sanggup kutanggung sendirian? Apakah amalanku hingga kau mengujiku dengan ujian yang aku tak sanggup membawanya sendirian? Apakah dunia ini hanya cercaan, sebuah kefanaan, fatamorgana yang menyilaukan pandangan mata saja? Apakah kebahagiaan itu palsu, semu, dan tidak benar-benar ada? Lantas untuk tujuan pap kau mempermainkan hambamu seperti ini? Ada maksud apa kau menyiksanya hingga sedemikian ini?
Dan kenapa kau sangat tega memberikan kami luka-luka, terus saja memberikan banyak luka, dan memberi sedikit penawarnya, menunda kematian kami, tuk kemudian kau menyiksanya lagi, mengujinya lagi, hingga kami tak mau lagi hidup, hingga kami menyerah dan tak punya lagi tujuan hidup, dan setelah manusia merasakan itu, kau memberinya obat yang berupa kabahagiaan semu lagi, tapi kami sudah kebal dengan obatmu, kami sudah kebal dan penyakit kami hanya tinggal menunggu waktu, kami sebentar lagi mati, tapi kau menyiksa kami dengan memberikan kebahagiaan semu, menjebak pemikiran kami.
Meminumkan sedikit madu dan memberitahu bahwa kami akan sembuh, lalu kemudian saat kami percaya kau tidak berbohong, dan kau bukanlah pendusta, saat kami percaya bahwa kau maha adil dan memebrikan pelajaran yang baik bagi hidup kami, saat kami percaya bahwa harapan dan cita-cita yang kami anggap palsu itu akhirnya akan kau wujudkan, di saat itulah kau mencabut nyawa kami, melemparkannya ke jurang keputusasaan yang terdalam, membuat kami kembali membuka mata kami, bahwa ini hanya permainan dan olok-olokan semata . . Kami tahu, kau adalah penguasa kami, pelindung kami, kau adalah pemeberi kehidupan pada kami, kami tau kau juga yang menjamin rezeki kami, kau juga telah menentukan jalan dan takdir kami . . Kau adalah segala-galanya bagi kami, kami tau hal itu, kami juga tau dan percaya bahwa kau adalah dzat yang maha kuasa, maha adil dan bijaksana . . Tapi, jika kau memang berkuasa, jika kau memang maha segalanya dank au maha memiliki apapun di langit dan bumi ini, bahkan kamipun hanya hambamu yang tak mempunyai daya apa-apa, jika itu semua benar, kenapa kau mempermainkan kami, apa tujuanmu yang sebenarnya dengan menciptakan kami, kenapa kau menghidupkan kami menyuruhnya belajar, menyuruhnya bekerja, menyuruhnya mencari mimpi-mimpi, kemudian menjatuhkannya ke dalam jurang keputusasaan, apa yang sebenarnya kau lakukan kepada kami, apakah kami hanya mainan bagi pertunjukkanmu yang luar biasa spektakuler? Apakah hidup kami berharga, kau maha berkuasa lantas apa tujuanmu mempermainkan kami, apa tendesimu menciptakan kami, apa yang kau inginkan dari kami, apa yang ingin kau buktikan, apa? Bahwa kau luar biasa, bahwa kau maha kuasa, bahwa kau pemilik segalanya, bahwa saat kau berkehendak apapun itu, itulah yang akan terjadi, bahwa kau yang memegang kunci pementasan ini, bahwa kau adalah sang maha sutradara?
Iyaa!!! Kami tau itu, kami sungguh-sungguh tau itu, bahwa kau pemilik kami, kau maha berkuasa, terhadapa kami, kau bebas mau memperlakukan kami seperti apa juga? Tapi, apakah itu layak, apakah itu pantas, kami sadar kami hanyalah hambamu, yang tidak memiliki daya apappun bahkan pada hidup kami sendiri, jika begitu kenapa ada sakit, jika seperti itu kenapa harus ada bahagia, kenapa harus ada surga dan neraka? Kenapa? Kenapa? Kami harus punya harapan, kenapa? Kenapa kami harus hidup, kenapa? Kenapa kami harus mati, kenapa? Kenapa kami harus mendapatkan penyiksaanmu kenapa? Kenapa kami harus menerima kebahagiaan darimu kenapa?
Kenapa harus ada kami, kenapa kau ciptakan kami, hanya untuk saling melukai satu sama lain, dan kenapa cinta kami kau jadikan sebuah penguburan, kenapa?
Kenapa kau jadikan cinta sebagai alat pembunuh yang paling indah, kenapa? Kenapa?
Kartasura, 14 Agustus 2015


Maha Cintaku
Oh Penyayangku
                                                                                    Oh Pelindungku
                                                                        Oh Pemilik Hatiku
                                                            Oh Penguasa Jiwaku
                                                Oh Pemberi Rezekiku
                                    Oh Maha Pemurahku, Hidupku
                        Oh Pemilik Seluruh Pengetahuanku
                                    Oh Maha Mengetahui Keadaanku
                                                Oh Keinginanku, Harapanku
                                                            Oh Maha Pengabul Do’a-do’aku
                                                                        Oh Nuraniku, Kalbuku, Sukmaku
                                                                                    Oh Kebahagiaanku, Kesedihanku
                                                                        Oh Pengampunku, Rajaku
                                                            Oh Semestaku, Duniaku
                                                Oh Pemilik Kekuasaanku
                                    Oh Penggenggam Takdirku
Oh Sumber Kekuatanku
            Oh Penciptaku, Pemeliharaku
                        Oh Gustiku, Puang Ta’alaku
                                    Oh Cahayaku, Kegelapanku
                                                Oh Surgaku, Kesenanganku
Oh Cintaku, Maha Cintaku
. . Tunjukkanlah terang-Mu kepadaku, terangilah hatiku dengan Maha Cahya-Mu . .
. . Duhai Pembolak-balik hatiku, tetapkanlah kalbuku senantiasa mengabdi pada-Mu . .
. . Wahai Segalaku, Daya dan Upayaku, Tuntunlah Jiwaku masuk kedalam Surgamu . .
Kartasura, 13 Agustus 2015



Secangkir Jahe di Pagi Buta

Yaang?
Masihkah kau ingat aroma jahe pagi itu?
Tika itu kau baru saja bangun
Dan akupun masih bertelanjang dada

Pergulatan kita malam hari tadi, sungguh menguras energi kehidupanku
Untunglah ada kamu, dan kamu memang tidak pernah terlambat . . jika saja kamu terlambat
Aku tidak tahu akan berakhir di belahan bumi yang mana lagi, diriku ini?
Atau cukuplah bagiku berakhir di belahan dadamu saja? Sembari . .
Mendendangkan puisi romansa, yang selanjutnya membuat adrenalinmu terpacu kencang

Yaang? Terlalu kekanak-kanakan kah? tika kupanggili kamu dengan intonasi yang manja?
Maaf! jikaku selalu merindumu, setiap jam,tiap menit, dan tiap detiknya . .
Semoga hal itu tidak membuat kamu marah dan tidak pula memberatkanmu . .
Andaikata kamu memarahiku? aku tidak keberatan, aku bahagia kamu menaruh perhatian . .
Sejurus memandangmu! Aku tercenung dan jadi bego melihat sikapmu yang demikian, tapi . .
Kemudian kamu nangis sesenggukan, nampaklah raut wajah cemberutmu itu dihadapanku
Biasanya aku mencibirmu, dan mengataimu “anak cengeng!” tapi jauh di dalam hatiku . .

Aku bersyukur, sungguh sangat bersyukur memiliki kamu yang waktu itu . .
Kamu? Iya kamu? Dan hanya kamu seorang! . . aku tak berharap punya wanita, kecuali kamu
Jika mengingatnya aku ingin tertawa lebar-bebas, melepas semuanya
Kemudian kembali menangis tergugu diatas pusaramu, yang kini berjamur dan tlah berlumut
Aku Rindu Kamu! Hidupku sungguh Absurd tanpa kamu mengisi hari-hariku
Napas hidupku-pun serasa pergi kau bawa lari, dosakah aku bila ingin hidup bersamamu?
Tolong sampaikan maafku kepada Tuhan, karena aku melihat wajah-Nya dalam dirimu
Aah, memandangi senja slalu buatku merasa hampa . . tak tau kenapa?
Mungkin bahagia? Mungkin juga bersimbah darah? Sebab merinduimu tlah menjadi hobiku
Kebiasaan itu tak berubah, dan membuatku sakit-sakitan . . hingga sekarang
Sepoi angin di petamanan membelaiku mesra aku terdiam! Tapi, di ulu hati ada yang berdesir
Sungguh keadaan ini membuatku kurus kering, daya hidupku-pun hanya tinggal sisa-sisa . .
Kemudian aku bangkit! Aku kembali bergairah! Aku bergairah, untuk mencarimu!
Iyaa! Aku mencarimu! Mencarimu dimana-mana! Mencarimu, kemanapun juga!
Namun aku gagal, aku tak menemukanmu dimana-mana, aku tak menemukanmu dimanapun!

Kamu hilang! Kamu pergi! Kamu tidak ada! Kamu benar-benar, sungguh tidak ada!
Namun, aku tak berhenti, aku tetap mencarimu . . dan suatu ketika semesta menangis
Semesta menangis dan memohon maaf padaku, karena telah mengambilmu lebih dulu
Barulah kusadari, semuanya tlah berakhir . . sesaat, aku menjadi terlalu mati tuk merasa sakit
Kini aku tahu mengapa setiap aku keluar rumah, hujan selalu turun membasahi jalanan
Ternyata, alam mengabarkan padaku bahwa kamu telah menguap menjadi partikel berjuta
Menyatu bersama udara yang kuhirup setiap harinya, melebur di keabadian, jadi semesta . .

Yaang? Masihkah kau memujaku?
Masih bergelorakah hasratmu tuk mencumbuku semalam suntuk?
Hanya sekedar informasi, aku kini tak lagi tampan . .
Rambutku yang dulu lebat, kini mengalami kebotakan . .
Kulitku yang segar dan kuning langsat - berubah menjadi gelap, kurus kering, dan memucat
Jika itu benar, masihkah kau menginginkanku, sama seperti pertama kali kita berjumpa dulu?
Hhmmm . . Aku kembali teringat hari itu, hari dimana aroma jahe menjadi berjuta perasaan
Benar, Aroma Jahe di Pagi Buta itu? Aroma mewangi yang mengantarmu ke Hadirat-Nya . .
Kartasura, 11 Agustus 2015

Wednesday, 23 March 2016

Pukul Empat !


Dulu, di waktu yang itu. Di satu tahun yang lalu, tapi lebih. Tepatnya di bulan januari Tahun 2015. Hujan mengguyur lebat desa Semin, Wonogiri, di pukul 5 sore lebih 30 menit. Datang seorang Bapak dengan mantel hujannya, mengayuh sepeda dari rumahnya ke posko Kuliah Kerja Nyata (KKN) saya saat itu.

Ia yang datang setengah basah, dan saya setengah tidak percaya bahwa itu adalah Ia. Ia yang saya maksud adalah Bapak itu, yang tempo hari saya datang ke rumahnya dan Ia tidak ada, namanya Bapak Min. Saat saya datang kerumahnya beliau tidak ada, dan yang ada hanya istrinya, dengan istrinya saya berjanji akan datang lagi besok, pukul 4 sore guna membahas keperluan acara yang saya akan laksanakan di dukuh Pak Min, karena beliau adalah seorang kepala Dukuh itu.

‘Hloh Pak, kok hujan begini kesini’

Tanya Ibu Kepala desa yang menjadi tuan rumah atas tempat yang saya tinggali saat ber-KKN.

‘Saya mau mencari Mas KKN, katanya mau datang ke rumah jam 4 sore, tapi sampai jam 5 kok belum datang juga. Maka saya putuskan kesini, Bu’

Saya yang merasa mempunyai janji seketika kaget sekaligus malu, dan lalu saya.

‘Aduh, ngapunten Pak, saya yang kemarin ke rumah Bapak, dan saya yang berjanji akan ke rumah Bapak jam 4 sore, saya tidak jadi ke rumah Bapak karena hujan, maaf ya Pak. Dan saya mau mengabari Bapak tapi, Bapak tidak punya HandPhone . Niat saya Besok pagi mau ke rumah Bapak’

‘Owalah Mas, saya kira Mas-KKN itu sakit, jatuh atau ada halangan yang lain, kok tidak jadi ke rumah. Saya pikir Mas-KKN ada masalah besar sampai-sampai membatalkan berkunjung ke rumah saya. Saya ini mau sekalian menengok, kalau-kalau Mas-KKN sakit, jatuh atau bagaimana.’

Diluar hujan masih cukup deras, petir tidak ada. Tapi kok, rasanya omongan Pak Min seperti petir yang menampar-nampar saya. Saya, yang notabene lebih menghabiskan waktu dan tumbuh di kota kecil, mera biasa saja untuk membatalkan janji. Rasanya mudah saja, hanya dengan mengirim pesan singkat dan semua selesai, batal perjanjian yang sudah di buat. Tapi di Desa Semin, di desa yang penuh bebatuan, yang sangat jauh dari hingar bingar kehidupan kota.

Janji adalah janji, janji batal karena memang keadaan mendesak seperti sakit, atau mungkin malah karena meninggal, yang memang tidak bisa benar-benar dipaksakan. Di Desa yang kecil dan benar-benar jauh dari peradapan modern itu, janji masih dianggap polos sebagai janji yang murni, yang harus dan wajib hukumnya untuk ditepati. Sedangkan saya, saya masih sering menginjak-injak martabat orang yang saya pernah beri janji, dengan cara tidak menepatinya. Masih saja enteng saja mengabaikan janji-janji yang telah saya sendiri sepakati. Apakah kalian juga begitu ? masih saja menganggap janji hanya sekedar ucap ? yang meski tidak ada hitam diatas putih dengan enteng saja dilanggar. Begitukah ?


Idnas Aral.