Aku tak lagi mampu menulis sajak
Aku tak
lagi mampu menulis sajak, ketika di depan mataku kulihat anak-anak berjuta
Dari
balita hingga umur remaja menenteng kaleng kecil, berisikan recehan . .
Meminta
belas kasih dan uluran tangan dermawan yang tak sengaja melintasi jalanan
Sementara disebelahnya anak-anak seumuran
berjalan beriringan
Dengan seragam dan perangkat sekolah yang
lengkap
Menjejakkan kaki di bumi yang sama dengan
harapan dan cita-cita
Apakah
berlebihan jika aku merindukan belaian lembut seorang ayah atau ibunda?
Apakah
berlebihan jika aku memiliki harapan, cita-cita, juga janji kehidupan yang
baik?
Apakah
berlebihan jika aku merasa sendiri, terkucilkan, dan tertolak oleh hidup ini?
Aku tak kuasa menahan segala pedih perih
Dan kini
sudah mulai jerih, aku jalani hidup ini
Aah,
sungguh aku tak lagi mampu menulis sajak
Ketika
para demonstran, menjahit mulutnya sendiri, protes! Mogok makan!
Dan
akhirnya terkulai lemas, tanpa daya, tanpa tujuan hidup, dan tanpa apa-apa
Sebab .
. birokrat negara terlalu aniaya, selalu mengedepankan ego dan ambisi semata
Aku tak lagi mampu menulis sajak, saat kulihat
. .
Beribu-ribu
rakyat negeri ini, antre! menunggu jatah sembako yang tak seberapa
Sementara
hari esok, masih jadi misteri, dan menimbulkan pertanyaan senada . .
Besok antre
dimana lagi yaa?
Besok, mau
makan sisa-sisa siapa yaa?
Besok,
kita bisa makan, atau harus lagi berpuasa?
Alangkah tak berdayanya aku . . jika dihadapkan
pada realita hidup di negeri ini
Apa lagi yang bisa dilakukan seorang penyair,
jika kata-kata diuapkan di udara
Jadi polusi, dan limbah ibukota . . tak ada
lagi yang bisa kami lakukan untukmu
Kecuali,
ikut antre bersama-mu . .
Ikut
berpuasa hingga batas waktu yang belum ditentukan, kapan berbukanya?
Kemudian,
orang-orang berdasi itu merayu, membujuk, dan menampakkan kepedulian
“Iyaa, tunggulah sebentar lagi! Kami akan
berupaya agar semua membaik”.
“Pemerataan kehidupan yang layak akan diraih
dengan pembangunan”.
“Yang harus dilakukan, hanyalah bersabar,
tinggal sedikit lagi”. Tai Kucing!!
Maaf,
bukan bermaksud mengumpat dan mengutuki sistem dan tata aturan yang ada
Hanya
saja, saya sudah tak tahan menahan kentut di celana, dan ingin segera berak
Iyaa?
agar tidak menjadi penyakit tentunya, sebab kotoran itu . . harus segera
dibuang
Iyaa! Supaya
fisik kita sehat, psikis kita tidak terganggu, dan . .
Pencernaan kita lancar! Selanjutnya kita
terbebas dari yang namanya sakit perut
Kemudian menari, melompat kegirangan, sampai
terjatuh, dan akhirnya . . ma-ti
HA-HA-HA!
Alangkah dungu dan tak bergunanya aku, Aku butuh berak-walau sejenak
Aku tak
lagi mampu menulis sajak, tika para gadis dijajakan, dan hilang kehormatannya
Para
lelaki bertubuh kekar tak berdaya, hanya dijadikan robot bernyawa yang diperah
Sedang
diriku? Turut serta diperah sumber hidupnya tuk kemudian ditelantarkan, lagi??
Aku tak lagi mampu menulis sajak, saat
tembok-tembok kardus dirubuhkan
Dan anak
kecil beserta para wanita di barisan depan, menolak penggusuran
Setelahnya,
berdirilah mal-mal metropolis yang menawarkan gemerlap dunia
Sungguh
silau mata ini . . sungguh lemah jiwa ini . . sungguh, tak berguna aku ini . .
Hanya
mampu memotret kehidupan kelam yang tergusur oleh gemerlapnya dunia indah
Hanya
dapat menonton dan mengelus dada (simbol keprihatinan), hanya bisa diam . .
Diam?
Ayolah . . kalian juga tau mulutku hingga berbusa memperjuangkan itu
Kalian
juga lihat aku berdiri di garis depan, mengepalkan tangan kiriku
Tapi apa
guna itu semua, hanya menguap di udara, jadi umpatan tak berdaya
Aku tak
lagi mampu menulis sajak, tika para koruptor dibebaskan berwisata
Mengunjungi
tempat-tempat hiburan, menghibur diri mereka hingga puas, tertawa-tawa!
Sementara,
para penegak hukum hanya mampu melihat dan umbar pencitraan
Tapi sudahlah, tak ada baiknya juga aku
berterus terang . .
Sebab
sudah tak ada lagi terang yang bisa menjadi baik di negeri ini . .
Akhirnya
sampailah aku pada simpulan dari gelisah yang menderaku ini, bahwa:
. . .
Aku tak lagi mampu menulis sajak . . .
Kartasura, 12 Agustus 2015
TUHAN, KENAPA KAU ANUGERAHKANKU CINTA?
Pernahkah kau merasa mati, sendiri, dan ingin pergi? Semua
rasa sakit yang mendera tak pernah bisa menghilang begitu saja
Kau tau aku sangat mencintaimu, namun seketika itu
juga kau membunuhku dengan perasaan yang sama
Cinta dan benci, sungguh tipis sekali beda dua hal
yang bertentangan itu
Bersamamu seperti menjadi orang yang sekarat, yang
berbahagia sebelum perginya
Kamu memang satu-satunya orang yang kucintai, mungkin
hingga saat ini
Dan kamu juga orang yang menyelamatkanku dengan cara
membunuh hatiku
Kau adalah racun, sekaligus juga penawarnya
Apa yang selama ini ditawarkan cinta? Apa buah dari
percintaan kita selama ini?
Dan apakah itu cinta sejati?
Mencintaimu itu . . mungkin merupakan sebuah kutukan
Iyaa, kutukan karena siapapun yang pernah mencintaimu
pada akhirnya mereka mati karenamu, mati olehmu, atau mati sebab melindungimu .
.
Beberapa dari mereka memang benar-benar mati, kau tau?
Mati raganya, dan sukmanya menuju nirwana . .
Ada juga yang mati hati dan perasaannya, jiwanya telah
menghilang, dan sekarang dia hanya jadi seorang mayat hidup yang tak punya
tujuan, dan tak menginginkan apa-apa, kecuali membalaskan dendam kepadamu
karena sudah kau bunuh
Kau tau seberapa besar inginku memuliakanmu,
melindungimu, menjagamu, memelukmu setiap harinya, mengecupmu mesra sebelum
mengawali kegiatan, dan tidur disampingmu memberikan mimpi indah padamu setiap
hari, sedang kau bersandar di pundakku dengan tersenyum semanis bidadari
Hahahahaha, alangkah bodohnya aku ini, tolol, dungu,
idiot, tak punya otak
Memang benar aku orang bodoh,karena hanya orang
bodohlah yang masih mempertahankan cintanya padamu, sementara kau sendiri telah
menghunuskan sembilu ke dalam dadanya, menancapkannya dalam-dalam lantas pergi
meninggalkannya
Memang benar aku ini orang tolol, orang tolol yang
masih percaya bahwa kita masih bisa hidup berbahagia, padahal kamu telah
merenggut semua kebahagian kita, mengatainya impian tolol, sampah, omong
kosong, tak berguna, lantas membuangnya ke comberan
Memang benar aku ini orang dungu, yang selalu
menungguimu di temapt ini berharap suatu saat nanti kau akan kembali, padahal
kau yang telah membuat kita tak bisa bertemu lagi, kau hidup di bumi sedang aku
telah lama mati, kaubunuh!
Aku memang orang idiot, orang idiot yang tidak sadar
dan tidak menegrti bahwa dia telah terbunuh, jiwanya mengembara sendirian,
sedang jasadnya hidup di dunia menjadi zombie
Dan mungkin aku ini tak punya otak, karena saat itu
aku hanya diam dan menerima semua pisau dan sembilu yang kau tanjapkan, malah
menggenggamnya erat-erat
Sungguh, kau telah mengakhiri hidupku tanpa perlu
menembak hancur kepalaku, sungguh racun yang kau tusukkan pada waktu itu telah
membunuhku perlahan-lahan dan sekarang hanya masalah waktu aku kan benar-benar
mati nantinya
Aku tak mempunyai harapan apa-apa lagi, aku merasa tak
berguna lagi hidupku ini, aku hanya menunggui kematianku dating menghampiri
Tuhan? Apakah kau mendengarkanku? Apakah kau masih
peduli padaku?
Apakah aku boleh berbahagia? Apakah ada kehidupan yang
membahagiakan sedang menungguku? Apakah aku boleh memohon padamu? Apakah aku
layak tuk berbahagia? Apakah dosaku hingga kau menghukumku dengan hukuman yang
sanggup kutanggung sendirian? Apakah amalanku hingga kau mengujiku dengan ujian
yang aku tak sanggup membawanya sendirian? Apakah dunia ini hanya cercaan,
sebuah kefanaan, fatamorgana yang menyilaukan pandangan mata saja? Apakah
kebahagiaan itu palsu, semu, dan tidak benar-benar ada? Lantas untuk tujuan pap
kau mempermainkan hambamu seperti ini? Ada maksud apa kau menyiksanya hingga
sedemikian ini?
Dan kenapa kau sangat tega memberikan kami luka-luka,
terus saja memberikan banyak luka, dan memberi sedikit penawarnya, menunda
kematian kami, tuk kemudian kau menyiksanya lagi, mengujinya lagi, hingga kami
tak mau lagi hidup, hingga kami menyerah dan tak punya lagi tujuan hidup, dan
setelah manusia merasakan itu, kau memberinya obat yang berupa kabahagiaan semu
lagi, tapi kami sudah kebal dengan obatmu, kami sudah kebal dan penyakit kami
hanya tinggal menunggu waktu, kami sebentar lagi mati, tapi kau menyiksa kami
dengan memberikan kebahagiaan semu, menjebak pemikiran kami.
Meminumkan sedikit madu dan memberitahu bahwa kami
akan sembuh, lalu kemudian saat kami percaya kau tidak berbohong, dan kau
bukanlah pendusta, saat kami percaya bahwa kau maha adil dan memebrikan
pelajaran yang baik bagi hidup kami, saat kami percaya bahwa harapan dan
cita-cita yang kami anggap palsu itu akhirnya akan kau wujudkan, di saat itulah
kau mencabut nyawa kami, melemparkannya ke jurang keputusasaan yang terdalam,
membuat kami kembali membuka mata kami, bahwa ini hanya permainan dan
olok-olokan semata . . Kami tahu, kau adalah penguasa kami, pelindung kami, kau
adalah pemeberi kehidupan pada kami, kami tau kau juga yang menjamin rezeki
kami, kau juga telah menentukan jalan dan takdir kami . . Kau adalah
segala-galanya bagi kami, kami tau hal itu, kami juga tau dan percaya bahwa kau
adalah dzat yang maha kuasa, maha adil dan bijaksana . . Tapi, jika kau memang
berkuasa, jika kau memang maha segalanya dank au maha memiliki apapun di langit
dan bumi ini, bahkan kamipun hanya hambamu yang tak mempunyai daya apa-apa,
jika itu semua benar, kenapa kau mempermainkan kami, apa tujuanmu yang
sebenarnya dengan menciptakan kami, kenapa kau menghidupkan kami menyuruhnya
belajar, menyuruhnya bekerja, menyuruhnya mencari mimpi-mimpi, kemudian
menjatuhkannya ke dalam jurang keputusasaan, apa yang sebenarnya kau lakukan
kepada kami, apakah kami hanya mainan bagi pertunjukkanmu yang luar biasa
spektakuler? Apakah hidup kami berharga, kau maha berkuasa lantas apa tujuanmu
mempermainkan kami, apa tendesimu menciptakan kami, apa yang kau inginkan dari
kami, apa yang ingin kau buktikan, apa? Bahwa kau luar biasa, bahwa kau maha
kuasa, bahwa kau pemilik segalanya, bahwa saat kau berkehendak apapun itu,
itulah yang akan terjadi, bahwa kau yang memegang kunci pementasan ini, bahwa
kau adalah sang maha sutradara?
Iyaa!!! Kami tau itu, kami sungguh-sungguh tau itu,
bahwa kau pemilik kami, kau maha berkuasa, terhadapa kami, kau bebas mau
memperlakukan kami seperti apa juga? Tapi, apakah itu layak, apakah itu pantas,
kami sadar kami hanyalah hambamu, yang tidak memiliki daya apappun bahkan pada
hidup kami sendiri, jika begitu kenapa ada sakit, jika seperti itu kenapa harus
ada bahagia, kenapa harus ada surga dan neraka? Kenapa? Kenapa? Kami harus
punya harapan, kenapa? Kenapa kami harus hidup, kenapa? Kenapa kami harus mati,
kenapa? Kenapa kami harus mendapatkan penyiksaanmu kenapa? Kenapa kami harus menerima
kebahagiaan darimu kenapa?
Kenapa harus ada kami, kenapa kau ciptakan kami, hanya
untuk saling melukai satu sama lain, dan kenapa cinta kami kau jadikan sebuah
penguburan, kenapa?
Kenapa kau jadikan cinta sebagai alat pembunuh yang
paling indah, kenapa? Kenapa?
Kartasura, 14 Agustus 2015
Maha Cintaku
Oh Penyayangku
Oh
Pelindungku
Oh Pemilik Hatiku
Oh Penguasa Jiwaku
Oh
Pemberi Rezekiku
Oh Maha Pemurahku,
Hidupku
Oh Pemilik Seluruh
Pengetahuanku
Oh Maha Mengetahui
Keadaanku
Oh
Keinginanku, Harapanku
Oh Maha Pengabul Do’a-do’aku
Oh Nuraniku, Kalbuku,
Sukmaku
Oh
Kebahagiaanku, Kesedihanku
Oh Pengampunku, Rajaku
Oh Semestaku, Duniaku
Oh Pemilik Kekuasaanku
Oh
Penggenggam Takdirku
Oh Sumber Kekuatanku
Oh Penciptaku, Pemeliharaku
Oh
Gustiku, Puang Ta’alaku
Oh Cahayaku,
Kegelapanku
Oh
Surgaku, Kesenanganku
Oh Cintaku, Maha Cintaku
. . Tunjukkanlah terang-Mu kepadaku, terangilah hatiku dengan Maha
Cahya-Mu . .
. . Duhai Pembolak-balik hatiku, tetapkanlah kalbuku senantiasa
mengabdi pada-Mu . .
. . Wahai Segalaku, Daya dan Upayaku, Tuntunlah Jiwaku masuk
kedalam Surgamu . .
Kartasura, 13 Agustus 2015
Secangkir Jahe di Pagi Buta
Yaang?
Masihkah kau
ingat aroma jahe pagi itu?
Tika itu kau
baru saja bangun
Dan akupun
masih bertelanjang dada
Pergulatan kita
malam hari tadi, sungguh menguras energi kehidupanku
Untunglah ada
kamu, dan kamu memang tidak pernah terlambat . . jika saja kamu terlambat
Aku tidak tahu
akan berakhir di belahan bumi yang mana lagi, diriku ini?
Atau cukuplah
bagiku berakhir di belahan dadamu saja? Sembari . .
Mendendangkan
puisi romansa, yang selanjutnya membuat adrenalinmu terpacu kencang
Yaang? Terlalu
kekanak-kanakan kah? tika kupanggili kamu dengan intonasi yang manja?
Maaf! jikaku selalu
merindumu, setiap jam,tiap menit, dan tiap
detiknya . .
Semoga hal itu
tidak membuat kamu marah dan tidak pula memberatkanmu . .
Andaikata kamu
memarahiku? aku tidak keberatan, aku bahagia kamu menaruh perhatian . .
Sejurus
memandangmu! Aku tercenung dan jadi bego melihat sikapmu yang demikian, tapi .
.
Kemudian kamu nangis
sesenggukan, nampaklah raut wajah cemberutmu itu dihadapanku
Biasanya aku
mencibirmu, dan mengataimu “anak cengeng!” tapi jauh di dalam hatiku . .
Aku bersyukur,
sungguh sangat bersyukur memiliki kamu yang waktu itu . .
Kamu? Iya kamu?
Dan hanya kamu seorang! . . aku tak berharap punya wanita, kecuali kamu
Jika
mengingatnya aku ingin tertawa lebar-bebas, melepas semuanya
Kemudian
kembali menangis tergugu diatas pusaramu, yang kini berjamur dan tlah berlumut
Aku Rindu Kamu!
Hidupku sungguh Absurd tanpa kamu mengisi hari-hariku
Napas
hidupku-pun serasa pergi kau bawa lari, dosakah aku bila ingin hidup bersamamu?
Tolong
sampaikan maafku kepada Tuhan, karena aku melihat wajah-Nya dalam dirimu
Aah, memandangi
senja slalu buatku merasa hampa . . tak tau kenapa?
Mungkin
bahagia? Mungkin juga bersimbah darah? Sebab merinduimu tlah menjadi hobiku
Kebiasaan itu
tak berubah, dan membuatku sakit-sakitan . . hingga sekarang
Sepoi angin di
petamanan membelaiku mesra aku terdiam! Tapi, di ulu hati ada yang
berdesir
Sungguh keadaan
ini membuatku kurus kering, daya hidupku-pun hanya tinggal sisa-sisa . .
Kemudian aku
bangkit! Aku kembali bergairah! Aku bergairah, untuk mencarimu!
Iyaa! Aku mencarimu!
Mencarimu dimana-mana! Mencarimu, kemanapun juga!
Namun aku
gagal, aku tak menemukanmu dimana-mana, aku tak menemukanmu dimanapun!
Kamu hilang!
Kamu pergi! Kamu tidak ada! Kamu benar-benar, sungguh tidak ada!
Namun, aku tak
berhenti, aku tetap mencarimu . . dan suatu ketika semesta menangis
Semesta
menangis dan memohon maaf padaku, karena telah mengambilmu lebih dulu
Barulah
kusadari, semuanya tlah berakhir . . sesaat, aku menjadi terlalu mati tuk
merasa sakit
Kini aku tahu
mengapa setiap aku keluar rumah, hujan selalu turun membasahi jalanan
Ternyata, alam
mengabarkan padaku bahwa kamu telah menguap menjadi partikel berjuta
Menyatu bersama
udara yang kuhirup setiap harinya, melebur di keabadian, jadi semesta . .
Yaang? Masihkah
kau memujaku?
Masih
bergelorakah hasratmu tuk mencumbuku semalam suntuk?
Hanya sekedar
informasi, aku kini tak lagi tampan . .
Rambutku yang
dulu lebat, kini mengalami kebotakan . .
Kulitku yang
segar dan kuning langsat - berubah menjadi gelap, kurus kering, dan memucat
Jika itu benar,
masihkah kau menginginkanku, sama seperti pertama kali kita berjumpa dulu?
Hhmmm . . Aku
kembali teringat hari itu, hari dimana aroma jahe menjadi berjuta perasaan
Benar, Aroma Jahe
di Pagi Buta itu? Aroma mewangi yang mengantarmu ke Hadirat-Nya . .
Kartasura, 11 Agustus 2015